Publik dijejali informasi dan pengetahuan yang lebih mengarah pada provokatif, intimidatif, dan minim keabsahan.
Pada tahap tertentu, ruang publik kita tak ubahnya arena tumpukan sampah dan bersifat kontraproduktif.
Buruknya terasa sampai pasca-pemilu. Percakapan yang terpolarisasi akan menyulitkan adanya kolaborasi membangun negeri.
Semangat kerja sama akan menurun, potensi konflik sosial terus membayangi. Ini dipertegas B. Herry Priyono (2022), bahwa konflik karena sentimen ini adalah patologi untuk hidup bersama dalam kebhinekaan yang memicu ledakan konflik horizontal.
Kelompok satu dengan lainnya bukan membentuk kerja sama, melainkan "orang asing" yang mesti diusir.
Demokrasi memfasilitasi semua orang untuk berbicara, mengutarakan pendapat secara bebas, meski bukan untuk semua hal.
Keterbukaan juga bukan berarti bebas bersikap vulgar dan tanpa batas. Senada dengan Mangunwijaya (dalam Sidney Hook, Sosok Filsuf Humanisme Demokrat dalam Tradisi Pragmatisme, 1994), demokrasi memiliki aturan main, salah satunya kebebasan yang berbatas.
Dia yang melanggar akan mereduksi demokrasi ke Darwinisme menuju anarkis dan kekacauan.
Kita tetap perlu membatasi dan menahan diri untuk tidak sesumbar akan pilihan politik karena toh itu bukan kiat-kiat sukses yang perlu diumbar.
Junjung kembali asas rahasia dalam pemilu; rahasiakanlah pilihanmu. Cukup mereka yang berkampanye adalah tim kampanye.
Warga bersikap tenang dan kembali pada perannya menjadi “hakim” atas semua kandidat yang disodorkan dan menawarkan diri. Dibarengi dengan riset untuk mempertimbangkan pilihan yang terbaik.
Untuk memiliki kemampuan memilih, masyarakat butuh pengetahuan. Pengetahuan atas dinamika politik, kualitas pemimpin yang baik, bagaimana seharusnya pemerintahan dilaksanakan, serta bagaimana kekuasaan politik itu bekerja, dan lainnya.
Ini perlu didukung oleh kurator pengetahuan. Kalangan terdidik dan intelektual publik perlu menyadari kehadiran, peran, dan pemikirannya memiliki pengaruh besar bagi publik.
Karena seberpengaruh itu, perlu dimanfaatkan untuk kebaikan bersama—berperan objektif dan menenangkan keadaan secara jernih dengan ilmu pengetahuannya.
Bukan sebaliknya, justru menjadi aktor yang terlibat dalam kegaduhan akibat propaganda dan provokasinya. Ini akan meminimalisasi konflik atas perbedaan pilihan politik, khususnya yang digembar-gemborkan.