Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Wijayanto
Dosen

Direktur Center for Media and Democracy, LP3ES, Jakarta dan sekaligus Kepala Sekolah Demokrasi, LP3ES. Penulis juga Dosen Media dan Demokrasi, FISIP UNDIP, meraih gelar Doktor dalam bidang Media dan Politik dari Universitas Leiden pada tahun 2019.

Sekolah Demokrasi Belanda: Mempersiapkan 2024, Mengawal 2045!

Kompas.com - 20/06/2022, 10:19 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

Namun bunga rampai itu memiliki satu kekurangan: sebagain besar tulisan berfokus pada masalah demokrasi kita hari ini dan menjelaskan faktor-faktor yang melatarbelakanginya, namun kurang membahas bagaimana peta jalan untuk mendorong konsolidasi ke depan.

LP3ES tidak sendiri. Jika kita menelaah literatur ilmu politik selama lima tahun terakhir, kajian tentang kemunduran demokrasi di Indonesia telah banyak dilakukan, namun sebagian besar masih berfokus pada perkembangan terbaru atau situasi kontemporer.

Dalam hal ini, satu studi yang secara serius melakukan refleksi atas masa lalu, melakukan analisa atas situasi terkini dan melakukan proyeksi ke masa depan dalam satu narasi yang utuh masih jarang dilakukan.

Untuk itu, sebagai langkah lebih jauh untuk mendorong konsolidasi demokrasi, saat ini LP3ES tengah menyusun proyek lainnya tentang bagaimana imajinasi demokrasi Indonesia saat republik ini berusia satu abad dan bagaimana peta jalan untuk mewujudkannya.

Untuk tujuan ini, LP3ES melakukan serangkaian diskusi kelompok terarah yang melibatkan tak kurang dari tiga puluh ilmuwan politik, baik dari dalam negeri maupun Indonesianis yang telah menghabiskan puluhan tahun meneliti tentang politik Indonesia.

Kepada mereka serangkaian pertanyaan kami ajukan dari mulai bagaimana imajinasi mereka tentang model demokrasi yang ideal pada 2045, apa saja modal dan hambataan yang kita miliki untuk mewujudkan imajinasi itu, lalu langkah-langkah apa saja yang bisa kita tempuh untuk mewujudkan model demokrasi yang ideal.

Eksplorasi model, modal dan hambatan demokrasi ideal ini kemudian lebih dipertajam lagi hingga kepada setiap aspek spesifik dari mulai struktural, kultural, institusional hingga agensi.

Yang juga menjadi bahasan diskusi adalah bagaimana pasang surut demokrasi Indonesia dalam pandangan mereka.

Saat tulisan ini disusun, analisis atas temuan-temuan utama diskusi itu masih sedang dilakukan.

Namun secara umum, tampaknya ada satu kesepakatan bersama bahwa demokrasi yang ideal terjadi manakala demokrasi tidak hanya berlangsung secara prosedural namun juga secara substansial.

Merujuk pada Schumpeter, sebuah negara bisa disebut sebagai demokratis manakala ia telah melaksanakan pemilu sebagai satu prosedur bergantian kekuasaan yang damai. Namun manisfestasi demokrasi subtansial memerlukan lebih dari itu.

Merujuk pada Dahl, demokrasi dapat dikatakan telah terwujud secara substansial manakala pelaksanaan prosedur demokrasi telah berjalan beriring dengan pemenuhan hak-hak asasi manusia, baik itu hak asasi sipil dan politk maupun hak asasi ekonomi, sosial dan budaya.

Maka harapan bahwa demokrasi bisa menghadirkan keadilan sosial dan ekonomi merupakan adalah idealisasi yang terus berulang di berbagai diskusi. Dengan kata lain, demokrasi politik perlu berjalan seiring dengan demokrasi ekonomi.

Untuk mewujudkan konstruksi demokrasi politik dan demokrasi ekonomi yang seimbang, diperlukan pilar-pilar penyangga yang kuat dan seimbang.

Rangkaian diskusi kelompok terarah yang kami lakukan menemukan bahwa pilar pertama demokrasi yang ideal adalah adanya satu kebijakan yang komprehensif untuk memastikan terwujudnya keadilan ekonomi.

Skema negara kesejahteraan yang mengintegrasikan sistem pajak dan pendataan warga menjadi idealisasi salah satu usulan yang menarik dan mengemuka.

Skema ini diharapkan dapat memangkas ketimpangan ekonomi yang masih kuat berlangsung, sekaligus membatasi kuasa oligarki di mana segelintir yang kaya menikmati sebagian besar kekayaan nasional.

Dengan kata lain, ketimpangan ekonomi merupakan problem struktural yang dicoba ditemukan obatnya melalui implementasi “welfare state”.

Dari sisi institusional, salah satu problem utama yang dinilai penting adalah belum berfungsinya pemilu sebagai satu prosedur demokrasi yang mampu melahirkan wakil-wakil yang benar-benar menyalurkan aspirasi rakyat, terutama golongan kurang beruntung yang selamanya tidak memiliki kesempatan untuk melakukan mobilitas sosial secara vertikal.

Persoalan ini terjadi karena, antara lain, praktik politik uang yang melumpuhkan fungsionalitas pemilu.

Jika pemilu adalah semacam perangkat lunak untuk mengoperasikan fungsi representasi politik dan agregasi kepentingan, maka politik uang adalah semacam virus yang membuat perangkat lunak ini tidak berfungsi.

Politik uang melahirkan para pemimpin yang tidak menyambung lidah rakyat, namun menyambung lidah para pemilik modal.

Kini praktik politik uang untuk membeli suara rakyat seakan telah menjadi normalitas. Pemilu tanpa politik uang, dengan demikian, adalah imajinasi demokrasi yang diidealkan bersama.

Aspek institusional lainnya yang penting dibahas adalah penegakan hukum. Sebagaimana digagas Winters (2021), penegakan hukum yang adil dan tanpa pandang bulu adalah satu senjata ampuh untuk menjinakkan oligarki.

Hukum perlu menunjukkan bahwa orang paling kuat sekalipun harus bisa dibawa ke pengadilan dan mendapatkan hukuman manakala dia menyalahgunakan kekuasaan.

Dalam hal ini dibutuhkan satu lembaga yang memiliki mandate dan kekuatan untuk menjalankan hukum yang adil itu. Dahulu, kehadiran Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) adalah jawabannya.

Sayangnya, revisi UU KPK yang terjadi pada 2019 justru melemahkan, bahkan mematikan, lembaga anti rasuah ini.

Penguatan, atau pembentukan kembali, lembaga semacam KPK yang mampu menghukum penyalahgunaan kekuasaan adalah langkah selanjutnya yang perlu diambil.

Dimensi kultural demokrasi adalah tentang persepsi, nilai dan keyakinan warga negara bahwa demokrasi adalah satu-satunya aturan main dalam kehidupan bersama.

Sayangnya, berbagai survei menemukan belum semua bersepakat akan hal ini. Kerinduan pada pemimpin yang kuat yang dipersonifikasikan pada rezim militer yang otoriter masih ada.

Di sisi lainnya, populisme keagamaan berupa perlunya pemimpin agama, dan aturan agama, tertentu menjadi penyangga kehidupan bersama juga menjadi catatan mengkhawatirkan lainnya.

Dan yang terbaru, lambatnya penanganan pandemi juga semakin menabalkan keyakinan sebagian orang bahwa demokrasi tidak diperlukan lagi.

Dalam hal ini, tak terhindarkan timbul satu tanya: benarkah demokrasi masih diyakini? Pendidikan demokrasi untuk menanamkan nilai-nilai demokrasi sejak dini hingga pendidikan tertinggi menjadi satu strategi untuk transformasi kultural yang mengemuka.

Dari sisi agensi ada dua aktor yang menjadi sorotan: warga negara dan elite. Dari sisi warga negara, terlepas dari sebagian temuan riset yang mengkhawatirkan di atas, kita sebenarnya memiliki modal yang cukup baik.

Di setiap upaya untuk memundurkan demokrasi, selalu ada gelombang perlawanan dari masyarakat sipil.

Pelemahan KPK, pembentukan UU Cipta Kerja dan wacana penundaan pemilu telah diikuti gelombang masif protes mahasiswa, akademisi dan aktivis secara nasional.

Yang menarik, gerakan perlawanan ini tidak hanya terjadi di secara luring, namun gelombang protes juga diungkapkan secara masif melalui media sosial.

Gerakan protes di lapangan dan di internet saling memengaruhi satu sama lain dan menciptakan perlawanan yang tidak hanya kuat, namun juga lentur, dan bisa muncul sewaktu-waktu.

Resiliensi masyarakat sipil antara lain ditandai dengan kemunculan kewargaan digital ini, merupakan modal sangat baik demokrasi kita yang mesti terus diperkuat.

Kebebasan berpendapat dan ruang publik yang bebas perlu dilindungi oleh negara demi masa depan demokrasi.

Dari sisi elite, sebagaimana diungkap oleh Larry Diamond (2020), salah satu penyebab kemunduran demokrasi secara global adanya pemimpin yang terpilih secara demokratis yang justru memunggungi demokrasi.

Tak seperti dahulu di mana kemunduran demokrasi dan bahkan putar balik ke arah otoriterisme menjadi penanda gelombang otoriterisme, hari ini penyebabnya ada pada agensi sipil. Dalam hal ini, Indonesia bukan perkecualian.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Saat Cak Imin Berkelakar soal Hanif Dhakiri Jadi Menteri di Kabinet Prabowo...

Saat Cak Imin Berkelakar soal Hanif Dhakiri Jadi Menteri di Kabinet Prabowo...

Nasional
Prabowo Ngaku Disiapkan Jadi Penerus, TKN Bantah Jokowi Cawe-cawe

Prabowo Ngaku Disiapkan Jadi Penerus, TKN Bantah Jokowi Cawe-cawe

Nasional
Orang Dekat Prabowo-Jokowi Diprediksi Isi Kabinet: Sjafrie Sjamsoeddin, Dasco, dan Maruarar Sirait

Orang Dekat Prabowo-Jokowi Diprediksi Isi Kabinet: Sjafrie Sjamsoeddin, Dasco, dan Maruarar Sirait

Nasional
Prabowo Diisukan Akan Nikahi Mertua Kaesang, Jubir Bilang 'Hoaks'

Prabowo Diisukan Akan Nikahi Mertua Kaesang, Jubir Bilang "Hoaks"

Nasional
Momen Jokowi dan Menteri Basuki Santap Mie Gacoan, Mentok 'Kepedasan' di Level 2

Momen Jokowi dan Menteri Basuki Santap Mie Gacoan, Mentok "Kepedasan" di Level 2

Nasional
Ditolak Partai Gelora Gabung Koalisi Prabowo, PKS: Jangan Terprovokasi

Ditolak Partai Gelora Gabung Koalisi Prabowo, PKS: Jangan Terprovokasi

Nasional
Kapolri Bentuk Unit Khusus Tindak Pidana Ketenagakerjaan, Tangani Masalah Sengketa Buruh

Kapolri Bentuk Unit Khusus Tindak Pidana Ketenagakerjaan, Tangani Masalah Sengketa Buruh

Nasional
Kapolri Buka Peluang Kasus Tewasnya Brigadir RAT Dibuka Kembali

Kapolri Buka Peluang Kasus Tewasnya Brigadir RAT Dibuka Kembali

Nasional
May Day 2024, Kapolri Tunjuk Andi Gani Jadi Staf Khusus Ketenagakerjaan

May Day 2024, Kapolri Tunjuk Andi Gani Jadi Staf Khusus Ketenagakerjaan

Nasional
Jumlah Menteri dari Partai di Kabinet Prabowo-Gibran Diprediksi Lebih Banyak Dibanding Jokowi

Jumlah Menteri dari Partai di Kabinet Prabowo-Gibran Diprediksi Lebih Banyak Dibanding Jokowi

Nasional
Menparekraf Ikut Kaji Pemblokiran 'Game Online' Mengandung Kekerasan

Menparekraf Ikut Kaji Pemblokiran "Game Online" Mengandung Kekerasan

Nasional
Jokowi di NTB Saat Buruh Aksi 'May Day', Istana: Kunker Dirancang Jauh-jauh Hari

Jokowi di NTB Saat Buruh Aksi "May Day", Istana: Kunker Dirancang Jauh-jauh Hari

Nasional
Jokowi di NTB Saat Massa Buruh Aksi 'May Day' di Istana

Jokowi di NTB Saat Massa Buruh Aksi "May Day" di Istana

Nasional
Seorang WNI Meninggal Dunia Saat Mendaki Gunung Everest

Seorang WNI Meninggal Dunia Saat Mendaki Gunung Everest

Nasional
Kasus Korupsi SYL Rp 44,5 Miliar, Bukti Tumpulnya Pengawasan Kementerian

Kasus Korupsi SYL Rp 44,5 Miliar, Bukti Tumpulnya Pengawasan Kementerian

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com