Bahkan, dalam beberapa survei elektabilitas Ganjar teratas, sudah mulai mengungguli Prabowo.
Baca juga: Simulasi Capres 2024 Poltracking: Ganjar Unggul dari Prabowo dan Anies
Baca juga: Survei SMRC: Elektabilitas Ganjar Pranowo Teratas, Unggul Signifikan dari Prabowo dan Anies
Baca juga: Jajak Pendapat Litbang Kompas: Elektabilitas Ganjar Ungguli Prabowo pada Survei Tertutup
Namun, Ganjar “kurang mendapat restu” dari lingkaran elite PDI-P yang menyokong Puan Maharani sebagai capres.
Puan adalah putri mahkota PDI-P. Ia anak kandung Megawati. Puan saat ini didapuk sebagai Ketua DPR.
Para pendukung Puan berulang kali menyerang Ganjar yang dipandang “terlalu agresif” mengampanyekan dirinya di media sosial.
Ketua Pemenangan Pemilu PDI-P Bambang Wuryanto yang merupakan pendukung Puan menyebut kader PDI-P pendukung Ganjar sebagai celeng, bukan banteng.
Baca juga: Banteng, Celeng, dan Oligarki Partai Politik
Seorang Ketua Umum partai dalam pertemuan tertutup dengan wartawan mengatakan, “Saya kenal Mbak Puan. Dia ingin maju sebagai capres.”
Namun, masalah terbesar Puan adalah pada elektabilitas. Sejumlah survei mendapatkan elektabilitas Puan “Sang Kepak Sayap Kebhinekaan” di bawah satu persen. Bandingkan dengan elektabilitas Ganjar di atas.
Baca juga: Survei Litbang Kompas: Elektabilitas Puan Maharani di Bawah 1 Persen
Baca juga: Digadang Jadi Capres, Elektabilitas Puan, Airlangga, dan Muhaimin di Jabar Tak Sampai 1 Persen
Baca juga: Ketika Elektabilitas Puan Maharani Tergilas Rekan Separtai...
Lantas, apakah semata-mata karena pertimbangan elektabilitas maka Megawati akan memutuskan Ganjar sebagai capres PDI-P di 2024?
Tidak sesederhana itu, Ferguso.
Cara berpikir Megawati itu unik. Sejumlah dinamika politik di negeri ini amat dipengaruhi oleh pilihan-pilihan politiknya.
Sejumlah orang yang mengenalnya dari dekat mengatakan, Megawati memiliki intuisi politik yang tajam.
Ketajaman intuisinya barangkali bisa jadi juga karena warisan genetis dari Soekarno, ayahnya.
Tak bisa dipungkiri, kerasnya perjalanan politik Megawati tentu juga menguatkan ketajaman intuisinya sebagai seorang politisi. Sebagai politisi, ia ditempa oleh kerasnya represi rezim Orde Baru.
Almarhum Frans Seda, politisi senior PDI-P, dalam sebuah kesempatan pernah berkata, seringkali logika dan analisis fakta-fakta rasional harus bertekuk di bawah intuisi politik Mega.
“Dia (Mega) punya intuisi tajam. Sering kita berpikir, secara logika, menganalisa fakta-fakta, menyodorkan bukti-bukti, tapi tetap saja belum pas. Di saat itulah Mega bertindak berdasarkan intuisinya, yang oleh orang-orang lain tidak terpikirkan sebelumnya,” kata Frans.
Ganjar Pranowo pun mengakui bahwa perjalanan karier politiknya hingga menduduki kursi gubernur adalah buah dari intuisi Mega yang memintanya maju di last minute.
Kala itu, pasangan Ganjar Pranowo dan Heru Sudjatmoko mendaftar ke Komisi Pemilihan Umum Jawa Tengah selang empat jam sebelum pendaftaran tutup pada pukul 24.00.
Pilihan Mega atas Ganjar bukan pilihan yang populer. Pasalnya, menurut survei Lingkaran Survei Kebijakan Publik (LKSP), anak perusahaan Lingkaran Survei Indonesia yang kesohor itu, elektabilitas Ganjar hanya 8,4 persen, jauh di bawah calon incumbent, Bibit Waluyo, yang mencapai 39 persen.
Nyatanya Megawati tidak salah. Ganjar menang dengan perolehan suara 48,82 persen mengungguli Bibit di posisi kedua dengan perolehan suara 30,2 persen.
Kemenangan yang mengejutkan. Ganjar memimpin Jawa Tengah hingga dua periode 2013-2018 dan 2018-2023.
Sebelumnya, pada 2012, intuisi Megawati juga menuntunnya pada sosok Joko Widodo atau Jokowi, Wali Kota Solo.
Megawati meminta Jokowi hijrah ke Jakarta untuk maju dalam Pilkada berhadapan dengan calon incumbent Fauzi Bowo atu Foke yang menggandeng Nachrowi Ramli.
Bukan pilihan yang mudah mengingat tingginya popularitas dan elektabilitas Foke. Survei yang dilakukan Cyrusnetwork pada Desember 2011, elektabilitas Jokowi hanya 6 persen, sementara Foke berada di urutan teratas dengan 25,3 persen.
Sementara, survei PDI-P dari Indobarometer awal Februari 2012 mendapatkan, popularitas Jokowi berada di urutan ketiga setelah Foke dan Tantowi Yahya.