Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Christina Aryani
Anggota DPR RI

Christina Aryani adalah anggota DPR-RI dari Fraksi Partai Golkar yang bertugas di Komisi I dan Badan Legislasi. Lulusan Fakultas Hukum Unika Atma Jaya dan Pasca Sarjana Fakultas Hukum Universitas Indonesia, tengah menempuh studi Doktor Ilmu Hukum di Universitas Indonesia.

Ihwal Partisipasi Masyarakat dalam Proses Legislasi

Kompas.com - 24/06/2022, 13:13 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

PARTISIPASI publik dalam pembentukan undang-undang tidak usang untuk dibicarakan. Terlebih pembahasannya kembali mencuat setelah DPR bersama Pemerintah mengesahkan revisi kedua terhadap Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan (UU P3).

Pada pokoknya, DPR bersama Pemerintah dituding tidak terbuka dan mengabaikan prinsip partisipasi publik yang bermakna dalam pembentukannya sebagaimana putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 91/PUU-XVIII/2020.

Beberapa kelompok masyarakat bahkan menyatakan secara terbuka akan mengajukan pengujian formil ke MK.

Partisipasi publik

Kritik dan perdebatan terhadap proses perubahan kedua UU P3 sejatinya masih dalam taraf yang wajar, karena memang demokrasi memberikan ruang untuk itu.

DPR bukan tidak menjalankan proses legislasi secara terbuka, tapi memang kita belum memiliki standar baku bagaimana partisipasi masyarakat itu dijalankan.

Bila merujuk pada putusan MK Nomor 91/PUU-XVIII/2020 tentang pengujian formil UU Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja, MK menyatakan bahwa partisipasi publik dalam pembentukan undang-undang harus dilakukan dengan lebih bermakna (meaningful participation).

Setidaknya terlaksana dengan memenuhi tiga prasyarat: hak untuk didengarkan pendapatnya (right to be heard); hak untuk dipertimbangkan pendapatnya (right to be considered); dan hak untuk mendapatkan penjelasan atau jawaban atas pendapat yang diberikan (right to be explained).

Ketiga bentuk partisipasi publik tersebut di atas setidaknya juga harus terlaksana minimal di tiga tahap proses pembentukan undang-undang: (i) pengajuan Rancangan Undang-Undang (RUU); (ii) pembahasan bersama antara DPR dengan Presiden, serta mengikutsertakan DPD sepanjang terkait dengan Pasal 22D ayat (1) dan ayat (2) UUD 1945; dan (iii) persetujuan bersama antara DPR dan presiden.

Dalam ketiga tahapan tersebut, asas keterbukaan dan partisipasi publik telah dilakukan dan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Naskah akademik dan draf RUU perubahan kedua UU P3 sudah dipublikasikan sejak jauh-jauh hari guna menjaring masukan.

Begitupun setiap tahapan pembahasan RUU juga dilakukan secara terbuka dengan disiarkan secara langsung di TV Parlemen dan Kanal Youtube DPR.

Selain itu, DPR juga telah melaksanakan berbagai Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU), Focus Group Discussion (FGD), sosialisasi dan mengundang kelompok-kelompok masyarakat yang terdampak atau kelompok yang berkepentingan di isu terkait untuk mendapatkan masukan.

Artinya dalam konteks ini, apa yang menjadi konsen dari putusan MK tentang meaningful participation sudah terlaksana di semua tahapan.

Hanya saja, partisipasi masyarakat yang dijalankan dalam proses revisi UU tersebut patut diakui belum memuaskan ekspektasi sebagian orang.

Menjaring masukan

Secara normatif, bila merujuk pada asas pembentukan peraturan perundang-undangan yang baik, pembentukan suatu undang-undang pada dasarnya haruslah dibentuk oleh lembaga/organ yang tepat (beginsel van het juiste orgaan).

Sebagaimana yang diungkapkan I.C. van der Vlies dalam bukunya yang berjudul Handboek Wetgeving, bahwa bila suatu peraturan perundang-undangan dibentuk selain oleh lembaga yang berwenang, maka peraturan tersebut dapat dibatalkan (vernietegbaar) atau batal demi hukum (van rechtswege nieteg).

Dalam konteks undang-undang, secara teoritis, sepanjang dibentuk oleh DPR bersama pemerintah, dan khusus Pasal 22D ayat (1) dan ayat (2) UUD 1945 dengan melibatkan DPD, maka undang-undang tersebut sah, sekalipun produk hukum yang dihasilkan mendapat kritik dari masyarakat.

Namun demikian, walaupun secara teoritis terbuka peluang itu, tapi dalam pembentukan undang-undang tidak boleh mengesampingkan kehendak masyarakat atau pada pokoknya tetap membutuhkan masukan masyarakat.

Hal ini sejalan dengan teori demokrasi yang menekankan bahwa kedaulatan berada di tangan rakyat, yang mengindikasikan bahwa hukum yang dibentuk tersebut berdasarkan pada kepentingan rakyat.

Oleh sebab itu, kritik dan masukan terhadap proses pembentukan undang-undang yang dijalankan DPR tidak boleh dilarang ataupun dibatasi.

Siapapun dapat mengemukakan pendapatnya, sepanjang masih dalam taraf koridor hukum yang berlaku.

Tapi persoalannya bukanlah terletak pada kritiknya, melainkan pada solusi untuk menjawab persoalan partisipasi masyarakat itu sendiri.

Banyak kelompok menyatakan bahwa pembentukan undang-undang tidak partisipatif, tapi mereka lupa memberikan solusi tentang bagaimana partisipasi publik itu seharusnya dijalankan.

Walaupun telah ada putusan MK yang mewajibkan adanya meaningful participation dalam pembentukan undang-undang, bukan berarti sistem yang ideal akan lahir dengan sendirinya.

Saat ini, kita masih mencari model yang tepat untuk mengakomodir partisipasi masyarakat dalam pembentukan undang-undang.

Dalam merumuskan model tersebut, yang perlu menjadi pertimbangan adalah persoalan siapa saja yang partisipasinya perlu didengar dan diharapkan.

Perlu ada mekanisme yang terukur, yang tentunya tidak dapat tercipta dalam waktu singkat.

Bila partisipasi yang diharapkan adalah tanpa pengecualian, sekali lagi, undang-undang tidak akan pernah lahir dan tidak guna ada pemilihan umum, sebab anggota DPR dipilih adalah untuk mewakili kepentingan rakyat.

Masyarakat memang harus dilibatkan, tapi persoalannya masyarakat mana yang harus dilibatkan?

Pasal 96 UU P3 yang baru telah mendefinisikan masyarakat dimaksud sebagai orang perseorangan atau kelompok orang yang terdampak langsung dan/atau mempunyai kepentingan atas materi muatan suatu RUU.

Ketentuan ini bisa menjadi batasan dalam penentuan siapa saja yang pendapatnya harus didengar dalam pembentukan undang-undang.

Ketentuan ini mungkin tidak akan mudah diterima oleh sebagian pihak. Tapi tanpa adanya kejelasan yang demikian, maka persoalan partisipasi masyarakat dalam pembentukan undang-undang akan tetap menjadi persoalan yang mengambang dan tak berkesudahan.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Jokowi Perlu Kendaraan Politik Lain Usai Tak Dianggap PDI-P

Jokowi Perlu Kendaraan Politik Lain Usai Tak Dianggap PDI-P

Nasional
Kaesang dan Gibran Dianggap Tak Selamanya Bisa Mengekor Jokowi

Kaesang dan Gibran Dianggap Tak Selamanya Bisa Mengekor Jokowi

Nasional
Hasil Rekapitulasi di Papua Berubah-ubah, KPU Minta MK Hadirkan Ahli Noken

Hasil Rekapitulasi di Papua Berubah-ubah, KPU Minta MK Hadirkan Ahli Noken

Nasional
Tak Dianggap Kader PDI-P, Jokowi dan Keluarga Diprediksi Gabung Golkar

Tak Dianggap Kader PDI-P, Jokowi dan Keluarga Diprediksi Gabung Golkar

Nasional
Prabowo Harap Semua Pihak Rukun meski Beda Pilihan Politik

Prabowo Harap Semua Pihak Rukun meski Beda Pilihan Politik

Nasional
Jokowi Sebut Penyusunan Kabinet Mendatang Hak Prerogatif Prabowo

Jokowi Sebut Penyusunan Kabinet Mendatang Hak Prerogatif Prabowo

Nasional
Temui Warga Aceh Usai Pilpres, Cak Imin Janji Lanjutkan Perjuangan

Temui Warga Aceh Usai Pilpres, Cak Imin Janji Lanjutkan Perjuangan

Nasional
Timnas Akan Hadapi Guinea untuk Bisa Lolos ke Olimpiade, Jokowi: Optimistis Menang

Timnas Akan Hadapi Guinea untuk Bisa Lolos ke Olimpiade, Jokowi: Optimistis Menang

Nasional
KPK Sebut Penyidik Bisa Jemput Paksa Bupati Sidoarjo Gus Muhdlor

KPK Sebut Penyidik Bisa Jemput Paksa Bupati Sidoarjo Gus Muhdlor

Nasional
TNI AD Mulai Tanam Padi di Merauke, KSAD: Selama Ini Hasilnya Kurang Baik

TNI AD Mulai Tanam Padi di Merauke, KSAD: Selama Ini Hasilnya Kurang Baik

Nasional
KPK Mengaku Bisa Tangkap Bupati Sidoarjo Gus Muhdlor Kapan Saja

KPK Mengaku Bisa Tangkap Bupati Sidoarjo Gus Muhdlor Kapan Saja

Nasional
Abaikan PDI-P, MPR: Tak Ada Alasan untuk Tidak Lantik Prabowo-Gibran

Abaikan PDI-P, MPR: Tak Ada Alasan untuk Tidak Lantik Prabowo-Gibran

Nasional
Pemerintah Tegaskan Tak Ragu Blokir 'Game Online' Bermuatan Kekerasan

Pemerintah Tegaskan Tak Ragu Blokir "Game Online" Bermuatan Kekerasan

Nasional
Tangani ODGJ di Sumba Timur, Mensos Risma Minta Pemda dan Puskesmas Lakukan Ini

Tangani ODGJ di Sumba Timur, Mensos Risma Minta Pemda dan Puskesmas Lakukan Ini

Nasional
Prabowo Ingin Bentuk 'Presidential Club', Jokowi Usul Pertemuannya Dua Hari Sekali

Prabowo Ingin Bentuk "Presidential Club", Jokowi Usul Pertemuannya Dua Hari Sekali

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com