JAKARTA, KOMPAS.com - Keputusan Presiden Joko Widodo (Jokowi) untuk meneken Keputusan Presiden (Keppres) Pembentukan Tim Penyelesaian Non-Yudisial Pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) Berat Masa Lalu dinilai sebagai sikap tidak serius dan memperlihatkan keinginan politik yang rendah untuk menuntaskan persoalan pelanggaran HAM.
"Imparsial memandang bahwa upaya penyelesaian kasus pelanggaran HAM berat masa lalu
melalui pendekatan non-yudisial yang didorong oleh Presiden Jokowi menunjukan
ketidakseriusan dan rendahnya political will pemerintah dalam menyelesaikan berbagai kasus tersebut yang berpijak pada pengungkapan kebenaran dan keadilan bagi korban," kata Direktur Imparsial Gufron Mabruri saat dihubungi Kompas.com, Sabtu (27/8/2022).
Menurut Gufron, cara Presiden dengan menggunakan jalur non-yudisial untuk menyelesaikan kasus dugaan pelanggaran HAM melalui Keppres justru akan mengubur pengungkapan kebenaran dan melanggengkan impunitas.
Baca juga: Jokowi Dinilai Harus Penuhi Janji Tuntaskan Kasus Pelanggaran HAM Berat Masa Lalu
Gufron menilai keputusan Presiden untuk meneken Keppres itu lebih didasari oleh kepentingan stabilitas politik yang pragmatis dibandingkan korban dan/atau keluarga korban yang telah bertahun-tahun menantikan keadilan.
"Imparsial menilai, isu pelanggaran HAM berat masa lalu hanya dijadikan sebagai agenda politik tahunan bagi para kontestan politik, tidak terkecuali oleh Presiden Joko Widodo," ucap Gufron.
Gufron menganggap setelah hampir delapan tahun pemerintahan Presiden Joko Widodo, upaya penyelesaian kasus pelanggaran HAM berat masa lalu tidak berjalan sebagaimana yang diharapkan korban atau keluarga korban.
Bahkan, kata Gufron, pemerintah seperti tidak mempertimbangkan suara dan penderitaan korban.
Presiden Joko Widodo menyatakan telah menandatangani Keppres tentang Pembentukan Tim
Penyelesaian Non-Yudisial Pelanggaran HAM Berat Masa Lalu.
Hal ini disampaikan Presiden dalam Pidato Kenegaraan di DPR RI pada 16 Agustus 2022.
Presiden juga mengeklaim persoalan penyelesaian pelanggaran HAM berat masa lalu terus menjadi perhatian serius Pemerintah.
Baca juga: Jokowi Diminta Tetap Selesaikan Kasus Pelanggaran HAM Masa Lalu Lewat Pengadilan
Secara terpisah, Deputi V Kepala Staf Kepresidenan (KSP) Jaleswari Pramodhawardani mengatakan, Keputusan presiden (Keppres) tentang Pembentukan Tim Penyelesaian Non-Yudisial Pelanggaran HAM Masa Lalu yang diteken Presiden menjadi komitmen memberikan prioritas pada pemenuhan hak-hak korban pelanggaran HAM yang berat.
Menurut dia, jika mekanisme yudisial berorientasi pada keadilan retributif, maka mekanisme non-yudisial berorientasi pada pemulihan korban (victim centered).
"Mekanisme non-yudisial berorientasi kepada pemulihan korban. Di samping itu, jalur penyelesaian yudisial dan non-yudisial bersifat saling melengkapi (komplementer), bukan saling menggantikan (substitutif) untuk memastikan penyelesaian kasus secara menyeluruh," ujar Jaleswari dilansir dari siaran pers KSP, Senin (22/8/2022).
Jaleswari juga menyanggah argumen yang menyatakan bahwa Keppres ini tidak memiliki landasan hukum yang jelas.
Dia menekankan, kebijakan penyelesaian non-yudisial dimungkinkan dikeluarkan oleh presiden sebagai sebuah executive measure.
Hal itu juga berdasarkan sifat kemendesakan pemenuhan hak korban dan keluarga korban.
Baca juga: Langkah Jokowi Teken Keppres Penyelesaian Pelanggaran HAM Non-Yudisial Dinilai Keliru
"Berbagai studi juga menjelaskan bahwa beberapa Komisi Kebenaran (Truth Commission) yang pernah ada di dunia dibentuk dengan melalui executive measure, di antaranya melalui keputusan presiden," ucap Jaleswari.
Dia menambahkan, sampai saat ini, terdapat 13 peristiwa pelanggaran HAM berat yang belum yang belum terselesaikan.
Dari jumlah tersebut, sebanyak 9 peristiwa di antaranya merupakan pelanggaran HAM berat masa lalu yang terjadi sebelum diundangkannya UU Nomor 26 tahun 2000 tentang pengadilan HAM.
“Dari berbagai peristiwa yang bentangan waktu dan tempatnya sedemikian panjang dan luas, serta konstruksi dan tipologinya yang bermacam-macam, dipastikan tidak bisa diselesaikan hanya dengan satu pendekatan," tutur Jaleswari.
"Mekanisme non-yudisial memberi kesempatan yang besar kepada korban didengar, diberdayakan, dimuliakan dan dipulihkan martabatnya,” ucap dia.
(Penulis : Dian Erika Nugraheny | Editor : Sabrina Asril)