Selain itu, proses seleksi organisasi masyarakat (ormas) yang akan menerima bantuan POP juga dinilai tidak terbuka.
Bahkan Majelis Pendidikan Dasar dan Menengah Muhammadiyah, Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI) dan Lembaga Pendidikan Ma'arif Nahdlatul Ulama yang dinyatakan lolos seleksi POP malah memutuskan mundur karena mempertanyakan efektivitas program itu.
Alhasil, Nadiem memutuskan menunda program itu dan menjanjikan melakukan evaluasi.
Baca juga: Hapus Tes Mata Pelajaran di SBMPTN, Nadiem: Diskriminatif bagi Peserta yang Tak Mampu Bayar Bimbel
Nadiem juga membubarkan Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP) dan menggantinya dengan Dewan Pakar Standar Nasional Pendidikan.
Alasan Nadiem membubarkan BSNP karena peran lembaga itu dinilai tidak terlalu penting dalam merumuskan standar nasional pendidikan.
Selain itu, Nadiem juga menghilangkan Lembaga Penjaminan Mutu Pendidikan (LPMP) yang digantikan oleh Balai Guru Penggerak berdasarkan PP Nomor 57 Tahun 2021.
Baca juga: Nadiem: RUU Sisdiknas Kebijakan Paling Positif terhadap Kesejahteraan Guru
Nadiem menerbitkan Peraturan Menteri Pendidikan Kebudayaan Riset dan Teknologi (Permendikbudristek) Nomor 30 tahun 2021 tentang penanganan kekerasan seksual di perguruan tinggi.
Yang menjadi titik perdebatan adalah soal kata "tanpa persetujuan korban" dalam sejumlah definisi kekerasan seksual dalam Pasal 5 Permendikbudristek 30/2021.
Sejumlah partai politik seperti Partai Keadilan Sejahtera (PKS) dan Partai Persatuan Pembangunan (PPP) mengkritik kata-kata itu seolah memberikan ruang untuk terjadinya seks bebas atau zina.
Akan tetapi, kalangan aktivis perempuan menilai hal itu tidak diartikan sebagai memberi izin bagi para mahasiswa untuk melakukan seks bebas.
(Penulis : Adhyasta Dirgantara | Editor : Bagus Santosa)
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.