Sebagaimana yang diungkapkan I.C. van der Vlies dalam bukunya yang berjudul Handboek Wetgeving, bahwa bila suatu peraturan perundang-undangan dibentuk selain oleh lembaga yang berwenang, maka peraturan tersebut dapat dibatalkan (vernietegbaar) atau batal demi hukum (van rechtswege nieteg).
Dalam konteks undang-undang, secara teoritis, sepanjang dibentuk oleh DPR bersama pemerintah, dan khusus Pasal 22D ayat (1) dan ayat (2) UUD 1945 dengan melibatkan DPD, maka undang-undang tersebut sah, sekalipun produk hukum yang dihasilkan mendapat kritik dari masyarakat.
Namun demikian, walaupun secara teoritis terbuka peluang itu, tapi dalam pembentukan undang-undang tidak boleh mengesampingkan kehendak masyarakat atau pada pokoknya tetap membutuhkan masukan masyarakat.
Hal ini sejalan dengan teori demokrasi yang menekankan bahwa kedaulatan berada di tangan rakyat, yang mengindikasikan bahwa hukum yang dibentuk tersebut berdasarkan pada kepentingan rakyat.
Oleh sebab itu, kritik dan masukan terhadap proses pembentukan undang-undang yang dijalankan DPR tidak boleh dilarang ataupun dibatasi.
Siapapun dapat mengemukakan pendapatnya, sepanjang masih dalam taraf koridor hukum yang berlaku.
Tapi persoalannya bukanlah terletak pada kritiknya, melainkan pada solusi untuk menjawab persoalan partisipasi masyarakat itu sendiri.
Banyak kelompok menyatakan bahwa pembentukan undang-undang tidak partisipatif, tapi mereka lupa memberikan solusi tentang bagaimana partisipasi publik itu seharusnya dijalankan.
Walaupun telah ada putusan MK yang mewajibkan adanya meaningful participation dalam pembentukan undang-undang, bukan berarti sistem yang ideal akan lahir dengan sendirinya.
Saat ini, kita masih mencari model yang tepat untuk mengakomodir partisipasi masyarakat dalam pembentukan undang-undang.
Dalam merumuskan model tersebut, yang perlu menjadi pertimbangan adalah persoalan siapa saja yang partisipasinya perlu didengar dan diharapkan.
Perlu ada mekanisme yang terukur, yang tentunya tidak dapat tercipta dalam waktu singkat.
Bila partisipasi yang diharapkan adalah tanpa pengecualian, sekali lagi, undang-undang tidak akan pernah lahir dan tidak guna ada pemilihan umum, sebab anggota DPR dipilih adalah untuk mewakili kepentingan rakyat.
Masyarakat memang harus dilibatkan, tapi persoalannya masyarakat mana yang harus dilibatkan?
Pasal 96 UU P3 yang baru telah mendefinisikan masyarakat dimaksud sebagai orang perseorangan atau kelompok orang yang terdampak langsung dan/atau mempunyai kepentingan atas materi muatan suatu RUU.
Ketentuan ini bisa menjadi batasan dalam penentuan siapa saja yang pendapatnya harus didengar dalam pembentukan undang-undang.
Ketentuan ini mungkin tidak akan mudah diterima oleh sebagian pihak. Tapi tanpa adanya kejelasan yang demikian, maka persoalan partisipasi masyarakat dalam pembentukan undang-undang akan tetap menjadi persoalan yang mengambang dan tak berkesudahan.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.