Jabatan Gus Dur baru menginjak bulan ke-21 saat riak-riak politik menggoyangkan kursi kekuasaannya.
Gus Dur diterpa sejumlah isu kontroversial. Salah satu yang paling kencang ialah tudingan Panitia Khusus (Pansus) Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI atas dugaan penggunaan dana Yayasan Dana Kesejahteraan Karyawan Badan Urusan Logistik (Bulog) sebesar 4 juta dollar AS.
Baca juga: Karena Bukan Gus Dur dan karena Kearifan Abah Hasyim
Situasi politik makin memanas hingga akhirnya MPR mengagendakan Sidang Istimewa digelar pada 23 Juli 2001.
Mendengar kabar ini, jelang tengah malam 22 Juli 2001, Gus Dur mengadakan pertemuan dengan salah seorang Wakil Sekretaris Jenderal (Wasekjen) Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) Masduki Baidlowi dan tujuh ulama sepuh di Istana Negara.
Dikutip dari laman resmi PBNU, pertemuan kala itu berlangsung khidmat dan penuh haru.
Gus Dur tak kuasa kuasa menahan air matanya. Ia berkali-kali meminta maaf karena merasa tidak berterus terang ke para ulama mengenai situasi politik yang dihadapinya.
Tangis suami Sinta Nuriyah ini pecah bukan karena lemah menghadapi situasi politik saat itu. Namun, dia memikirkan para ulama dan pendukungnya yang berkomitmen kuat untuknya.
Baca juga: Mengingat Langkah Gus Dur Selesaikan Konflik Di Papua
Atas dorongan para ulama dan pengurus pondok pesantren, lewat tengah malam memasuki tanggal 23 Juli 2001, Gus Dur mengeluarkan dekrit presiden.
Maklumat itu memuat 3 poin utama yakni pembekuan DPR dan MPR, pengembalian kedaulatan ke tangan rakyat, dan pembekuan Golkar.
Langkah Gus Dur tersebut justru membuat Parlemen kian meradang. Dekrit itu tak memperoleh dukungan.
Akhirnya, melalui Sidang Istimewa MPR yang dipimpin Amien Rais pada 23 Juli 2001, Gus Dur resmi dimakzulkan.
MPR menarik mandat yang diberikan kepada Gus Dur dan menetapkan Megawati Soekarnoputri sebagai pengganti presiden.
Mencekam
Jelang pelengserannya, Gus Dur dibanjiri simpati para pendukung. Di sejumlah daerah, simpatisan Gus Dur bahkan membentuk pasukan berani mati jika presiden keempat itu diturunkan.
Laporan Kompas menyebutkan bahwa ada 300.000 relawan berani mati yang siap berangkat ke Jakarta untuk membela Bapak Pluralisme tersebut.
Namun, kala itu Gus Dur menahan massanya. Dia tidak mau ada kerusuhan, apalagi pertumpahan darah sesama anak bangsa.
Baca juga: Menelusuri Jejak Keberpihakan Gus Dur terhadap Minoritas dan yang Tertindas…
Putri sulung Gus Dur, Alissa Wahid, pernah mengungkapkan kesaksiannya ketika detik-detik jelang pelengseran Gus Dur.
Dia bilang, sebelum Sidang Istimewa digelar MPR, ratusan moncong panser TNI sudah mengarah ke Istana.
Gus Dur pun meminta Alissa untuk membawa Sinta Nuriyah dan adik-adiknya pulang ke kediaman di Ciganjur, Jagakarsa, Jakarta Selatan.
Dia mengaku tak bisa tenang jika keluarganya tetap berada di Istana. Apalagi, cucu pertama Gus Dur yang tak lain adalah anak Alissa, baru berumur 40 hari.
Namun, Alissa enggan meninggalkan ayahnya. Dia dihantui kisah Bung Karno yang diasingkan dan sulit bertemu keluarga jelang akhir kekuasaannya.
Gus Dur dan putrinya pun berdebat sampai-sampai Alissa menangis karena tak mau pergi.
"Keadaan sudah bahaya, biar Bapak sendiri saja yang hadapi di Istana. Karena ingat nasib Bung Karno, saya melawan. Eyel-eyelan. Apa pun yang terjadi, kalau Bapak ditangkap kami akan ikut. He wouldn't be alone (dia tidak akan sendiri)," kata Alissa dikutip dari laman resmi NU.
Baca juga: Gus Dur, Islam, dan Pancasila
Lega, kekhawatiran Alissa rupanya tak jadi nyata. Kala itu, rakyat bahkan berbondong-bondong ke Istana untuk melindungi ayahnya.
"Rakyat membanjiri istana, bertekad lindungi Gus Dur. Lalu beliau umumkan akan keluar Istana," tutur Alissa.
Di hari pemakzulan, rakyat pula yang akhirnya mengawal Gus Dur angkat kaki dari Istana Presiden.
"Besoknya rakyat menjemput dan mengawal beliau lewat pintu gerbang depan Istana, menuju panggung rakyat di Monas. Kalah politik, tetap bermartabat," kenang Alissa.
Hingga Gus Dur turun tahta, kasus hukum yang dituduhkan kepadanya tak pernah terbukti. Bahkan, Jaksa Agung dan Kepolisian sendiri sudah menyatakan bahwa Gus Dur tidak terkait dengan kasus yang dituduhkan kepadanya.
Pascaperistiwa itu, dalam sejumlah kesempatan Gus Dur menyatakan bahwa yang menimpa dirinya murni persoalan politik kekuasaan yang dimanfaatkan oleh sejumlah orang.
Oleh karenanya, upaya pelengseran ini merupakan tindakan inkonstitusional.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.