Mereka tak segan (sukarela ataupun tidak) mendengungkan pilihannya dengan segala cara, termasuk cara “jorok” yang mengabaikan etika.
Sangat disadari bahwa perbedaan pilihan adalah pasti dan tak terhindarkan, apalagi dalam politik. Setiap orang akan merasa pilihannya tepat dengan perspektif masing-masing.
Hanya, hal tersebut menjadi lain ketika perbedaan pilihannya digembar-gemborkan, apalagi melampaui batas hingga bernuansa provokatif.
Menghakimi bahwa pilihannya paling benar; bersikap ekstrem dengan “menyucikan” pilihannya dan “mengharamkan” pilihan yang berbeda.
Tentu keliru memandang pilihan politik dalam kacamata benar atau salah, yang bersifat absolut.
Tidak ada unsur benar-salah dalam pilihan politik. Semua kandidat dalam kontestasi apa pun, (seharusnya) dipilih dalam pertimbangan tepat atau tidak tepat, bermanfaat atau tidak bermanfaat.
Artinya, apakah kualitas (visi) dan kapasitas kandidat, termasuk kualitas programnya, yang dipilih tersebut tepat sesuai dengan konteks kebutuhan publik atas masalah-masalah yang sedang dihadapi.
Referensinya adalah aspek rasional, bukan mengandalkan sentimen yang irasional.
Setiap tindakan punya konsekuensi, termasuk hilangnya asas rahasia dalam pemilu dan warga menggembar-gemborkan pilihannya. Dampaknya terhadap personal dan publik.
Kasus kekerasan terhadap Ade Armando bisa menjadi ilustrasi bagaimana dampak sikap tersebut terhadap personal.
Mereka akan menjadi sasaran dari pihak yang berbeda atau tidak sepemahaman dengannya atas tindakan dan responsnya terhadap perbedaan pilihan. Ini memicu pihak lain untuk bersikap represif.
Dampak lainnya adalah berbagai kasus di level keluarga, semisal, suami-istri berkonflik, antar-keluarga bertengkar karena perbedaan pilihan politik yang diambil.
Meski begitu, tindakan represif akibat beda pilihan bukanlah sesuatu yang dibenarkan.
Sebenarnya, bukan cuma Ade Armando, publik pun “kena pukul”. Ruang publik menjadi gaduh. Ketegangan dan perpecahan mengikuti: aku bukan kamu, kita bukan mereka.
Hal tersebut mengkristal menimbulkan polarisasi. Polarisasi membuat ruang publik kita, tak terkecuali media sosial, begitu sesak dengan konten-konten atau narasi yang tidak bermutu.