Dalam kasus Indonesia, satu perdebatan yang muncul adalah apakah presiden merupakan agensi yang memiliki kehendak bebas untuk menyusun semua kebijakannya?
Jika iya, maka dia mesti bertanggung jawab untuk kemunduran demokrasi yang terjadi.
Bagi orang-orang seperti Mujani dan Liddle (2021), juga banyak lainnya, Jokowi memang telah menjadi agen yang meminggirkan (sidelines) demokrasi.
Namun bagi sebagain yang lain, Jokowi hanyalah “korban” dari sistem yang buruk. Argumen ini menyebutkan bahwa siapa pun yang menjadi presiden akan menjadi serupa. Dan dia bisa jadi siapa saja.
Rangkaian diskusi kelompok yang kami langsungkan memberikan kemungkinan ketiga. Presiden sebagai agen tidaklah sepenuhnya wayang atau robot yang pasif terhadap konsteks struktural dan institusional yang mengelilinginya.
Dengan kata lain, oligarki dan sistem kepartaian dan pemilu memang berpengaruh terhadap perilaku dan kebijakan presiden, namun selalu ada peran dirinya sebagai agensi di sana.
Dalam politik, untuk memastikan jalannya pemerintah, kompromi terhadap berbagai kepentingan memang tidak terhindarkan.
Namun, mesti ada satu ambang batas atau prinsip-prinsip di mana kompromi tidak boleh dilakukan.
Perlindungan terhadap kebebasan berpendapat, penegakan aturan main yang demokratis dan penegakan hukum tanpa pandang bulu mestinya adalah beberapa hal yang tidak bisa dikompromikan.
Sayangnya, semakin kuatnya represi terhadap kebebasan berpendapat dan kebebasan sipil, wacana perpajangan masa jabatan presiden, dan pelemahan KPK menjadi penanda bahwa kompromi itu telah terlalu jauh melampaui batasan.
Untuk itulah, satu upaya untuk melakukan kaderisasi pemimpin bangsa perlu dilakukan. Dalam jangka panjang, peran partai politik yang mestinya menjalankan fungsi ini perlu diperkuat.
Namun, sambil ikhtiar melakukan penguatan partai politik, perlu dilakukan serangkaian pendidikan politik oleh pilar-pilar demokrasi yang lain baik universitas maupun dari organisasi masyarakat sipil.
Kita membutuhkan pemimpin politik yang tidak hanya memiliki pemahaman tentang nilai-nilai demokrasi yang kuat, namun juga menginternalisasi nilai-nilai itu dan menjadikannya sebagai habitus dalam laku politiknya.
Dia mungkin melakukan kompromi, namun ia juga menyadari batas di mana kompromi tidak bisa dilakukan lagi. Dengan kata lain, demokrasi membutuhkan seorang demokrat.
Leiden cerah dan hangat siang itu. Di tepian kanal Witte Singel yang cantic, yang terletak tak jauh dari Gedung KITLV, dan di seberang perpustakaan Universitas Leiden, saya duduk bersama Ward Berenschot sambil menikmati secangkir kopi.
Sibuk dengan kesibukan riset masing-masing, kami punya banyak sekali hal untuk dibahas.
Semua cerita mengalir mulai dari proyek riset kami tentang pasukan siber, persiapan sekolah demokrasi hingga peta jalan demokrasi 2045.
Untuk hal terkahir, dia punya saran sangat menarik. Sambil menyepakati bahwa konsolidasi demokrasi membutuhkan pembenahan di berbagai sektor seperti di atas, dia mengusulkan perlu ada sektor prioritas yang tidak hanya penting dan mendesak, namun juga realistis untuk diwujudkan.
Baginya itu adalah menuntaskan persoalan politik uang dalam pemilu. Bagi professor KITLV dan Universitas Amsterdam ini, ia adalah satu hal yang penting.
Ia penting karena semua reformasi di bidang lain membutuhkan politisi, baik yang di legislatif maupun eksekutif, yang progresif.
Selain progresif, dia harus pertama-tama memiliki keterikatan dengan para pemilihnya. Misalnya saja, kita mau meloloskan paket kebijakan comprehensive untuk mewujudkan negara kesejahteraan, kita membutuhkan politisi yang menyetujuinya.
Kita hendak mencipta satu paket kebijakan yang berpihak kepada kelestarian alam, kita membutuhkan politisi yang sadar akan politik hijau.
Demikian seterusnya. Dengan kata lain, reformasi sistem pemilu ini akan menjadi awal untuk reformasi lainnya.
Reformasi sistem pemilu juga “feasible” untuk diwujudkan karena pada dasarnya semua pihak setuju dengan pemilu yang bebas dari politik uang, dari mulai akademisi paling idealis hingga politisi yang paling konservatif.
Tidak hanya akademisi, para politisi juga jengah dengan jebakan politik uang. Mereka pada dasarnya mengeluh dengan pembelian suara dalam pemilu, namun para politisi itu tak kuasa untuk menolaknya.
Di sini, penulis buku “Democracy for Sale” ini menyampaikan gagasan menarik tentang apa yang ia sebut sebagai “jebakan informalitas” untuk menjelaskan mengapa politik uang terjadi.
Dalam pemilu, jebakan informalitas ini adalah situasi di mana politisi merasa khawatir tidak akan menang pemilu tanpa politik uang, sehingga mereka melakukannya.
Warga negara merasa mereka harus menerima dan bahkan “meminta uang” kepada politisi, karena itu satu-satunya kesempatan mereka bisa ikut mendapat insentif dari proses electoral yang ada.
Sedangkan pengusaha, mereka merasa harus membayar kepada politisi dalam pemilu, karena khawatir bisnis mereka akan terkendala kebijakan jika tidak melakukannya. Inilah satu situasi yang dalam ilmu politik disebut sebagai masalah tindakan kolektif.
Untuk mengurai masalah tindakan kolektif, dan melampaui jebakan informalitas, dibutuhkan kesadaran bersama dari semua pihak untuk menghentikannya dan menciptakan satu habitus politik baru yang dianut oleh semua pihak tanpa terkecuali: elite, warga negara maupun pasar.
Di sini dia sampai pada satu kesimpulan lain yang menarik, yaitu bahwa sekolah demokrasi seperti yang selama ini telah dilakukan oleh LP3ES menjadi sesuatu yang penting.
Untuk melampaui jebakan informalitas, dibutuh satu forum di mana semua elemen yang penting dari setiap sektor: akademisi, politisi, agamawan, jurnalis dan aktivis bisa bertemu dan bertukar pikiran untuk kemudian menyepakati langkah-langkah penting yang bisa dilakukan demi mendorong konsolidasi demokrasi perlu dilakukan.
Hal lain yang justru lebih menarik, pikiran Ward tentang perlunya forum semacam sekolah demokrasi mengemuka di berbagai diskusi kelompok terarah yang telah kami lakukan.
Sambil menyadari pentingnya transformasi stuktural dan institusional untuk mendorong konsolidasi demokrasi, para ilmuwan pada akhirnya berpaling pada agensi sebagai makhluk yang memiliki kehendak bebas untuk memilih dan mengambil keputusan.
Para agensi iniah yang pada akhirnya melakukan transformasi stuktural dan institusional itu.
Pada akhirnya, gagasan yang diungkapkan oleh Ward tentang reformasi sistem pemilu sebagai prioritas mungkin bukan tanpa kelemahan.
Bahkan dukungannya atas sekolah demokrasi yang disepakati oleh para peserta diskusi LP3ES mungkin tidak sempurna.
Dan barangkali, refleksi yang saya lakukan atas rangakaian diskusi, juga webinar LP3ES yang kini saya tulis mungkin masih terlalu prematur, namun satu hal yang pasti: forum dialog sekolah demokrasi itu sangat penting dan mendesak.
Ia didasari oleh satu kerendahan hati yang jujur bahwa perubahan yang bermakna bukanlah hasil keputusan segelintir orang yang kemudian “memaksakannya” kepada sebagian besar yang lain.
Perubahan yang bermakna hanya akan terjadi jika ada semakin banyak pihak yang mendapat kesempatan untuk menyampaikan masalah yang penting dalam demokrasi kita, lalu menyepakati dan agenda perubahan politik, dan menginternalisasinya sebagai gagasan yang muncul dari dari dalam diri sendiri.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.