Rakyat hanya bermain dengan hukum alam yang ada. Rejeki datang tak boleh ditolak, pamali toh.
Sekalipun tak ada jaminan akan dicoblos karena hanya Tuhan yang mengetahui tiap-tiap isi hati rakyat, para elite tak pernah jera.
Para elite tak berniat untuk jera. Jelang pilkada serentak, misalnya, atau jelang pemilihan legislatif, jelang pemilihan presiden, lobby-lobby mendadak berparameterkan angka.
Kursi dihitung dan dikonversikan ke dalam angka tertentu, kemudian lahirlah harga.
Bagi rakyat, mereka hanya menari mengikuti ritme musik yang dimainkan. Rakyat berjoget saat musik dangdut yang dilantunkan.
Berdansa saat alunan klasik yang dimainkan. Bahkan mereka siap meliuk-liuk layaknya tarian religius Timur Tengah saat musiknya bernuasa kasidah.
Intinya, rakyat Indonesia adalah bagaimana elitenya. Begitulah sejarah sosio-historis negeri ini. Rusak elitenya, rusak kehidupan rakyatnya.
Rusak moral elitenya, rakyat semakin menikmati lelehannya. Taruhannya adalah kepentingan negara bangsa atau kepentingan daerah.
Taruhannya adalah masa depan generasi muda yang kian tak berpegangan. Adakah elite memikirkan? Biarkan waktu yang menjawab.
Jadi hari ini, demokrasi sejatinya bukan lagi tentang kebebasan, tapi semestinya tentang pembebasan.
Rakyat sudah dijajah oleh elite-elitenya. Sistem sudah dirusak oleh negosiasi-negosiasi para elite.
Tata kelola pemerintahan sudah buah dari permainan-permainan yang tak sehat. Angka-angka sudah tak murni lagi, bisa di-generate sesuka hati.
Politik dijalankan berdasar selera pasar. Oleh karena itu, Lembaga survei menjadi salah satu industri statistik terlaris.
Demokrasi adalah tentang selera pasar, bukan tentang moralitas kepentingan rakyat. Selera pasar sangat penting karena preferensi mayoritas adalah raja. Dan demokrasi kemudian hanya tersisa absurditas tak bertepi.
Oleh karena itu, jika tetap ingin berdemokrasi sekaligus membawa substansinya, maka rakyat harus dibebaskan dari pengaruh elite-elite.
Rakyat harus dijauhkan dari rekayasa-rekayasa politik murahan, dibebaskan dari pencitraan-pencitraan kelas receh.
Rakyat harus bisa membedakan mana yang fakta dan mana yang dongeng. Rakyat harus dijauhkan dari tarian-tarian munafik para anggota Dewan, para broker politik, para buzzer, karena demokrasi bukanlah democruncy (demo goyangan lidah), tapi soal perjuangan untuk mengedepankan kepentingan publik di atas kepentingan kelompok.
Jika tidak, demokrasi hanya skenario opera sabun mandi atau institusi aerobik ala democruncy, yang tak ubahnya acara Masterchef nan ramai itu.
Lembaga perwakilan harus mewakili, bukan mencibiri publik, bukan pula menari-nari di ruang publik agar mendapat credit point.
Lembaga perwakilan harus dibesarkan sekaligus diefektifkan. Partai-partai harus berbenah dan "tau diri."
Peran partai adalah penyambung lidah pemilih, bukan tempat menari dan bergoyang di saat kampanye, bukan pula tempat transaksi kursi jelang pemilihan.
Rusak partainya, lidahnya bisa cadel, aspirasinya bisa tak sesuai lagi dengan aslinya.
Dominasi partai harus diimbangin dengan regulasi-regulasi yang ketat dan jaminan kebebasan masyarakat sipil dengan latar negara hukum yang konsisten (law enforcemonet).