JAKARTA, KOMPAS.com - Langkah Presiden Joko Widodo (Jokowi) yang menandatangani Keputusan Presiden (Keppres) tentang pembentukan Tim Penyelesaian Non-Yudisial Pelanggaran HAM Berat Masa Lalu dinilai keliru dan akan mempersulit korban pelanggaran hak asasi manusia untuk mendapatkan keadilan.
"Langkah Presiden menandatangani Keppres tersebut adalah langkah yang keliru dan sejatinya akan menutup akses keadilan bagi korban, pengungkapan kebenaran, dan sekaligus memperpanjang rantai impunitas kasus pelanggaran HAM di Indonesia," kata Ketua Badan Pengurus Centra Initiative dan Peneliti Senior Imparsial, Al Araf, dalam keterangan pers yang diterima Kompas.com, Kamis (25/8/2022).
Dia menyarankan supaya Presiden membatalkan Keppres tentang pembentukan Tim Penyelesaian Non-Yudisial Pelanggaran HAM Berat Masa Lalu.
Menurut Al Araf, dia mengapresiasi pidato Presiden yang menyatakan penyelesaian pelanggaran HAM berat masa lalu masih menjadi perhatian serius pemerintah.
Baca juga: Jokowi Dinilai Harus Penuhi Janji Tuntaskan Kasus Pelanggaran HAM Berat Masa Lalu
Hal itu disampaikan Presiden Jokowi dalam pidato kenegaraan di sidang tahunan DPR RI dan DPD RI pada 16 Agustus 2022 lalu.
Akan tetapi, kata Al Araf, dia tidak sepakat dengan keputusan Presiden membentuk Tim Penyelesaian Non-Yudisial Pelanggaran HAM Berat Masa Lalu.
Menurut Al Araf, seharusnya Presiden memastikan seluruh pelanggaran HAM berat baik masa lalu maupun yang terjadi belakangan ini harus diselesaikan dengan mekanisme pro-yustisia (pengadilan HAM).
"Sebagaimana perintah Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 dan UU No. 26 Tahun 2000 dan bukan memalui penyelesain non-yudisial sebagaimana maksud Keppres tersebut," ujar Al Araf.
Al Araf mengatakan, penyelesaian kasus pelanggaran HAM melalui jalur pengadilan penting dilakukan supaya memberikan keadilan bagi korban dan keluarga korban yang selama ini masih menuntut pengungkapan kebenaran.
Baca juga: Pembentukan Tim Penyelesaian Pelanggaran HAM Berat Non-yudisial Dinilai Kuatkan Impunitas
"Selain itu, penyelesaian pro-yustisia juga penting untuk memastikan orang-orang yang terlibat dalam pelanggaran HAM dihukum sesuai hukum yang berlaku dan bukan malah melenggang bebas, bahkan menjabat dalam jabatan-jabatan penting di pemerintahan," ucap Al Araf.
Secara terpisah, Deputi V Kepala Staf Kepresidenan (KSP) Jaleswari Pramodhawardani mengatakan, Keputusan presiden (Keppres) tentang Pembentukan Tim Penyelesaian Non-Yudisial Pelanggaran HAM Masa Lalu yang diteken Presiden menjadi komitmen memberikan prioritas pada pemenuhan hak-hak korban pelanggaran HAM yang berat.
Menurut dia, jika mekanisme yudisial berorientasi pada keadilan retributif, maka mekanisme non-yudisial berorientasi pada pemulihan korban (victim centered).
"Mekanisme non-yudisial berorientasi kepada pemulihan korban. Di samping itu, jalur penyelesaian yudisial dan non-yudisial bersifat saling melengkapi (komplementer), bukan saling menggantikan (substitutif) untuk memastikan penyelesaian kasus secara menyeluruh," ujar Jaleswari dilansir dari siaran pers KSP, Senin (22/8/2022).
Jaleswari juga menyanggah argumen yang menyatakan bahwa Keppres ini tidak memiliki landasan hukum yang jelas.
Dia menekankan, kebijakan penyelesaian non-yudisial dimungkinkan dikeluarkan oleh presiden sebagai sebuah executive measure.
Baca juga: Mahfud Ungkap Alasan Pemerintah Tuntaskan Pelanggaran HAM Masa Lalu Melalui Non-yudisial