JAKARTA, KOMPAS.com - Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Alexander Marwata menyebut kepala daerah pernah meminta bantuan agar penghasilannya dinaikan. Namun, penghasilan itu tetap tidak bisa menutup biaya politik.
Alex mengatakan saat itu, KPK sedang melaksanakan program koordinasi dengan kepala daerah. Ia lantas menawarkan penghasilan itu naik menjadi Rp 200 juta.
Hal ini Alex kemukakan saat memberikan materi dalam program Politik Cerdas Berintegritas (PCB) yang diikuti kader Partai Keadilan Sejahtera (PKS), kemarin.
“Saya tanya, Bapak minta berapa? Rp 100 juta? Rp 200 juta per bulan? Dia bingung sendiri jawabnya. Oke lah saya bilang, Rp 200 juta oke ya,” kata Alex sebagaimana dikutip dari Youtube ACLC KPK, Rabu (20/7/2022).
Baca juga: Presdir Isargas Akui Beri Rp 250 Juta untuk Ongkos Pilkada Suami Eni di Temanggung
Alex mengatakan, berdasarkan survei Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) rata-rata calon kepala daerah harus mengeluarkan biaya Rp 20 miliar - Rp 30 miliar.
Namun, jumlah tersebut tidak memberikan jaminan kemenangan. Jika ingin menang, calon kepala daerah mesti merogoh uang hingga Rp 50 miliar- Rp 75 miliar. Sebab, terdapat hubungan jumlah uang yang dikeluarkan dengan keterpilihan mereka.
Dengan pengeluaran sebesar itu, kata Alex, walaupun penghasilan kepala daerah dinaikkan menjadi Rp 200 juta, pendapatan mereka dalam 5 tahun tetap tidak bisa menutup modal yang dikeluarkan.
“Rp 200 juta lima tahun dapat berapa Bapak? Kita ambil paling rendah saja Rp 20 miliar, tetap enggak nutup,” tutur Alex.
Baca juga: Biaya Kampanye Tinggi, Anggota Dewan di Pamekasan Mulai Gadaikan SK ke Bank
Mantan Hakim itu membenarkan bahwa modal menjadi calon kepala daerah juga disponsori pengusaha.
Namun, sponsor itu pun tidak gratis. Para pengusaha akan meminta uang itu dikembalikan oleh calon kepala daerah terpilih dalam bentuk proyek.
“Bentuknya apa? Proyek. Akhirnya proyek bagi-bagi. PBJ, terutama konstruksi itu,” ujar Alex.
Menurut dia, karena pola semacam itu pada akhirnya lelang yang dilakukan pemerintah daerah menjadi omong kosong. Sebab, hampir semua pengadaan barang dan jasa diatur.