SEPERTINYA infeksi Covid-19 belum juga berpindah status dari pandemi menjadi endemik. Kasus-kasus terkonfirmasi positif virus SARS-CoV-2 memasuki babak baru semenjak awal Juli 2022, di hampir semua negara di dunia.
Seperti terlihat pada gambar di bawah ini, data dari berbagai wilayah di dunia memperlihatkan tren kenaikan dengan wilayah Amerika menempati posisi tertinggi kasus terinfeksi diikuti oleh Eropa.
Menariknya, dari data di bawah ini terlihat peringkat kasus Asia Tenggara terus mengalami penurunan sejak varian Delta (berada di urutan ke 3) sampai subvarian Omicron BA.4 dan BA.5 yang sekarang berada di posisi ke 4.
Atau masih perlukah pembatasan-pembatasan yang cukup ketat dari pemerintah? Baik pembatasan di lingkungan nasional maupun internasional?
Di Indonesia tercatat pada tanggal 1 Agustus 2022, masih terdapat di atas 48.000 kasus aktif dengan kasus kematian rata-rata di atas 10 selama dua minggu terakhir.
Padahal jika dilihat dari akhir April sampai awal Juni, kasus infeksi baru terus memperlihatkan tren penurunan.
Tentu keadaan ini mendukung untuk pelonggaran Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM).
Hal ini ditandai dengan naiknya batas maksimum kapasitas tempat-tempat publik, seperti mal dan juga transportasi umum, batas maksimal work from office (WFO) sampai mencapai 100 persen, kegiatan pembelajaran tatap muka yang sudah dimulai secara bertahap, dan juga tempat-tempat wisata mulai beroperasi secara normal.
Dengan pemulihan kegiatan masyarakat seperti ini diharapkan dampak pandemi, khususnya pada bidang ekonomi dapat dipulihkan kembali.
Namun, baru dua bulan berlangsung, keadaan Covid-19 kembali menunjukkan kenaikan kasus aktif dan membuka kembali kemungkinan terjadinya gelombang ke-4 di Indonesia.
Bahkan di beberapa negara, seperti salah satunya Jepang menunjukkan tingkat infeksi tertinggi sepanjang 2020 sampai dengan 2022 seperti yang terlihat pada Gambar 2 di bawah ini.
Kasus Jepang merupakan kasus tertinggi di dunia dalam empat minggu terakhir, diikuti oleh Amerika, Korea Selatan dan juga Vietnam.
Data di bawah memperlihatkan kasus hampir 2.5 kali dari puncak Omicron yang terjadi bulan Maret 2022. Terlebih lagi, keadaan ini belum memperlihatkan tanda-tanda penurunan kasus.
Gejala varian Covid-19 sekarang yang tidak seberat varian delta sehingga menyebabkan tingkat kesembuhan lebih tinggi menjadi kabar baik yang dapat menenangkan masyarakat.
Namun, jika infeksi yang terus meningkat tentu masih tetap memberikan perasaan was-was, apalagi dengan kegiatan masyarakat yang sudah hampir pulih seperti sebelum terjadi pandemi.
Untuk menjawab kekhawatiran meningkatnya kembali kasus Covid-19 dan kekhawatiran menghindari level PPKM yang meningkat, bagaimana kita dapat menahan proses infeksi yang terjadi? Atau apakah kita hanya pasrah dengan keadaan kasus infeksi saat ini tanpa melakukan apapun?
Penulis akan melihat kasus ini dari proses pemodelan infeksi penyakit menular. Pada Gambar 1 di bawah ini, kita dapat melihat kasus aktif harian Covid selama dua bulan terkahir meningkat secara eksponensial hingga mencapai 6.483 kasus baru per harinya.
Dengan memanfaatkan model matematika penyebaran penyakit menular SIRV (susceptible-Infection-recovered-Vaccination) dan memanfaatkan informasi bahwa angka reproduksi 1.26 , penulis memperoleh data prediksi seperti diperlihatkan pada Gambar 3.
Artinya, setiap satu orang terinfeksi rata-rata menghasilkan 1.26 orang terinfeksi baru. Keadaan inilah yang seharusnya menjadi perhatian kita.
Apalagi kasus ini diperoleh hanya dari orang yang melakukan tes antigen atau PCR. Kenyataannya di hampir semua tempat, tes PCR atau antigen tidaklah lagi menjadi sesuatu yang wajib dilakukan.
Bagaimana jika di lapangan ternyata terdapat kasus infeksi Covid-19 yang tidak terditeksi karena tidak melakukan tes? Apakah Covid-19 sudah bisa dianggap seperti flu biasa?