"Kalian, siapa yang berbuat manuver-manuver, keluar! Karena apa, tidak ada di dalam PDI Perjuangan itu yang namanya main dua kaki, main tiga kaki, melakukan manuver!" kata Megawati dalam Rakernas PDI-P di Sekolah Partai, Lenteng Agung, Jakarta Selatan, Selasa (21/6/2022).
Semua kader diminta patuh menunggu siapa nama yang akan mendapat mandat dari Megawati untuk maju sebagai capres.
Berbeda dengan partai lain yang menentukan capres dalam forum musyawarah bersama, di PDI-P penentuan capres adalah hak prerogratif Ketua Umum.
“Karena saya diberi oleh kalian sebuah hak yang namanya hak prerogratif, hanya ketua umum yang menentukan siapa yang akan menjadi calon presiden dari PDI Perjuangan,” ujar Megawati berapi-api dan disambut tepuk tangan para peserta Rakernas.
"Ingat lho! Lebih baik keluar deh, daripada saya pecati lho kamu, saya pecati lho," tegas Mega lagi.
Ia empat kali mengeluarkan ancaman mengeluarkan anggota partai yang tak segaris dengan kebijakan partai.
Dengan ultimatum keras dan terbuka ini, Megawati ingin mengakhiri polemik dan benturan keras di internal partai terkait siapa yang bakal diajukan PDI-P sebagai capres 2024: Ganjar Pranowo atau Puan Maharani?
Kharismatik
Megawati Soekarnoputri memang bukanlah sosok yang artikulatif. Kalimat-kalimatnya yang kerap kita dengar di forum-forum terbuka bukanlah kata-kata yang terstruktur seperti Susilo Bambang Yudhoyono.
Kadang kalimat-kalimat Mega malah terasa seperti kata yang terpenggal-penggal. Ia memang bukan politisi yang pandai berkata-kata.
Namun, sungguh, ia perempuan yang sangat kharismatis. Di Rakernas kemarin Presiden Joko Widodo (Jokowi) memuji demikian.
“Auranya sangat cantik dan kharismatis,” kata Jokowi.
Mega tersipu menahan tawa di balik masker sambil menutup mulutnya dengan tangan kanan mendegar pujian itu.
Saya setuju dengan jokowi. Mega memang sosok yang kharismatis, mewarisi kharisma ayahnya, Soekarno.
Hemat saya, dia satu-satunya wanita di Indonesia yang memiliki kharisma leadership paling besar.
Megawati jatuh bangun mendirikan partai politik dari nol sejak masa Orde Baru hingga menjadi partai terbesar dan rulling party di Indonesia saat ini.
Jutaan pengikutnya, juga pengurus partai yang notabene didominasi laki-laki, tunduk takzim pada kata-katanya. Perempuan mana di Indonesia yang selevel dengannya? Tidak ada.
Bahkan, Golkar, Partai Amanat Nasional (PAN), dan Partai Persatuan Pembangunan (PPP) sudah membentuk Koalisi Indonesia Bersatu.
Koalisi dibangun untuk mencapai ambang batas pencalonan presiden dan wakil presiden sebesar 20 persen kursi di parlemen. PDI-P tidak perlu melakukan koalisi karena perolehan kursinya 22 persen.
Nah, yang ditunggu tentu saja siapa calon presiden yang akan diusung oleh PDI-P. Soal capres ini, dramanya sudah terjadi sejak kemarin-kemarin.
Drama antara sosok Ganjar Pranowo dan Puan Maharani. Dua kader PDI-P itu –tidak perlu ditutup-tutupi- ingin maju sebagai capres 2024.
Problemnya begini:
Berdasarkan sejumlah survei, Ganjar memiliki elektablitas tinggi. Namanya selalu masuk dalam tiga besar: Prabowo Subianto, Ganjar Pranowo, Anies Baswedan.
Bahkan, dalam beberapa survei elektabilitas Ganjar teratas, sudah mulai mengungguli Prabowo.
Namun, Ganjar “kurang mendapat restu” dari lingkaran elite PDI-P yang menyokong Puan Maharani sebagai capres.
Puan adalah putri mahkota PDI-P. Ia anak kandung Megawati. Puan saat ini didapuk sebagai Ketua DPR.
Para pendukung Puan berulang kali menyerang Ganjar yang dipandang “terlalu agresif” mengampanyekan dirinya di media sosial.
Ketua Pemenangan Pemilu PDI-P Bambang Wuryanto yang merupakan pendukung Puan menyebut kader PDI-P pendukung Ganjar sebagai celeng, bukan banteng.
Seorang Ketua Umum partai dalam pertemuan tertutup dengan wartawan mengatakan, “Saya kenal Mbak Puan. Dia ingin maju sebagai capres.”
Namun, masalah terbesar Puan adalah pada elektabilitas. Sejumlah survei mendapatkan elektabilitas Puan “Sang Kepak Sayap Kebhinekaan” di bawah satu persen. Bandingkan dengan elektabilitas Ganjar di atas.
Lantas, apakah semata-mata karena pertimbangan elektabilitas maka Megawati akan memutuskan Ganjar sebagai capres PDI-P di 2024?
Tidak sesederhana itu, Ferguso.
Intuisi Megawati
Cara berpikir Megawati itu unik. Sejumlah dinamika politik di negeri ini amat dipengaruhi oleh pilihan-pilihan politiknya.
Sejumlah orang yang mengenalnya dari dekat mengatakan, Megawati memiliki intuisi politik yang tajam.
Ketajaman intuisinya barangkali bisa jadi juga karena warisan genetis dari Soekarno, ayahnya.
Tak bisa dipungkiri, kerasnya perjalanan politik Megawati tentu juga menguatkan ketajaman intuisinya sebagai seorang politisi. Sebagai politisi, ia ditempa oleh kerasnya represi rezim Orde Baru.
Almarhum Frans Seda, politisi senior PDI-P, dalam sebuah kesempatan pernah berkata, seringkali logika dan analisis fakta-fakta rasional harus bertekuk di bawah intuisi politik Mega.
“Dia (Mega) punya intuisi tajam. Sering kita berpikir, secara logika, menganalisa fakta-fakta, menyodorkan bukti-bukti, tapi tetap saja belum pas. Di saat itulah Mega bertindak berdasarkan intuisinya, yang oleh orang-orang lain tidak terpikirkan sebelumnya,” kata Frans.
Ganjar Pranowo pun mengakui bahwa perjalanan karier politiknya hingga menduduki kursi gubernur adalah buah dari intuisi Mega yang memintanya maju di last minute.
Kala itu, pasangan Ganjar Pranowo dan Heru Sudjatmoko mendaftar ke Komisi Pemilihan Umum Jawa Tengah selang empat jam sebelum pendaftaran tutup pada pukul 24.00.
Pilihan Mega atas Ganjar bukan pilihan yang populer. Pasalnya, menurut survei Lingkaran Survei Kebijakan Publik (LKSP), anak perusahaan Lingkaran Survei Indonesia yang kesohor itu, elektabilitas Ganjar hanya 8,4 persen, jauh di bawah calon incumbent, Bibit Waluyo, yang mencapai 39 persen.
Nyatanya Megawati tidak salah. Ganjar menang dengan perolehan suara 48,82 persen mengungguli Bibit di posisi kedua dengan perolehan suara 30,2 persen.
Kemenangan yang mengejutkan. Ganjar memimpin Jawa Tengah hingga dua periode 2013-2018 dan 2018-2023.
Jokowi-Basuki
Sebelumnya, pada 2012, intuisi Megawati juga menuntunnya pada sosok Joko Widodo atau Jokowi, Wali Kota Solo.
Megawati meminta Jokowi hijrah ke Jakarta untuk maju dalam Pilkada berhadapan dengan calon incumbent Fauzi Bowo atu Foke yang menggandeng Nachrowi Ramli.
Bukan pilihan yang mudah mengingat tingginya popularitas dan elektabilitas Foke. Survei yang dilakukan Cyrusnetwork pada Desember 2011, elektabilitas Jokowi hanya 6 persen, sementara Foke berada di urutan teratas dengan 25,3 persen.
Sementara, survei PDI-P dari Indobarometer awal Februari 2012 mendapatkan, popularitas Jokowi berada di urutan ketiga setelah Foke dan Tantowi Yahya.
Keputusan Mega memilih Jokowi sempat dipertanyakan Sekjen PDI-P kala itu, Tjahjo Kumolo.
“Wis meneng (sudah, diam saja). Siapkan semuanya,” kata Mega menjawab keraguan Tjahjo.
Begitulah Mega. Ia tidak artikulatif. Kata-katanya instruktif. Mungkin Mega memang punya kesulitan mengartikulasikan intuisinya.
Jika sudah memilih, tak ada yang bisa menggoyahkannya, termasuk suaminya, almarhum Taufik Kiemas.
Mega bahkan sempat bersitegang dengan Taufik yang condong mendukung Foke. Yang lebih membingungkan lagi, sosok pendamping Jokowi pun jauh dari populer: Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok, mantan Bupati Belitung Timur.
Nyaris tak ada orang Jakarta yang kenal Ahok saat itu. Nama Ahok disodorkan Partai Gerindra.
Dalam sebuah kesempatan, Ahok bercerita, namanya sempat ditolak Jokowi yang waktu itu lebih ingin berpasangan dengan aktor Deddy Mizwar.
Hitung-hitungan politik, jauh lebih menguntungkan menggandeng Deddy yang sudah terkenal, Muslim pula.
Sementara Ahok, sosoknya jauh dari menguntungkan secara politik: tidak dikenal, Tionghoa, dan non-Muslim.
Ahok bercerita, Jokowi sengaja menyandingkan nama Deddy dan Ahok kepada Megawati dengan tujuan Megawati akan memilih Deddy yang lebih populer untuk menjadi pendamping Jokowi.
Intuisi Mega berkata lain. Ia tidak tertarik dengan Deddy.
"Deddy Mizwar sama Ahok, masak Bu Megawati pilih Ahok sih, kan enggak mungkin. Namun, enggak tahu, pukul 01.00 dini hari, enggak tahu minum obat apa, saya enggak tahu Bu Mega tiba-tiba, pokoknya, diputusin saya (yang jadi calon wagub mendampingi Jokowi). Pak Jokowi pun kaget karena saya yang dipilih Bu Mega. Orang celana yang disiapkan untuk kampanye juga bukan ukuran saya," cerita Ahok.
Intuisi Mega terbukti. Pilkada DKI Jakarta 2012 rasanya menjadi Pilkada yang paling gempita. Butuh dua putaran untuk menyelesaikannya.
Di putaran kedua, Jokowi-Basuki menang 53,82 persen mengalahkan pasangan Foke-Nachrowi Ramli yang meraih 46,18 persen.
Pilpres 2014
Pada 2014 intuisi Megawati kembali menentukan arah politik Indonesia ketika pada Jumat pahing, 14 Maret 2014, ia menetapkan secara resmi Jokowi menjadi calon presiden dari PDI-P.
Lagi-lagi ini bukan perkara mudah. Elektabilitas Jokowi memang melesat saat itu. Namun, ada banyak keraguan tentang sosoknya. Jokowi dianggap melompat terlalu jauh.
Belum rampung tugasnya di Jakarta, politisi hijau dari kampung ini diminta untuk bertarung di Pilpres. Kalaupun menang, risikonya besar, menjadi nakhoda negeri ini.
Megawati tidak sedang bertaruh untuk partainya, tapi untuk Indonesia. Nasib 250 juta masyarakat Indonesia berada di tangan Mega.
Kita tahu akhir ceritanya. Jokowi-Jusuf Kalla menang di Pilpres 2014 atas Prabowo-Hatta Rajasa.
Di Pilpres 2019 Jokowi yang berpasangan dengan Ma’ruf Amin kembali menang atas Prabowo yang kali ini berpasangan dengan Sandiaga Uno.
Lalu, bagaimana dengan Pilpres 2024, Ganjar atau Puan? Kita tunggu intuisi Megawati.
https://nasional.kompas.com/read/2022/06/22/11351341/menanti-intuisi-politik-megawati-ganjar-atau-puan