Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
SAPA PEMIMPIN

20 Provinsi dan 239 Kabupaten/Kota Masih Pakai UU RIS, Ahmad Doli: Daerah Jadi Tidak Punya Visi dan Misi

Kompas.com - 26/08/2022, 10:31 WIB
Inang Sh ,
Mikhael Gewati

Tim Redaksi

JAKARTA, KOMPAS.com – Ketua Komisi II Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Republik Indonesia (RI) Ahmad Doli Kurnia Tandjung mengatakan, pihaknya tengah menata sistem administrasi pemerintah daerah. Hal ini karena sejumlah daerah tidak memiliki alas hukum yang jelas.

Doli mengatakan, Komisi II DPR menemukan 20 provinsi dan 239 kabupaten/kota di Indonesia masih menggunakan alas hukum atau nomenklatur dari Undang-Undang (UU) Republik Indonesia Serikat (RIS) atau bukan UU 1945.

“Jadi, dalam menimbangnya dan segala macam itu masih pakai UU RIS semua. Saya waktu itu juga kaget. Sekarang sudah kami rapikan,” ujarnya kepada Kompas.com di Gedung DPR RI, Selasa (23/8/2022).

Kemudian, lanjut Ahmad, beberapa daerah yang masih menggunakan UU RIS diatur dalam satu UU. Padahal, sesuai UU 1945, satu provinsi atau satu kabupaten diatur dalam satu UU.

“Selama ini mereka tidak punya visi masing-masing daerah karena UU mereka tergabung dengan provinsi yang lain. Misalnya, apa visi misi pembangunan Sulawesi Selatan? Tidak ada, karena UU mereka tidak pernah dituangkan,” jelasnya.

Baca juga: Capaian Kinerja Naik, DPR Dukung Peningkatan Anggaran Perpusnas

Oleh karenanya, pihaknya telah membuat UU agar masing-masing daerah memiliki UU sendiri, termasuk dalam membangun visi dan misi.

“Sekarang mereka sudah punya. Apa visi pembangunan Sulawesi Selatan berdasarkan kekhasan dan karakteristik daerahnya? Itu sudah ada,” ungkapnya.

Ahmad menyebutkan, pihaknya telah menyelesaikan masalah tersebut di 12 provinsi. Setelah masa sidang, pihaknya akan masuk ke 239 kabupaten/kota.

Selain menata soal administrasi perwilayahan, Komisi II DPR juga akan menata persoalan tapal batas wilayah antardaerah yang masih menjadi keributan.

Revisi UU Pemilu

Lebih lanjut, Ahmad mengatakan, salah satu yang sedang diupayakan Komisi II DPR RI adalah merevisi UU Pemilihan Umum (Pemilu).

Terlebih, Pemilu 2024 akan bersejarah karena bakal  digelar dalam waktu berdekatan, yakni pemilihan presiden (pilpres), pemilihan legislatif (pileg), dan pemilihan kepala daerah (pilkada).

Indonesia mempunyai dua UU tentang kepemiluan, yakni UU Nomor 7 Tahun 2017 yang mengatur Pilpres dan Pileg, serta UU Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pilkada.

Oleh karenanya, kata Ahmad, Komisi II DPR RI berencana merevisi UU tersebut agar menjadi satu UU tentang Kepemiluan.

“kami mau atur tentang keserentakan penyelenggaraan pemilu agar tidak terlalu membebani. Orang bilang Pemilu 2019 itu beban penyelenggara karena 800 sekian (orang) yang meninggal, kalau pemilu besok akan menjadi beban bagi semua, baik penyelenggara, massa, dan partai politik,” katanya.

Namun, adanya pandemi Covid-19 membuat revisi UU Pemilu belum terlaksana sehingga akan menggunakan regulasi yang sudah ada.

Baca juga: Blak-blakan IPW soal Telepon dari Anggota DPR, Sebut Ferdy Sambo Korban

Ahmad menyebutkan, pihaknya bersama pemerintah, Komisi Pemilihan Umum (KPU), dan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) selama dua tahun membuat desain terbaik tentang Pemilu 2024.

“KPU sudah menyampaikan kepada kami akan membuat 19 peraturan yang lebih teknis. Bawaslu sudah menyusun 14 peraturan, dua sudah kami sahkan,” katanya.

Pemilu yang ramah

Ahmad menyerukan, semua pihak penyelenggara pemilu harus mempunyai cita-cita untuk membuat pemilu yang semakin ramah dengan pemilih.

Menurutnya, pemilu yang ramah adalah pemilu yang menyenangkan, dirindukan, dan memudahkan pemilih, bukan justru menyulitkan dan menakutkan.

“Jadi harus kita buat sederhana mudah dan murah. Kita harus berpikir ke depan,” ungkap politisi Partai Golkar tersebut," tutur Ahmad.

Baca juga: Kepada DPR, KPK Minta Dukungan Tambahan Anggaran untuk Penyesuaian Gaji Pegawai

Terkait hal tersebut, Ahmad menyebutkan, pihaknya tengah membahas penggunaan teknologi informasi dan digital.

Dia mengatakan, e-election atau pemilihan secara elektronik ada banyak macam, misalnya e-recap atau rekapitulasi menggunakan teknologi digital yang sudah diuji coba dalam pilkada. Selain itu ada juga e-counting dan e-voting.

“Saya pribadi agak skeptis untuk e-voting karena negara-negara maju mulai terkoreksi dengan alasan rawan manipulatif. Sebab, para hacker ini terus berkembang karena teknologi semakin canggih. Apalagi jagoan-jagoan hacker dunia ada di Indonesia,” katanya.

Kemudian, kata Ahmad, penggunaan sistem digital elektronik harus diikuti dengan kultur masyarakat yang harus sudah tertib, baik hukum maupun etika.

Dia menyebutkan, infrastruktur jaringan internet di Indonesia juga masih belum bisa memfasilitasi penggunaan e-election.

Baca juga: MKD DPR RI Panggil IPW Soal Dugaan Aliran Dana Ferdy Sambo ke Anggota DPR

“Berdasarkan pertimbangan itu, kami memutuskan belum menggunakan sistem e-election pada tahapan-tahapan yang baru, apalagi e-voting,” katanya.

Menurutnya, masih banyak yang perlu dibenahi di luar sistem itu sendiri, sehingga Pemilu 2024 akan dilaksanakan seperti sebelumnya.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Baca tentang
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

PAN Setia Beri Dukungan Selama 15 Tahun, Prabowo: Kesetiaan Dibalas dengan Kesetiaan

PAN Setia Beri Dukungan Selama 15 Tahun, Prabowo: Kesetiaan Dibalas dengan Kesetiaan

Nasional
PAN Setia Dukung Prabowo Selama 15 Tahun, Zulhas: Ada Kesamaan Visi dan Cita-cita

PAN Setia Dukung Prabowo Selama 15 Tahun, Zulhas: Ada Kesamaan Visi dan Cita-cita

Nasional
Koalisi Vs Oposisi: Mana Cara Sehat Berdemokrasi?

Koalisi Vs Oposisi: Mana Cara Sehat Berdemokrasi?

Nasional
Pansel Capim KPK Diminta Tak Buat Kuota Pimpinan KPK Harus Ada Unsur Kejaksaan atau Kepolisian

Pansel Capim KPK Diminta Tak Buat Kuota Pimpinan KPK Harus Ada Unsur Kejaksaan atau Kepolisian

Nasional
Berkaca dari Kasus Firli, Pansel Capim KPK Diminta Lebih Dengarkan Masukan Masyarakat

Berkaca dari Kasus Firli, Pansel Capim KPK Diminta Lebih Dengarkan Masukan Masyarakat

Nasional
Sidang Kasus SYL Menguak Status Opini WTP BPK Masih Diperjualbelikan

Sidang Kasus SYL Menguak Status Opini WTP BPK Masih Diperjualbelikan

Nasional
Kemenag Sepakat Proses Hukum Penggerudukan Ibadah di Indekos Dilanjutkan

Kemenag Sepakat Proses Hukum Penggerudukan Ibadah di Indekos Dilanjutkan

Nasional
Soal Komposisi Pansel Capim KPK, Pukat UGM: Realitanya Presiden Amankan Kepentingan Justru Mulai dari Panselnya

Soal Komposisi Pansel Capim KPK, Pukat UGM: Realitanya Presiden Amankan Kepentingan Justru Mulai dari Panselnya

Nasional
PAN Lempar Kode Minta Jatah Menteri Lebih ke Prabowo, Siapkan Eko Patrio hingga Yandri Susanto

PAN Lempar Kode Minta Jatah Menteri Lebih ke Prabowo, Siapkan Eko Patrio hingga Yandri Susanto

Nasional
Kaitkan Ide Penambahan Kementerian dengan Bangun Koalisi Besar, BRIN: Mengajak Pasti Ada Bonusnya

Kaitkan Ide Penambahan Kementerian dengan Bangun Koalisi Besar, BRIN: Mengajak Pasti Ada Bonusnya

Nasional
Membedah Usulan Penambahan Kementerian dari Kajian APTHN-HAN, Ada 2 Opsi

Membedah Usulan Penambahan Kementerian dari Kajian APTHN-HAN, Ada 2 Opsi

Nasional
Zulhas: Indonesia Negara Besar, Kalau Perlu Kementerian Diperbanyak

Zulhas: Indonesia Negara Besar, Kalau Perlu Kementerian Diperbanyak

Nasional
Menag Cek Kesiapan Hotel dan Dapur Jemaah Haji di Madinah

Menag Cek Kesiapan Hotel dan Dapur Jemaah Haji di Madinah

Nasional
Usung Bima Arya atau Desy Ratnasari di Pilkada Jabar, PAN Yakin Ridwan Kamil Maju di Jakarta

Usung Bima Arya atau Desy Ratnasari di Pilkada Jabar, PAN Yakin Ridwan Kamil Maju di Jakarta

Nasional
[POPULER NASIONAL] Mahfud Singgung soal Kolusi Tanggapi Ide Penambahan Kementerian | Ganjar Disarankan Buat Ormas

[POPULER NASIONAL] Mahfud Singgung soal Kolusi Tanggapi Ide Penambahan Kementerian | Ganjar Disarankan Buat Ormas

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com