Hampir semua hal diukur berdasarkan analisis untung dan rugi ala ekonomi, demikian juga dalam hal berpolitik.
Ekspektasi dari pola pikir untung dan rugi tersebut terproyeksikan dalam motivasi para calon legislator, yang percaya bahwa mereka akan meraih keuntungan melebihi modal yang dikeluarkannya saat terpilih nanti.
Motivasi semacam inilah yang banyak mewarnai perpolitikan di Indonesia saat ini, yang selanjutnya memunculkan sifat-sifat anarki dan konflik kepentingan di setiap kontestasi elektoral.
Logika kapitalisme ini juga tercermin dari obrolan-obrolan publik di warung kopi, yang secara rasional seringkali menceritakan bagaimana seorang politisi rela mengeluarkan uang hingga miliaran rupiah untuk menduduki jabatan politik tertentu.
Pertimbangannya pun juga sama, mereka percaya bahwa keuntungan yang didapatkan apabila terpilih nanti akan jauh lebih besar dibandingkan dengan modal yang dikeluarkan, layaknya sebuah investasi.
Uang seakan-akan menjadi modal politik yang paling berpengaruh, seperti dalam menggerakan mesin partai, dan pengerahan massa serta atributnya saat kampanye.
Hal inilah yang menurut penulis menjadi letak utama anarki dalam kapitalisme politik, di mana tidak adanya aturan yang membatasi kemampuan finansial tiap-tiap pelaku politik tersebut saat kontestasi berlangsung.
Kaum-kaum yang tidak memiliki kekuatan dari segi finansial, tentunya akan termarjinalkan dan memiliki keterbatasan dalam mobilitas, serta bargaining point dalam ajang kampanye.
Masuknya nilai-nilai kapitalisme di dunia politik saat ini tentunya akan mereduksi makna berpolitik itu sendiri, yang selanjutnya memunculkan materialisme politik.
Dalam kapitalisme, hal-hal seperti ideologi, program kerja, nilai, serta norma politik menjadi kurang relevan, karena hanya sebatas dipandang secara material.
Baik kontestan maupun pemilih juga sama-sama hanya dipandang dari segi aspek material. Hal ini mengakibatkan masyarakat hanya dianggap sebagai objek kepentingan, dan menjadi faktor lain dari anarki kapitalisme, di mana tidak adanya aturan tegas yang mengatur bagaimana cara-cara berpolitik yang etis.
Aturan yang tegas perlu diberlakukan agar publik lebih dianggap sebagai sebuah subjek dibandingkan hanya sekadar objek bagi para aktor politik.
Anarki lainnya juga muncul akibat tidak adanya dasar maupun aturan-aturan tertentu yang mengatur penempatan anggota Dewan terpilih dalam tiap-tiap komisi.
Semua murni keputusan pimpinan partai, faktor transaksional tertentu, maupun hasil negosiasi antara tiap-tiap anggota yang terpilih dengan pimpinannya.
Alih-alih menempatkan seorang anggota berdasarkan expertise ataupun latar belakang pendidikan layaknya pada konsep teknokrasi, kerawanan akan pemanfaatan posisi anggota Dewan yang duduk di komisi tertentu demi kepentingan bisnis menjadi hal yang sangat fatal.