Setelah sekian lama berjalan, TPF kemudian menyerahkan hasil investigasi secara langsung kepada Presiden Soesilo Bambang Yudhoyono pada 24 Juni 2005 di Istana Negara dan tidak melalui Sekretariat Negara.
Hal itu dibenarkan oleh mantan Menteri Sekretaris Negara Yusril Ihza Mahendra.
"Setahu saya pada waktu itu TPF menyerahkan laporan itu langsung by hand kepada Presiden," kata Yusril saat dihubungi Kompas.com pada 13 Oktober 2016.
Yusril menjelaskan, saat itu SBY tidak memerintahkan agar Sekretariat Negara mengarsipkan dokumen tersebut. Oleh karena itu, Yusril menilai wajar apabila saat ini dokumen tersebut tidak ada di Sekretariat Negara.
Baca juga: Komnas HAM Dinilai Cari Aman karena Bentuk Tim Ad Hoc Kasus Munir di Akhir Masa Jabatan
"Kalau ditanya ke saya di mana arsip itu, ya tanya saja sama SBY," kata dia.
Yusril menilai, memang tidak semua dokumen yang diserahkan kepada Presiden harus diregistrasi di Setneg.
Hanya saja, yang jadi permasalahan adalah SBY tidak mengumumkan dokumen hasil tim pencari fakta itu hingga akhir masa jabatannya.
Akan tetapi, dokumen itu tak pernah dibuka ke masyarakat. Bahkan, saat pemerintah diminta membukanya, dokumen penyelidikan TPF diklaim hilang.
Hilangnya dokumen itu baru diketahui pada pertengahan Februari 2016, yakni pada saat Komisi untuk Orang Hilang dan Tindak Kekerasan (KontraS) mendatangi kantor Sekretariat Negara (Setneg) meminta penjelasan dan mendesak supaya hasil laporan TPF segera diumumkan.
Baca juga: Jika Dokumen TPF Kasus Munir Bisa Hilang, Bagaimana Kasus Pelanggaran HAM yang lain?
Pada 28 April 2016, KontraS bersama istri Munir, Suciwati, mendaftarkan permohonan sengketa informasi ke KIP, mendesak Kementerian Sekretariat Negara mengumumkan Laporan TPF Kasus Munir.
Kontras berharap KIP bisa memecahkan kebuntuan dalam penuntasan kasus Munir, sesuai Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik.
Alasan Kontras, KIP "memberikan energi positif di tengah menghadapi tantangan sulitnya masyarakat dalam mengakses dan mendapatkan informasi dari Lembaga Publik Negara tanpa alasan yang jelas."
Baca juga: Alasan Usman Hamid Tolak Gabung Tim Ad Hoc Kasus Munir Bentukan Komnas HAM
Persidangan perdana KIP mengenai Laporan TPF Munir dilakukan pada 22 Juni 2016.
Namun, sidang perdana itu ditunda karena ketidakhadiran Kemensetneg yang beralasan sedang menyiapkan dokumen persidangan.
Dalam sidang perdana itu, Kontras yang diwakili Haris Azhar mengungkapkan bahwa pada 17 Februari 2016 Kontras mengajukan permohonan ke Setneg untuk segera mengumumkan laporan TPF Munir. Namun, permohonan itu ditolak dengan alasan tidak menguasai dokumen yang dimaksud.
Sidang kemudian berlanjut dengan mengungkap sejumlah fakta menarik.
Di antaranya, dalam sidang keenam pada 19 September 2016, Kepala Bidang Pengelola Informasi Publik Kemensetneg, Faisal Fahmi, menyangkal jika Kemensetneg menyimpan laporan hasil investigasi TPF Kasus Munir.
Baca juga: Pemerintah Diminta Beri Penjelasan soal Hilangnya Dokumen TPF Kasus Munir
Kemensetneg, kata dia, hanya menerima laporan terkait administrasi, misalnya anggaran. Sementara laporan terkait hasil investigasi TPF, lanjut Faisal, tidak disimpan Kemensetneg.
Setelah menjalani sejumlah persidangan, pada 10 Oktober 2016, KIP kemudian membuat putusan bahwa hasil investigasi dan alasan pemerintah tak juga membukanya ke publik merupakan informasi yang wajib diumumkan.
Namun, Kemensetneg mengaku tak memiliki dokumen tersebut.
Kemudian, SBY memanggil sejumlah mantan pejabat di era Kabinet Indonesia Bersatu, saat dia menjabat presiden.
Baca juga: Komnas HAM Dinilai Cari Aman karena Bentuk Tim Ad Hoc Kasus Munir di Akhir Masa Jabatan