Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Ronny P Sasmita
Analis Senior Indonesia Strategic and Economic Action Institution

Penikmat kopi yang nyambi jadi Pengamat Ekonomi

Sepatu untuk Para Politisi

Kompas.com - 06/06/2022, 06:00 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

DEMOKRASI adalah makan siang para politisi. Undang-Undang (rule of law) adalah hidangan penutupnya.

Saat malam datang, mereka menjadikan partai politik dan topik representasi sebagai santapan.

Dan basa-basi kedaulatan rakyat adalah cemilan saat menonton televisi jelang kantuk menyapa. Apakah itu salah? Tentu saja tidak. Demokrasi adalah instrumen.

Demokrasi adalah alat bagi para politisi untuk unjuk gigi dan mengedepankan kepentingan-kepentinganya, baik jangka pendek ataupun panjang, personal atau organisasional.

Karena itu Thomas Sowell mengatakan bahwa “politics is the art of making your selfish desires seem like the national interest.”

Ya, salah satu kelebihan politisi memang itu, yakni memoles kepentingan pribadi dan kelompok agar seolah-olah terlihat seperti kepentingan rakyat dan kepentingan nasional di dalam kontestasi demokrasi.

Dalam buku klasiknya, “An Economic Theory of Democracy (1956)” Anthony Downs menulis terkait motivasi politisi dan partai, “We assume that they (politisi dan partai) act solely in order to attain the income, prestige, and power which come from being in office.”

Sangat rasional memang apa yang mereka tuju. Dengan kata lain, basi-basi ingin memperjuangkan kepentingan publik dan “blablabla” sejenis lainya dari politisi harus dimaknai dalam perspektif ini.

Nah, dalam kontek itulah pencitraan kemudian menjadi sangat penting alias menjadi senjata kelas satu para politisi dalam berpolitik dan mengakali demokrasi agar seolah-olah terlihat sedang memperjuangkan kepentingan rakyat banyak.

Para pengamat menyebutnya pendekatan post truth. Namun menurut James Ball ternyata tidak begitu.

Karena itu James memberi judul bukunya “Post Truth: How Bullshit Congquered The World.”

Ya, pencitraan pada dasarnya adalah kebohongan, atau “bulshit” yang dipoles dengan kesan-kesan kebenaran. Begitulah.

Lalu dari sisi teologis, demokrasi adalah alat untuk mengingkari Ttuhan. Dalam demokrasi, Tuhan tak berdaulat.

Selama rakyat tak bisa menghukum, selama institusi hukum bisa dihindari, hukum Tuhan bukanlah sebuah keperluan mendesak, sangat jarang dijadikan bahan pertimbangan.

Demokrasi adalah soal rakyat yang dikemas semenarik mungkin di mulut para elite politik. Demokrasi adalah soal rakyat yang diiming-imingi dengan kedaulatan.

Dan di antara rakyat dengan elite nyatanya terhalang dinding kaca yang sangat tebal, bahkan tak tertembus peluru.

Rakyat bisa menyaksikan, tapi alih-alih menyentuh, suaranya bahkan tak terdengar karena terhalang kaca tebal kedap suara.

Bagi rakyat banyak, demokrasi adalah dongeng. Demokrasi adalah gigauan tidur yang syukur-syukur bisa mengurangi jumlah pengeluaran bulanan.

Demokrasi adalah hadiah tak berharga, tapi lumayan menghibur. Diliburkan saat pemilihan, dihibur saat kampanye. Lumayan toh buat penghilang suntuk dan lelah.

Kadang tak jarang, gegara demokrasi, rakyat banyak bisa kebagian baju gratis, sembako cuma-cuma, dan amplop berisikan selembar dua lembar rupiah.

Jadi, demokrasi hanya hiburan bagi rakyat banyak. Basa-basi kedaulatan rakyat adalah kopi pagi hari, bersama sesumbar "dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat" sebagai pisang gorengnya.

Salahkah? Jelas jauh dari salah. Rakyat hanya mengikuti irama. Dan itulah realitas kita Indonesia.

Rakyat hanya pengikut. Jangan salahkan rakyat kalau pilkada menjadi mahal. Semakin banyak money politics yang ditebar, semakin banyak permintaan yang datang.

Rakyat hanya bermain dengan hukum alam yang ada. Rejeki datang tak boleh ditolak, pamali toh.

Sekalipun tak ada jaminan akan dicoblos karena hanya Tuhan yang mengetahui tiap-tiap isi hati rakyat, para elite tak pernah jera.

Para elite tak berniat untuk jera. Jelang pilkada serentak, misalnya, atau jelang pemilihan legislatif, jelang pemilihan presiden, lobby-lobby mendadak berparameterkan angka.

Kursi dihitung dan dikonversikan ke dalam angka tertentu, kemudian lahirlah harga.

Bagi rakyat, mereka hanya menari mengikuti ritme musik yang dimainkan. Rakyat berjoget saat musik dangdut yang dilantunkan.

Berdansa saat alunan klasik yang dimainkan. Bahkan mereka siap meliuk-liuk layaknya tarian religius Timur Tengah saat musiknya bernuasa kasidah.

Intinya, rakyat Indonesia adalah bagaimana elitenya. Begitulah sejarah sosio-historis negeri ini. Rusak elitenya, rusak kehidupan rakyatnya.

Rusak moral elitenya, rakyat semakin menikmati lelehannya. Taruhannya adalah kepentingan negara bangsa atau kepentingan daerah.

Taruhannya adalah masa depan generasi muda yang kian tak berpegangan. Adakah elite memikirkan? Biarkan waktu yang menjawab.

Jadi hari ini, demokrasi sejatinya bukan lagi tentang kebebasan, tapi semestinya tentang pembebasan.

Rakyat sudah dijajah oleh elite-elitenya. Sistem sudah dirusak oleh negosiasi-negosiasi para elite.

Tata kelola pemerintahan sudah buah dari permainan-permainan yang tak sehat. Angka-angka sudah tak murni lagi, bisa di-generate sesuka hati.

Politik dijalankan berdasar selera pasar. Oleh karena itu, Lembaga survei menjadi salah satu industri statistik terlaris.

Demokrasi adalah tentang selera pasar, bukan tentang moralitas kepentingan rakyat. Selera pasar sangat penting karena preferensi mayoritas adalah raja. Dan demokrasi kemudian hanya tersisa absurditas tak bertepi.

Oleh karena itu, jika tetap ingin berdemokrasi sekaligus membawa substansinya, maka rakyat harus dibebaskan dari pengaruh elite-elite.

Rakyat harus dijauhkan dari rekayasa-rekayasa politik murahan, dibebaskan dari pencitraan-pencitraan kelas receh.

Rakyat harus bisa membedakan mana yang fakta dan mana yang dongeng. Rakyat harus dijauhkan dari tarian-tarian munafik para anggota Dewan, para broker politik, para buzzer, karena demokrasi bukanlah democruncy (demo goyangan lidah), tapi soal perjuangan untuk mengedepankan kepentingan publik di atas kepentingan kelompok.

Jika tidak, demokrasi hanya skenario opera sabun mandi atau institusi aerobik ala democruncy, yang tak ubahnya acara Masterchef nan ramai itu.

Lembaga perwakilan harus mewakili, bukan mencibiri publik, bukan pula menari-nari di ruang publik agar mendapat credit point.

Lembaga perwakilan harus dibesarkan sekaligus diefektifkan. Partai-partai harus berbenah dan "tau diri."

Peran partai adalah penyambung lidah pemilih, bukan tempat menari dan bergoyang di saat kampanye, bukan pula tempat transaksi kursi jelang pemilihan.

Rusak partainya, lidahnya bisa cadel, aspirasinya bisa tak sesuai lagi dengan aslinya.

Dominasi partai harus diimbangin dengan regulasi-regulasi yang ketat dan jaminan kebebasan masyarakat sipil dengan latar negara hukum yang konsisten (law enforcemonet).

Partai bukan penjual suara rakyat, tapi pembela dan penyambung. Dari partai, kemudian masuk ke lembaga perwakilan, dan menjadi kebijakan-kebijakan. Dari partai, ideologi kebangsaan ditebar ke pemilih.

Dari partai, pemahaman negara bangsa Indonesia ditanamkan secara edukatif ke dalam memori pemilih.

Dan dari partai, semangat persatuan dan toleransi disalurkan ke kantong-kantong pemikiran pemilih. Dan banyak lagi tugas lainya. Demikian lah semestinya peran partai.

Apakah rakyat peduli? Bagi rakyat, partai tak penting. Oleh karena itu, partai lah yang harus menyadarkan dirinya bahwa demokrasi sangat bergantung kepada partai.

Rusak partainya, rusak pula demokrasinya. Semakin transaksional partainya, semakin transaksional demokrasinya. Sesederhana itu saja.

Jika partai tak paham justifikasi etis, justifikasi logis, dan justifikasi moral keberadaanya, maka demokrasi Indonesia sedang menuju kehancuran.

Politisi-politisi harus mengenali tanda-tanda kehancuran demokrasi. Ketidakpercayaan rakyat kepada partai dan parlemen yang tinggi adalah tanda yang harus disikapi segera. Politisi harus mampu membuktikan bahwa demokrasi layak dipertahankan.

Jika tidak, demokrasi hanya akan menjadi ajang gontok-gontokan di satu sisi dan ajang negosiasi jangka pendek di sisi lain.

Demokrasi akan ditarik ulur sesuai kepentingan oligarki, akan disodori wacana tiga periode atau perpanjangan masa jabatan penguasa.

Demokrasi akan menjadi wadah untuk bergoyang atas nama politik identitas yang sekaligus menjadi sarang korupsi kelas tinggi.

Oleh karena itu, jika bukan politisi yang menebar kesadaran demokrasi, lantas siapa lagi? Jika politisi justru memperalat demokrasi, maka selesai sudah urusan demokrasi.

Karena apa? Karena di tangan-tangan mereka keputusan diambil. Jika pemimpin dan politisi membuang muka dari kesejatian demokrasi, maka harapan rakyat sudah tamat.

Maka jangan minta rakyat untuk berharap, untuk berdoa, untuk berpandangan positif terhadap sistem yang berjalan, jika dari pemimpin dan politisi pun harapan itu sebenarnya tiada, hanya janji dan citra palsu, maka rakyat pun tak etis untuk diminta berharap.

Jadi berhentilah bergoyang atas nama demokrasi hanya untuk mendapatkan perhatian dan pupolaritas. Karena rakyat tak sebodoh yang dibayangkan.

Bahkan ketika George W Bush menginvasi Irak atas nama demokrasi, hak-hak asasi, dan pembebasan dari cengkraman diktator bernama Saddam, rakyat Irak sangat mahfum bahwa Bush datang dengan segudang kebohongan.

Boleh jadi rakyat Irak tak bisa berbuat apa-apa kala itu, tapi bukan berarti pikiran mereka bisa dijajah dan didikte.

Mereka sangat paham bahwa kedatangan pasukan AS dan sekutu tak berbeda dengan kedatangan Bangsa Mongol sebagai penjajah Mesopotamia atau Sir Stanley Maude dengan puluhan ribu pasukan Inggris di perang dunia pertama.

Berbekal kesadaran tersebut, muncullah Muntadar Al Zaidi (wartawan Irak) di hadapan konfrensi pers perpisahan Bush pada Desember 2008.

"INI CIUMAN PERPISAHAN UNTUKMU, ANJI**!!", sembari melemparkan satu sepatunya ke podium di mana Bush berpidato alias ke arah presiden dari negara demokrasi kelas satu dunia.

Dan " INI CIUMAN PERPISAHAN DARI PARA JANDA, ANAK YATIM, DAN ORANG-ORANG YANG TEWAS DI IRAK", tambahnya, sambil melemparkan sepatu keduanya ke arah yang sama.

Pesanya jelas, naluri rakyat cukup kuat. Mungkin tak bisa melawan secara signifikan, tapi di antara rakyat masih banyak yang berpikiran jernih yang bisa membedakan mana tipu daya, mana gegayaan, mana goyangan politik absurd ala democruncy, mana pencitraan, dan mana yang tulus dan ikhlas menyelesaikan masalah.

Jadi buat elite mohon hati-hati dan jaga sikap, kalau terlalu banyak basa-basi kebaikan di satu sisi, basa-basi sok suci, basa-basi sok paling bekerja keras, tapi di sisi lain Anda justru merugikan rakyat banyak, merusak tatanan yang telah bertahan lama, membuat kacau di sana-sini, atau menyamakan democruncy sebagai demokrasi, bisa jadi sepatu pun akan mendarat di jidat Anda.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Prabowo Diharap Tetapkan 2 Syarat Utama Sebelum Tambah Kementerian

Prabowo Diharap Tetapkan 2 Syarat Utama Sebelum Tambah Kementerian

Nasional
Ide Prabowo Tambah Kementerian Sebaiknya Pertimbangkan Urgensi

Ide Prabowo Tambah Kementerian Sebaiknya Pertimbangkan Urgensi

Nasional
Wacana Prabowo Tambah Kementerian Diyakini Bakal Picu Problem

Wacana Prabowo Tambah Kementerian Diyakini Bakal Picu Problem

Nasional
Tinggalkan KPK, Dirut Nonaktif PT Taspen Irit Bicara Sembari Bawa Sate

Tinggalkan KPK, Dirut Nonaktif PT Taspen Irit Bicara Sembari Bawa Sate

Nasional
Tanggal 10 Mei 2024 Memperingati Hari Apa?

Tanggal 10 Mei 2024 Memperingati Hari Apa?

Nasional
Usul Prabowo Tambah Kementerian Diharap Bukan Politik Akomodatif

Usul Prabowo Tambah Kementerian Diharap Bukan Politik Akomodatif

Nasional
Pakar Ungkap 'Gerilya' Wacana Tambah Kementerian Cukup Gencar

Pakar Ungkap "Gerilya" Wacana Tambah Kementerian Cukup Gencar

Nasional
Daftar Kepala BIN dari Masa ke Masa, Zulkifli Lubis hingga Budi Gunawan

Daftar Kepala BIN dari Masa ke Masa, Zulkifli Lubis hingga Budi Gunawan

Nasional
Gelar Halalbihalal, MUI Gaungkan Pesan Kemanusiaan untuk Korban Genosida di Gaza

Gelar Halalbihalal, MUI Gaungkan Pesan Kemanusiaan untuk Korban Genosida di Gaza

Nasional
Perjalanan BIN 6 Kali Berganti Nama, dari Brani hingga Bakin

Perjalanan BIN 6 Kali Berganti Nama, dari Brani hingga Bakin

Nasional
'Prabowo Banyak Dikritik jika Tambah Kementerian, Baiknya Jaga Kebatinan Rakyat yang Sedang Sulit'

"Prabowo Banyak Dikritik jika Tambah Kementerian, Baiknya Jaga Kebatinan Rakyat yang Sedang Sulit"

Nasional
Pengamat Nilai Putusan MK Terkait Sengketa Pilpres Jadi Motivasi Kandidat Pilkada Berbuat Curang

Pengamat Nilai Putusan MK Terkait Sengketa Pilpres Jadi Motivasi Kandidat Pilkada Berbuat Curang

Nasional
PPP Papua Tengah Klaim Pegang Bukti Kehilangan 190.000 Suara pada Pileg 2024

PPP Papua Tengah Klaim Pegang Bukti Kehilangan 190.000 Suara pada Pileg 2024

Nasional
Koarmada II Kerahkan 9 Kapal Perang untuk Latihan Operasi Laut Gabungan 2024, Termasuk KRI Alugoro

Koarmada II Kerahkan 9 Kapal Perang untuk Latihan Operasi Laut Gabungan 2024, Termasuk KRI Alugoro

Nasional
Kandidat Versus Kotak Kosong pada Pilkada 2024 Diperkirakan Bertambah

Kandidat Versus Kotak Kosong pada Pilkada 2024 Diperkirakan Bertambah

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com