"Kira-kira awal Juli itu aku dipanggil (Gus Dur), beliau bilang 'bawa pulang, semuanya bawa pulang. Ibu, adik-adikmu bawa pulang semua'," ujar Alissa Qatrunnada, putri sulung Gus Dur.
Putri-putrinya menolak perintah evakuasi itu, berkaca dari pelengseran Soekarno yang akhirnya menjemput ajal dalam keadaan jauh dari keluarga serta sulit mendapatkan perawatan medis memadai.
Alissa, juga Inayah, tetap bertahan di Istana. Khususnya Inayah, ia tetap tidur di kamar yang berdampingan dengan kamar ayahnya.
"Pada 21 Juli dini hari itulah, ia menyaksikan lewat pintu penghubung kedua kamar bagaimana Gus Dur mendirikan shalat malam yang rasanya lebih khusuk ketimbang biasa. Momen yang sangat, dingin, tegang," kenang Inayah.
"Bapak memunggungi saya, menghadap kiblat ke sana, jadi kayaknya Bapak tidak tahu ada saya di sana dan gelap. Tidak ada siapa-siapa, jam 03.00," ucapnya.
Suara dari para demonstran masih bergaung hingga ke dalam Istana.
Gus Dur selesai menunaikan shalat dan wiridnya. Ia bangkit dan hendak membereskan sajadah. Dalam keadaan yang serba suram begitu, si putri bungsu berniat membantu ayahnya membereskannya.
"Pak," sapa Inayah dari balik punggung Gus Dur.
Tak dinyana, Gus Dur melonjak dan berseru terkaget-kaget.
"Woii!" pekik Gus Dur.
Pekik itu lantas ganti membuat Inayah kaget.
"Woiii!" balasnya tak sengaja gegara mendengar ayahnya teriak.
Baca juga: Saat Gus Dur Digoyang Skandal Buloggate-Bruneigate...
Ada hening yang tak begitu panjang antara ayah dan anak di malam yang kian larut itu.
Hening yang seakan memutus mereka dari segala ingar bingar yang pelik di luar sana.
Inayah menyebutnya seperti seberkas cahaya yang mampir sekilas di tengah gulita.