DEMOKRASI adalah makan siang para politisi. Undang-Undang (rule of law) adalah hidangan penutupnya.
Saat malam datang, mereka menjadikan partai politik dan topik representasi sebagai santapan.
Dan basa-basi kedaulatan rakyat adalah cemilan saat menonton televisi jelang kantuk menyapa. Apakah itu salah? Tentu saja tidak. Demokrasi adalah instrumen.
Demokrasi adalah alat bagi para politisi untuk unjuk gigi dan mengedepankan kepentingan-kepentinganya, baik jangka pendek ataupun panjang, personal atau organisasional.
Karena itu Thomas Sowell mengatakan bahwa “politics is the art of making your selfish desires seem like the national interest.”
Ya, salah satu kelebihan politisi memang itu, yakni memoles kepentingan pribadi dan kelompok agar seolah-olah terlihat seperti kepentingan rakyat dan kepentingan nasional di dalam kontestasi demokrasi.
Dalam buku klasiknya, “An Economic Theory of Democracy (1956)” Anthony Downs menulis terkait motivasi politisi dan partai, “We assume that they (politisi dan partai) act solely in order to attain the income, prestige, and power which come from being in office.”
Sangat rasional memang apa yang mereka tuju. Dengan kata lain, basi-basi ingin memperjuangkan kepentingan publik dan “blablabla” sejenis lainya dari politisi harus dimaknai dalam perspektif ini.
Nah, dalam kontek itulah pencitraan kemudian menjadi sangat penting alias menjadi senjata kelas satu para politisi dalam berpolitik dan mengakali demokrasi agar seolah-olah terlihat sedang memperjuangkan kepentingan rakyat banyak.
Para pengamat menyebutnya pendekatan post truth. Namun menurut James Ball ternyata tidak begitu.
Karena itu James memberi judul bukunya “Post Truth: How Bullshit Congquered The World.”
Ya, pencitraan pada dasarnya adalah kebohongan, atau “bulshit” yang dipoles dengan kesan-kesan kebenaran. Begitulah.
Lalu dari sisi teologis, demokrasi adalah alat untuk mengingkari Ttuhan. Dalam demokrasi, Tuhan tak berdaulat.
Selama rakyat tak bisa menghukum, selama institusi hukum bisa dihindari, hukum Tuhan bukanlah sebuah keperluan mendesak, sangat jarang dijadikan bahan pertimbangan.
Demokrasi adalah soal rakyat yang dikemas semenarik mungkin di mulut para elite politik. Demokrasi adalah soal rakyat yang diiming-imingi dengan kedaulatan.
Dan di antara rakyat dengan elite nyatanya terhalang dinding kaca yang sangat tebal, bahkan tak tertembus peluru.
Rakyat bisa menyaksikan, tapi alih-alih menyentuh, suaranya bahkan tak terdengar karena terhalang kaca tebal kedap suara.
Bagi rakyat banyak, demokrasi adalah dongeng. Demokrasi adalah gigauan tidur yang syukur-syukur bisa mengurangi jumlah pengeluaran bulanan.
Demokrasi adalah hadiah tak berharga, tapi lumayan menghibur. Diliburkan saat pemilihan, dihibur saat kampanye. Lumayan toh buat penghilang suntuk dan lelah.
Kadang tak jarang, gegara demokrasi, rakyat banyak bisa kebagian baju gratis, sembako cuma-cuma, dan amplop berisikan selembar dua lembar rupiah.
Jadi, demokrasi hanya hiburan bagi rakyat banyak. Basa-basi kedaulatan rakyat adalah kopi pagi hari, bersama sesumbar "dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat" sebagai pisang gorengnya.
Salahkah? Jelas jauh dari salah. Rakyat hanya mengikuti irama. Dan itulah realitas kita Indonesia.
Rakyat hanya pengikut. Jangan salahkan rakyat kalau pilkada menjadi mahal. Semakin banyak money politics yang ditebar, semakin banyak permintaan yang datang.