Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

[POPULER NASIONAL] Gus Dur Menangis Sebelum Terbitkan Dekrit | BNPT Selidiki Aliran Dana ACT ke Turki dan India

Kompas.com - 25/07/2022, 06:02 WIB
Aryo Putranto Saptohutomo

Editor

JAKARTA, KOMPAS.com - Napak tilas peristiwa saat Presiden Abdurrahman Wahid atau Gus Dur menangis sebelum menerbitkan dekrit dan dilengserkan oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) menjadi berita terpopuler pada Minggu (24/7/2022).

Berita populer lainnya adalah terkait pernyataan BNPT yang menyelidiki dugaan aliran dana Aksi Cepat Tanggap ke Turki dan India.

1. Air Mata Gus Dur Mengalir sebelum Terbitkan Dekrit

 *** Local Caption *** Presiden Tidak Akan Mundur. 
Presiden Wahid tidak akan datang ke Sidang Istimewa MPR yang dipercepat karena  melanggar tata tertib MPR sehingga tidak sah dan ilegal. Demikian Presiden kepada wartawan di Credential Room Istana Merdeka Sabtu pagi.
 
Terkait Berita Dimuat Minggu, Kompas 22 Jul 2001 hlm: 1.

Judul Amplop: Keterangan Gus DurJB Suratno *** Local Caption *** Presiden Tidak Akan Mundur. Presiden Wahid tidak akan datang ke Sidang Istimewa MPR yang dipercepat karena melanggar tata tertib MPR sehingga tidak sah dan ilegal. Demikian Presiden kepada wartawan di Credential Room Istana Merdeka Sabtu pagi. Terkait Berita Dimuat Minggu, Kompas 22 Jul 2001 hlm: 1. Judul Amplop: Keterangan Gus Dur

Jelang beberapa jam sebelum Presiden ke-4 Republik Indonesia Abdurrahman Wahid resmi menerbitkan dekrit presiden pada 23 Juli 2022, pria yang akrab disapa Gus Dur itu menangis di hadapan sejumlah ulama.

Ia menangis mengadakan pertemuan dengan sejumlah ulama di Istana Negara pada Minggu (22/7/2001) sekitar pukul 23.00 WIB malam.

Dilansir dari pemberitaan di arsip Kompas bertajuk "Sebelum Jatuhkan Dekrit, Abdurrahman Wahid Menangis" tanggal 1 Agustus 2001, pertemuan itu digelar untuk menyampaikan hasil kajian atau taushiyah para ulama terkait kondisi politik saat itu.

Baca juga: Mengenal Akar Semangat Gus Dur Membela Kaum Minoritas

Dalam pertemuan juga hadir berbagai komponen masyarakat, ada Rachmawati Soekarnoputri, Hermawan Sulistyo, Hariadi Darmawan, dan sejumlah aktivis.

Saat pertemuan, Gus Dur sempat menangis setelah KH Mas Subadar (Pasuruan) membacakan taushiyah.

"Gus Dur sesunggukan dan berkali-kali tangan kirinya menghapus air mata," cerita salah seorang ulama.

Abdurrahman Wahid saat itu juga meminta maaf kepada para ulama. Permintaan maaf itu disampaikannya karena merasa tidak banyak berterus terang mengenai situasi politik.

Bapak Pluralisme Indonesia itu menyatakan bahwa saat itu dirinya berusaha agar para ulama tidak terlalu repot atau terbebani memikirkan urusan politik.

Baca juga: Alasan Gus Dur Dijuluki ‘Bapak Tionghoa Indonesia’

"Menurut Gus Dur, ulama tidak boleh terlalu larut dalam politik," kata sumber Kompas.

Adapun isi taushiyah para ulama yakni menolak Sidang Istimewa (SI) MPR untuk digelar karena menganggap prosesnya sejak awal dinilai ilegal.

KH Fawaid As'ad selaku pengasuh Pesantren Asembagus, Situbondo, yang juga berada di lokasi menyebutkan bahwa Abdurrahman Wahid belum terbukti melanggar dalam kasus Brunei dan Bulog seperti dituduhkan Pansus Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) saat itu.

"Apa yang menjadi dasar SI MPR. Ini kan dholim namanya, kalau hanya menuduh orang tanpa bisa membuktikan," ujar KH Fawaid As'ad.

Setelah mendengarkan hasil taushiyah, Gus Dur juga menghubungi KH Abdullah Faqih yang saat itu merupakan pengasuh pesantren Langitan, Tuban.

Ternyata, KH Faqih juga sependapat dengan hasil taushiyah ulama. Bahkan, ulama sepuh NU itu secara lebih tegas memberikan dukungan agar Abdurrahman Wahid menerbitkan dekrit.

Baca juga: Mimpi Kiai Jelang Pelengseran Gus Dur dan Doa untuk Megawati...

"Didukung atau tidak oleh tentara, Gus Dur harus mengeluarkan dekrit. Ini menunjukkan bahwa Gus Dur tetap tidak mengakui SI dan tidak mengakui pelanggaran yang dituduhkan. Biar sejarah nanti yang menilai, apakah SI atau dekrit Presiden yang benar," tegas KH Faqih.

Kemudian, pada 23 Juli 2001 lewat tengah malam, Gus Dur mengeluarkan dekrit presiden.

Isinya memuat 3 poin utama yakni pembekuan DPR dan MPR, pengembalian kedaulatan ke tangan rakyat, dan pembekuan Golkar.

Namun penerbitan dekrit presiden itu ditentang Parlemen sehingga melalui Sidang Istimewa MPR yang dipimpin Amien Rais pada 23 Juli 2001, Gus Dur resmi dimakzulkan.

Tepat di hari pemakzulan, para pendukung Gus Dur berkumpul di Istana Negara.

Mereka pun ikut mengawal Gus Dur keluar dari Istana Presiden.

Baca juga: Murka Gus Dur Kala Para Menteri Tolak Dekrit: Kalian Semua Banci!

Diketahui, hingga Gus Dur turun tahta, kasus hukum yang dituduhkan kepadanya tak pernah terbukti.

Bahkan, Jaksa Agung dan Kepolisian sendiri sudah menyatakan bahwa Gus Dur tidak terkait dengan kasus yang dituduhkan kepadanya.

Selang dua hari setelah pemakzulan, Abdurrahman Wahid menyatakan bahwa dia banyak dikelilingi Brutus (istilah untuk seorang pengkhianat di dunia politik).

"Saya tidak tahu siapa yang dimaksud. Tetapi, tampaknya para pejabat di sekitar Gus Dur," ujar seorang pengurus PBNU seperti dikutip dari arsip Kompas.

2. BNPT Investigasi Dugaan Aliran Dana ACT ke India dan Turki

Kepala Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) Komjen Boy Rafli Amar dalam jumpa pers di Hotel Aryaduta, Jakarta, Senin (20/6/2022).KOMPAS.com / VITORIO MANTALEAN Kepala Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) Komjen Boy Rafli Amar dalam jumpa pers di Hotel Aryaduta, Jakarta, Senin (20/6/2022).

Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) menyatakan sedang melakukan investigasi dugaan aliran dana mencurigakan Yayasan Aksi Cepat Tanggap (ACT) ke India dan Turki.

Kepala BNPT Komjen Boy Rafli Amar mengatakan, pihaknya sedang melakukan kerja sama internasional guna mendalami aliran dana yang dicurigai terkait dengan pendanaan terorisme.

"Sementara dua negara itu yang dicurigai ada pihak-pihak penerima dan proses investigasi sedang berjalan," kata Boy saat ditemui awak media di acara Hari Ulang Tahun (HUT) ke-12 BNPT di kawasan Pantai Indah Kapuk (PIK) 2, Jakarta Utara, Minggu (23/7/2022).

Boy mengaku hingga saat ini pihaknya belum mengetahui secara pasti jumlah rekening yang tercatat melakukan transaksi keuangan yang diduga terkait aktivitas terorisme di sejumlah negara.

Baca juga: BNPT Lakukan Kerja Sama Internasional Usut Aliran Dana Mencurigakan ACT

Ia hanya menyebut transaksi itu tidak hanya berupa transfer. Yayasan ACT juga diduga menerima aliran dana.

"Ada terkait organisasi dan perorangan, ada seperti yayasan seperti itu," tuturnya.

Sebelumnya, Kepala Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK), Ivan Yustiavandana merilis laporan dugaan transaksi mencurigakan Yayasan ACT ke sejumlah negara yang ditengarai terkait aksi terorisme.

Ivan menyebut transaksi itu dilakukan dalam beberapa tahun oleh pengurus ACT. Transaksi juga dilakukan oleh beberapa individu anggota yayasan kemanusiaan tersebut.

"Misalnya, salah satu pengurus itu melakukan transaksi pengiriman dana periode 2018 dan 2019, hampir senilai 500 juta ke beberapa negara. Seperti ke Turki, Bosnia, Albania dan India," kata Ivan dalam konferensi pers Rabu, (6/7/2022).

Baca juga: Kesembilan Kalinya, Eks Presiden ACT Ahyudin Diperiksa Bareskrim Soal Penyimpangan Dana

Yayasan ACT diduga melakukan penyelewengan dana donasi kemanusiaan untuk fasilitas mewah para petingginya.

PPATK juga menduga dana tersebut mengalir ke beberapa perusahaan yang terafiliasi dengan pendirinya.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Tanggal 9 Mei 2024 Memperingati Hari Apa?

Tanggal 9 Mei 2024 Memperingati Hari Apa?

Nasional
Ganjar Kembali Tegaskan Tak Akan Gabung Pemerintahan Prabowo-Gibran

Ganjar Kembali Tegaskan Tak Akan Gabung Pemerintahan Prabowo-Gibran

Nasional
Kultur Senioritas Sekolah Kedinasan Patut Disetop Buat Putus Rantai Kekerasan

Kultur Senioritas Sekolah Kedinasan Patut Disetop Buat Putus Rantai Kekerasan

Nasional
Kekerasan Berdalih Disiplin dan Pembinaan Fisik di Sekolah Kedinasan Dianggap Tak Relevan

Kekerasan Berdalih Disiplin dan Pembinaan Fisik di Sekolah Kedinasan Dianggap Tak Relevan

Nasional
Kekerasan di STIP Wujud Transformasi Setengah Hati Sekolah Kedinasan

Kekerasan di STIP Wujud Transformasi Setengah Hati Sekolah Kedinasan

Nasional
Ganjar Bubarkan TPN

Ganjar Bubarkan TPN

Nasional
BNPB: 13 Orang Meninggal akibat Banjir dan Longsor di Sulsel, 2 dalam Pencarian

BNPB: 13 Orang Meninggal akibat Banjir dan Longsor di Sulsel, 2 dalam Pencarian

Nasional
TNI AU Siagakan Helikopter Caracal Bantu Korban Banjir dan Longsor di Luwu

TNI AU Siagakan Helikopter Caracal Bantu Korban Banjir dan Longsor di Luwu

Nasional
Prabowo Diharapkan Beri Solusi Kuliah Mahal dan Harga Beras daripada Dorong 'Presidential Club'

Prabowo Diharapkan Beri Solusi Kuliah Mahal dan Harga Beras daripada Dorong "Presidential Club"

Nasional
Ide 'Presidential Club' Dianggap Sulit Satukan Semua Presiden

Ide "Presidential Club" Dianggap Sulit Satukan Semua Presiden

Nasional
Halal Bihalal, Ganjar-Mahfud dan Elite TPN Kumpul di Posko Teuku Umar

Halal Bihalal, Ganjar-Mahfud dan Elite TPN Kumpul di Posko Teuku Umar

Nasional
Pro-Kontra 'Presidential Club', Gagasan Prabowo yang Dinilai Cemerlang, tapi Tumpang Tindih

Pro-Kontra "Presidential Club", Gagasan Prabowo yang Dinilai Cemerlang, tapi Tumpang Tindih

Nasional
Evaluasi Mudik, Pembayaran Tol Nirsentuh Disiapkan untuk Hindari Kemacetan

Evaluasi Mudik, Pembayaran Tol Nirsentuh Disiapkan untuk Hindari Kemacetan

Nasional
Polri: Fredy Pratama Masih Gencar Suplai Bahan Narkoba Karena Kehabisan Modal

Polri: Fredy Pratama Masih Gencar Suplai Bahan Narkoba Karena Kehabisan Modal

Nasional
SYL Ungkit Kementan Dapat Penghargaan dari KPK Empat Kali di Depan Hakim

SYL Ungkit Kementan Dapat Penghargaan dari KPK Empat Kali di Depan Hakim

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com