Lantas disebut apa? Langkah Luhut Pandjaitan dan Hadi Tjahyanto seakan melengkapi akrobat menghidupkan kembali kesan-kesan Dwifungsi ABRI.
Luhut Pandjaitan dan Hadi Tjahjanto tampaknya tak bisa melepaskan diri dari dua hal.
Pertama, soal romantisme Orba. Romantisme ini didasarkan kesukesan Soeharto melakukan militerisme di segala bidang.
Soeharto banyak melanggenggkan praktik Dwifungsi ABRI tak hanya di bidang politik, tetapi juga ekonomi dan bisnis.
Berapa banyak konsesi dagang di masa Soeharto yang jatuh ke tangan para pemimpin militer? Atau bisnis-bisnis militer yang menguasai hajat hidup orang banyak?
Karir Soeharto pada awalnya tak lepas dari jejaring bisnis tentara di wilayah Jawa Tengah.
Kedua, ambiguitas kepercayaan terhadap pemimpin sipil. Luhut selalu berpandangan bahwa kebijakan Presiden Joko Widodo adalah yang terbaik.
Namun, wacana Dwifungsi ABRI yang selalu didengungkan Luhut -pada era Jokowi ini- justru menciderai kepemimpinan atasannya sendiri.
Joko Widodo adalah satu-satunya presiden sipil yang dipilih berdasarkan pemilu langsung. Dengan mewacanakan hadirnya perwira TNI aktif dalam kepemimpinan sipil malah seperti mempertanyakan kualitas kepemimpinan Joko Widodo itu sendiri.
Penghapusan Dwifungsi ABRI adalah produk dari reformasi 1998. Namun, penerapan secara luas baru dilakukan pada masa Presiden Abdurrahman Wahid.
Kompas menyebut pada tahun 2000 para pemimpin miiter telah menyepakati secara resmi TNI kembali ke barak, tidak berpartisipasi pada politik partisan dan berfokus memperkuat agenda pertahanan.
Membuka wacana TNI masuk ke pemerintahan sipil selain membuka peluang Dwifungsi ABRI, juga mengkhianati semangat reformasi.
Selain itu mengkhianati program restrukturisasi tentara yang pernah dicetuskan sewaktu Republik ini berumur Jagung.
Restrukturisasi tentara yang dikenal dengan ReRa dilakukan di masa Mohammad Hatta menjadi Perdana Menteri (Kompas.com, 16/10/2021).
Ide restrukturisasi memang awalnya dari mosi parlemen (BP-KNIP), tetapi Moh. Hatta berhasil mengeksekusi kebijakan ini dengan baik.