Pengetatan bermaksud untuk membongkar pelaku dan kejahatan lain. Di samping tentu saja sebagai jembatan menciptakan keadilan dan kemanfaatan serta kepastian bagi pelaku dan korban.
Bagi pelaku, untuk memastikan bahwa yang bersangkutan bukan pelaku utama sehingga berhak mendapatkan hak itu dan agar pelaku tidak dihukum sendiri. Untuk korban agar pelaku kejahatan tidak mudah menghirup udara bebas.
MA dalam Putusan 51/2013 juncto Putusan 56/2013 menyatakan pada hakekatnya PP 99/2012 menyatakan pengetatan pemberian remisi justru sesuai dengan konsep restorative justice, hak asasi manusia, dan UUD 1945.
Pengetatan harus dipandang bagian dari extra ordinary action menghadapi extra ordinary crime.
Benang merah di sini ialah justru pengetatan remisi bertalian erat dengan semangat pemberantasan korupsi dan perlindungan hak asasi manusia korban kejahatan.
Bahkan harus dilihat ini tindakan afirmatif dalam arti positif untuk menjembatani rasa keadilan masyarakat.
Landasannya jelas, pengetatan remisi secara logis dan tepat hanya mengatur kejahatan serius, tidak terhadap kejahatan biasa dan/atau pelanggaran. Memberlakukan berbeda terhadap hal yang berbeda pula.
Kelima, syarat remisi yang ketat bukan merupakan sanksi tambahan.
Bahwa ada yang menyatakan remisi sebagai sanksi tambahan karena syaratnya yang sulit. Pada kenyataannya, pelaku korupsi yang ditolak permohonan remisi hanya ada dua kemungkinan: (i) pemohon merupakan pelaku utama; dan (ii) bobot keterangan pemohon tidak bernilai membongkar pelaku dan jenis kejahatan lain.
Dalam perundang-undangan Indonesia, remisi bukan sanksi tambahan. Pidana tambahan menurut KUHP, yaitu pencabutan beberapa hak tertentu, perampasan barang tertentu, dan pengumuman putusan hakim.
Menurut UU 31/1999 jo UU 20/2001, pidana tambahan, yaitu: (1) perampasan barang bergerak yang berwujud atau yang tidak berwujud atau barang tidak bergerak yang digunakan untuk atau yang diperoleh dari tindak pidana korupsi, termasuk perusahaan milik terpidana di mana tindak pidana korupsi dilakukan, begitu pula dari barang yang menggantikan barang-barang tersebut; (2) pembayaran uang pengganti yang besarnya sama dengan harta benda yang dikorupsi; (3) penutupan seluruh atau sebagian perusahaan untuk waktu paling lama 1 (satu) tahun; dan (4) pencabutan seluruh atau sebagian hak-hak tertentu atau penghapusan seluruh atau sebagian keuntungan tertentu, yang telah atau dapat diberikan oleh Pemerintah kepada terpidana.
Adanya kesepakatan untuk melanjutkan proses pembahasan RUU PAS tentu baik dalam perbaikan pemasyarakatan ke depan. Namun, wacana penghapusan pengetatan remisi selayaknya dikeluarkan dari RUU PAS.
Dalam kaitannya dengan itu, Penulis memberikan beberapa catatan.
Pertama, penghapusan syarat ketat remisi kepada narapidana kasus korupsi berpotensi mengabaikan aspirasi publik, mencederai rasa keadilan masyarakat/pemerintah/negara sebagai korban korupsi, tapi sebaliknya bisa dipandang upaya mengakomodir aspirasi koruptor.
Kedua, secara faktual, tingkat korupsi di negeri masih tinggi. Karena itu membutuhkan instrumen regulasi yang bisa memberikan detterent effect kepada pelaku dan restorative effect bagi korban.
RUU PAS justru sebaiknya mempersiapkan langkah-langkah mitigasi korupsi di LP/Rutan termasuk menjamin tidak ada penyalahgunaan hak remisi.
Ketiga, pengetatan remisi adalah tujuan prioritas yang perlu diwujudkan. Hal ini dijelaskan pada poin 3.2b bagian Penegakan Hukum huruf i Lampiran PP PP 55/2012 tentang Strategi Nasional Pencegahan dan Pemberantasan Korupsi Jangka Panjang Tahun 2012-2025, bahwa “prioritas perbaikan mekanisme penegakan hukum dalam rangka meningkatkan kepercayaan masyarakat terhadap aparat dan lembaga penegakan hukum adalah melalui: i. pengetatan pemberian remisi kepada pelaku tipikor.”
Keempat, pengetatan pemberian remisi sebagai kebutuhan penegakan hukum sudah terbukti. Pembentuk undang-undang sebaiknya mempertahankan pengetatan syarat remisi. Kendatipun PP 99/2012 telah dibatalkan, tidak perlu dihapuskan dalam RUU PAS.
Sebaiknya, putusan-putusan MK dan MA terdahulu diadopsi sebagai dasar mempertahankannya. Karena jelas ini hal yang konstitusional dan masih dibutuhkan.
Pembentuk juga sebaiknya mencermati inkonsistensi putusan MA dan putusan MK belakangan sebagai pertimbangan memilih yang paling tepat untuk masyarakat, bangsa dan negara.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.