Salin Artikel

Meninjau Ulang Wacana Penghapusan Syarat Ketat Remisi Koruptor dalam RUU PAS

Sebagai misal, ketika terjadi korupsi politik, implikasi besar yang bisa dirasakan antara lain: menurunnya tingkat kepercayaan publik kepada pemerintah; merusak sistem demokrasi dan tatanan nilai; memengaruhi kepatuhan hukum hingga memperlambat pembangunan nasional.

Dari sudut pandang filosofis dan sosiologis, pengetatan syarat narapidana korupsi mendapatkan hak remisi untuk memenuhi rasa keadilan masyarakat akibat korupsi.

Remisi sebagai hak narapidana diatur dalam Pasal 14 ayat (1) huruf (i) dan ayat (2) UU 12/1995 tentang Pemasyarakatan.

Dari UU ini, lahir PP 32/1999, PP 28/2006 dan terakhir PP 99/2012 sebagai peraturan pelaksana yang mengatur syarat-syarat dan tata cara pemberian remisi bagi narapidana.

Untuk tindak pidana korupsi, PP 99/2012 menambah syarat-syarat khusus seperti narapidana harus bersedia menjadi justice collaborator dan membayar lunas denda dan uang pengganti.

Pada 28 Oktober 2021, Mahkamah Agung membatalkan PP 99/2012 tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan.

Publik cukup terkejut dengan putusan itu, lantaran perubahan sikap MA yang dinilai tidak konsisten dengan putusan terdahulunya.

Bahkan, salah satu anggota majelis hakim dahulu menolak permohonan pembatalan PP 99/2012 karena tidak bertentangan dengan UU dan prinsip hukum lainnya.

Sebelum pembatalan itu, Rancangan Undang-Undang Pemasyarakatan (RUU PAS) di DPR berusaha menghapuskan syarat pengetatan remisi.

Penolakan publik mengalir sejak munculnya draf RUU PAS sejak tahun 2019 dan semakin meruncing tahun 2020 dan 2021. Hasilnya, pembahasan RUU PAS ditunda.

Namun, pada 25 Mei 2022, DPR dan Pemerintah telah menyepakati pembahasan RUU PAS akan dibawa ke pembahasan tingkat kedua atau paripurna.

Targetnya disahkan pada Juli mendatang. Salah satu titik krusial RUU PAS masih terkait potensi mempermudah koruptor mendapatkan remisi dan mempersamakan kejahatan luar biasa ini dengan tindak pidana biasa.

Tulisan ini mencoba menyajikan kembali dukungan peradilan yang pernah ada terhadap syarat pengetatan pemberian remisi sebagai bagian tak terpisahkan dari upaya melawan korupsi.

Sekaligus untuk menjawab salah tuding kelompok kontra dalam beberapa isu yang melekat sehingga mendorong mereka mengambil inisiatif pengujian PP 99/2012 dan UU 12/1995 khususnya Pasal 14 ayat (1) huruf i dan ayat (2) sekaligus upaya legislasi baru dalam RUU PAS.

Tujuannya adalah agar politik legislasi dalam RUU PAS bisa lebih mendalam melihat kebutuhan dan aspirasi masyarakat sehingga tidak serta merta konteks pembatalan PP 99/2012 bisa menjadi landasan bagi legislator menghapuskan ketentuan pengetatan remisi.

Isu seputar hak remisi dan pendapat pengadilan

Jika ditelisik secara singkat pandangan lembaga peradilan khususnya dari Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi terhadap pengujian PP 99/2012 dan Pasal 14 ayat (1) huruf i dan ayat (2) UU 12/1995 terdapat beberapa hal penting.

Pertama, pengetatan syarat remisi koruptor berdasar secara hukum dan tidak bertentangan dengan hukum yang lebih tinggi.

Argumentasi pemohon uji materi PP 99/2012 seringkali menuding beleid ini bertentangan dengan UU 12/1995 tentang Pemasyarakatan.

Pasal 14 ayat (2) UU 12/1995 mendelegasikan pengaturan lebih lanjut mengenai syarat-syarat dan tata cara pelaksanaan remisi dalam PP.

Secara teknik pembentukan peraturan perundang-undangan, PP adalah peraturan yang ditetapkan Presiden untuk menjalankan undang-undang dan materi muatannya berisi materi untuk menjalankan undang-undang sebagaimana mestinya.

Mahkamah Agung sejak dalam Putusan 51 P/HUM/2013 menyatakan “bahwa tidak ternyata ada pertentangan antara PP 99/2012 dengan UU 12/1995 karena tujuan utama dari PP 99/2012 adalah pembinaan narapidana. Bahwa PP 99/2012 adalah pelaksanaan dari pendelegasian yang diperintahkan UU 12/2011.”

Pendirian ini pula tercermin dalam Putusan Nomor 56 P/HUM/2013 yang menyatakan, "hakekat dari pasal-pasal dalam PP 99/2012 adalah pengetatan pemberian remisi, yang sebenarnya sudah pernah diatur dalam PP 28/2006. Bahwa pengetatan remisi untuk memenuhi rasa keadilan masyarakat karena kejahatan tersebut merupakan kejahatan luar biasa yang mengakibatkan kerugian besar bagi Negara atau masyarakat atau korban yang banyak atau menimbulkan kepanikan, kecemasan, ketakutan yang luar biasa kepada masyarakat. Jadi tidak bertentangan dengan UU 12/1995, UU 39/1999, UU 10/2004 (sudah tidak berlaku), dan UUD 1945.”

Bahkan tahun 2015, MA kembali meneguhkan pandangannya dalam Putusan Nomor 63 P/HUM/2015 yang menyatakan substansi pengaturan PP 99/2012 tidak bertentangan dengan UU 12/1995 karena ketentuan teknis mengenai syarat-syarat dan tata cara pelaksanaan hak-hak Narapidana (narkotika dan korupsi) merupakan kewenangan sepenuhnya Pemerintah (Presiden RI), yaitu demi alasan keamanan, ketertiban umum, dan rasa keadilan.

Sementara itu, judicial review atas Pasal 14 ayat (2) UU 12/1995, MK dalam sub paragraf [3.8.4] Putusan Nomor 54/PUU-XV/2017 diulangi di Putusan Nomor 82/PUU-XV/2017 menyatakan bahwa “…berdasarkan Pasal 14 ayat (2) UU 12/1995, pemerintah diberi wewenang untuk mengatur syarat dan tata-cara pelaksanaan remisi. Kewenangan delegasi tersebut merujuk pada Penjelasan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (selanjutnya disebut UU 12/2011), yaitu bahwa peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi dapat mendelegasikan kewenangan mengatur lebih lanjut kepada Peraturan Perundang-undangan yang lebih rendah. Karena diberi landasan yuridis oleh Undang-Undang, Pemerintah berwenang menentukan syarat dan tata cara pemberian remisi.”

Itu artinya, hak remisi yang diatur dalam PP sekalipun bukan masalah.

Kedua, Pasal 14 ayat (2) UU 12/1995 dianggap bertentangan dengan konstitusi dan remisi bukan hak konstitusional.

Pasal ini dianggap bertentangan dengan konstitusi karena mendelegasikan pengaturan lebih lanjut hak remisi ke PP.

Penguji biasanya menganggap bahwa tidak perlu diatur dalam PP karena hak remisi merupakan hak konstitusional narapidana.

MK menjawab itu dalam Putusan Nomor 54/PUU- XV/2017 yang dimohonkan Suryadharma Ali, dkk juncto Putusan Nomor 82/PUU-XV/2017 yang dimohonkan Kamaluddin Harahap.

MK menyatakan bahwa remisi adalah hak hukum (legal rights) yang diberikan oleh negara kepada narapidana sepanjang telah memenuhi syarat-syarat tertentu.

Artinya, remisi bukanlah hak yang tergolong ke dalam kategori hak asasi manusia (human rights) dan juga bukan tergolong hak konstitusional (constitutional rights) sehingga dapat dilakukan pembatasan terhadapnya sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

Inilah letak perbedaan legal rights dengan human rights. Bahwa legal rights bisa diatur dengan PP, sedangkan human rights harus diatur dalam UU. Menurut MK, Pasal 14 ayat (2) tidak bertentangan dengan UUD 1945.

Ketiga, pengetatan syarat remisi bagi narapidana korupsi bukan diskriminasi. Isu ini sering dijadikan alasan pengujian norma.

Pengertian diskriminasi menurut Pasal 1 ayat 3 UU 39/1999, yaitu “Diskriminasi adalah setiap pembatasan, pelecehan, atau pengucilan yang langsung ataupun tak langsung didasarkan pada pembedaan manusia atas dasar agama, suku, ras, etnik, kelompok, golongan, status sosial, status ekonomi, jenis kelamin, bahasa, keyakinan politik, yang berakibat pengurangan, penyimpangan, atau penghapusan pengakuan, pelaksanaan, atau penggunaan hak asasi manusia dan kebebasan dasar dalam kehidupan baik individual maupun kolektif dalam bidang politik, ekonomi, hukum, sosial, budaya dan aspek kehidupan lainnya.”

Merujuk pada Pasal 12 ayat (1) UU 12/1995 bahwa “Dalam rangka pembinaan terhadap Narapidana di LAPAS dilakukan penggolongan atas dasar : a. umur; b. jenis kelamin; c. lama pidana yang dijatuhkan; d. jenis kejahatan; dan e. kriteria lainnya sesuai dengan kebutuhan atau perkembangan pembinaan. (2) Pembinaan Narapidana Wanita di LAPAS dilaksanakan di LAPAS Wanita.”

UU mengamanatkan dilakukan penggolongan dalam pembinaan. Pembinaan dengan mengetatkan syarat-syarat pemberian remisi tidak berakibat pengurangan, penyimpangan, atau penghapusan pengakuan, pelaksanaan, atau penggunaan hak asasi manusia sebagai dampak adanya sebuah diskriminasi.

Putusan MK Nomor 54/PUU-XV/2017 tegas menyatakan dalam sub paragraph [3.8.7] “Bahwa rumusan Pasal 14 ayat (1) UU 12/1995, secara khusus Pasal 14 ayat (1) huruf i, telah sangat jelas sebab isinya hanya memuat rincian tentang hak- hak narapidana sehingga tidak mungkin ditafsirkan lain atau diberi pemaknaan berbeda selain apa yang tersurat dalam rumusan norma a quo, lebih-lebih untuk ditafsirkan atau didalilkan diskriminatif.”

Dengan demikian sebenarnya, dalam konteks pengetatan remisi koruptor, tidak terjadi diskriminasi itu. Bahkan tidak diberikannya remisi tidak melanggar konstitusi dan hak asasi narapidana.

Keempat, dianggap tidak sejalan dengan filosofi pemasyarakatan dan tujuan pemidanaan.

Penentuan remisi kepada koruptor tidak ujug-ujug tetapi harus didasarkan pada output pembinaan dan pembimbingan narapidana oleh Lapas, yakni intelektualitas, religiusitas, kesehatan jasmani rohani, latihan kerja, dan produksi.

Bukan karena faktor kedekatan personal, motif politik, komoditas, atau suka tidak suka.

Ketika menyoal filosofi pemasyarakatan dan tujuan pemidanaan, prinsipnya remisi merupakan insentif kepada narapidana.

Dengan kata lain, remisi bisa dilihat sebagai penghargaan kepada narapidana atas kesuksesan mengikuti program-program pembinaan.

Bahwa berbicara terkait filosofi pemasyarakatan dan filosofi pemidanaan, remisi hanya bagian kecil dari sistem pemasyarakatan kita yang telah menjamin hak-hak narapidana.

Selain remisi, masih ada hak-hak narapidana lain yang menunjukan bahwa pemasyarakatan sedang berjalan.

Pengetatan bermaksud untuk membongkar pelaku dan kejahatan lain. Di samping tentu saja sebagai jembatan menciptakan keadilan dan kemanfaatan serta kepastian bagi pelaku dan korban.

Bagi pelaku, untuk memastikan bahwa yang bersangkutan bukan pelaku utama sehingga berhak mendapatkan hak itu dan agar pelaku tidak dihukum sendiri. Untuk korban agar pelaku kejahatan tidak mudah menghirup udara bebas.

MA dalam Putusan 51/2013 juncto Putusan 56/2013 menyatakan pada hakekatnya PP 99/2012 menyatakan pengetatan pemberian remisi justru sesuai dengan konsep restorative justice, hak asasi manusia, dan UUD 1945.

Pengetatan harus dipandang bagian dari extra ordinary action menghadapi extra ordinary crime.

Benang merah di sini ialah justru pengetatan remisi bertalian erat dengan semangat pemberantasan korupsi dan perlindungan hak asasi manusia korban kejahatan.

Bahkan harus dilihat ini tindakan afirmatif dalam arti positif untuk menjembatani rasa keadilan masyarakat.

Landasannya jelas, pengetatan remisi secara logis dan tepat hanya mengatur kejahatan serius, tidak terhadap kejahatan biasa dan/atau pelanggaran. Memberlakukan berbeda terhadap hal yang berbeda pula.

Kelima, syarat remisi yang ketat bukan merupakan sanksi tambahan.

Bahwa ada yang menyatakan remisi sebagai sanksi tambahan karena syaratnya yang sulit. Pada kenyataannya, pelaku korupsi yang ditolak permohonan remisi hanya ada dua kemungkinan: (i) pemohon merupakan pelaku utama; dan (ii) bobot keterangan pemohon tidak bernilai membongkar pelaku dan jenis kejahatan lain.

Dalam perundang-undangan Indonesia, remisi bukan sanksi tambahan. Pidana tambahan menurut KUHP, yaitu pencabutan beberapa hak tertentu, perampasan barang tertentu, dan pengumuman putusan hakim.

Menurut UU 31/1999 jo UU 20/2001, pidana tambahan, yaitu: (1) perampasan barang bergerak yang berwujud atau yang tidak berwujud atau barang tidak bergerak yang digunakan untuk atau yang diperoleh dari tindak pidana korupsi, termasuk perusahaan milik terpidana di mana tindak pidana korupsi dilakukan, begitu pula dari barang yang menggantikan barang-barang tersebut; (2) pembayaran uang pengganti yang besarnya sama dengan harta benda yang dikorupsi; (3) penutupan seluruh atau sebagian perusahaan untuk waktu paling lama 1 (satu) tahun; dan (4) pencabutan seluruh atau sebagian hak-hak tertentu atau penghapusan seluruh atau sebagian keuntungan tertentu, yang telah atau dapat diberikan oleh Pemerintah kepada terpidana.

Meninjau ulang

Adanya kesepakatan untuk melanjutkan proses pembahasan RUU PAS tentu baik dalam perbaikan pemasyarakatan ke depan. Namun, wacana penghapusan pengetatan remisi selayaknya dikeluarkan dari RUU PAS.

Dalam kaitannya dengan itu, Penulis memberikan beberapa catatan.

Pertama, penghapusan syarat ketat remisi kepada narapidana kasus korupsi berpotensi mengabaikan aspirasi publik, mencederai rasa keadilan masyarakat/pemerintah/negara sebagai korban korupsi, tapi sebaliknya bisa dipandang upaya mengakomodir aspirasi koruptor.

Kedua, secara faktual, tingkat korupsi di negeri masih tinggi. Karena itu membutuhkan instrumen regulasi yang bisa memberikan detterent effect kepada pelaku dan restorative effect bagi korban.

RUU PAS justru sebaiknya mempersiapkan langkah-langkah mitigasi korupsi di LP/Rutan termasuk menjamin tidak ada penyalahgunaan hak remisi.

Ketiga, pengetatan remisi adalah tujuan prioritas yang perlu diwujudkan. Hal ini dijelaskan pada poin 3.2b bagian Penegakan Hukum huruf i Lampiran PP PP 55/2012 tentang Strategi Nasional Pencegahan dan Pemberantasan Korupsi Jangka Panjang Tahun 2012-2025, bahwa “prioritas perbaikan mekanisme penegakan hukum dalam rangka meningkatkan kepercayaan masyarakat terhadap aparat dan lembaga penegakan hukum adalah melalui: i. pengetatan pemberian remisi kepada pelaku tipikor.”

Keempat, pengetatan pemberian remisi sebagai kebutuhan penegakan hukum sudah terbukti. Pembentuk undang-undang sebaiknya mempertahankan pengetatan syarat remisi. Kendatipun PP 99/2012 telah dibatalkan, tidak perlu dihapuskan dalam RUU PAS.

Sebaiknya, putusan-putusan MK dan MA terdahulu diadopsi sebagai dasar mempertahankannya. Karena jelas ini hal yang konstitusional dan masih dibutuhkan.

Pembentuk juga sebaiknya mencermati inkonsistensi putusan MA dan putusan MK belakangan sebagai pertimbangan memilih yang paling tepat untuk masyarakat, bangsa dan negara.

https://nasional.kompas.com/read/2022/05/31/06100001/meninjau-ulang-wacana-penghapusan-syarat-ketat-remisi-koruptor-dalam-ruu-pas

Terkini Lainnya

Kejagung: Kadis ESDM Babel Terbitkan RKAB yang Legalkan Penambangan Timah Ilegal

Kejagung: Kadis ESDM Babel Terbitkan RKAB yang Legalkan Penambangan Timah Ilegal

Nasional
Kejagung Tetapkan Kadis ESDM Babel dan 4 Orang Lainnya Tersangka Korupsi Timah

Kejagung Tetapkan Kadis ESDM Babel dan 4 Orang Lainnya Tersangka Korupsi Timah

Nasional
Masuk Bursa Gubernur DKI, Risma Mengaku Takut dan Tak Punya Uang

Masuk Bursa Gubernur DKI, Risma Mengaku Takut dan Tak Punya Uang

Nasional
Sambut PKB dalam Barisan Pendukung Prabowo-Gibran, PAN: Itu CLBK

Sambut PKB dalam Barisan Pendukung Prabowo-Gibran, PAN: Itu CLBK

Nasional
Dewas KPK Minta Keterangan SYL dalam Dugaan Pelanggaran Etik Nurul Ghufron

Dewas KPK Minta Keterangan SYL dalam Dugaan Pelanggaran Etik Nurul Ghufron

Nasional
Soal Jatah Menteri PSI, Sekjen: Kami Tahu Ukuran Baju, Tahu Kapasitas

Soal Jatah Menteri PSI, Sekjen: Kami Tahu Ukuran Baju, Tahu Kapasitas

Nasional
Cinta Bumi, PIS Sukses Tekan Emisi 25.445 Ton Setara CO2

Cinta Bumi, PIS Sukses Tekan Emisi 25.445 Ton Setara CO2

Nasional
Menpan-RB Anas Bertemu Wapres Ma’ruf Amin Bahas Penguatan Kelembagaan KNEKS

Menpan-RB Anas Bertemu Wapres Ma’ruf Amin Bahas Penguatan Kelembagaan KNEKS

Nasional
Banyak Caleg Muda Terpilih di DPR Terindikasi Dinasti Politik, Pengamat: Kaderisasi Partai Cuma Kamuflase

Banyak Caleg Muda Terpilih di DPR Terindikasi Dinasti Politik, Pengamat: Kaderisasi Partai Cuma Kamuflase

Nasional
PKB Sebut Pertemuan Cak Imin dan Prabowo Tak Bahas Bagi-bagi Kursi Menteri

PKB Sebut Pertemuan Cak Imin dan Prabowo Tak Bahas Bagi-bagi Kursi Menteri

Nasional
Fokus Pilkada, PKB Belum Pikirkan 'Nasib' Cak Imin ke Depan

Fokus Pilkada, PKB Belum Pikirkan "Nasib" Cak Imin ke Depan

Nasional
Kritik Dukungan Nasdem ke Prabowo, Pengamat: Kalau Setia pada Jargon “Perubahan” Harusnya Oposisi

Kritik Dukungan Nasdem ke Prabowo, Pengamat: Kalau Setia pada Jargon “Perubahan” Harusnya Oposisi

Nasional
Megawati Tekankan Syarat Kader PDI-P Maju Pilkada, Harus Disiplin, Jujur, dan Turun ke Rakyat

Megawati Tekankan Syarat Kader PDI-P Maju Pilkada, Harus Disiplin, Jujur, dan Turun ke Rakyat

Nasional
Langkah PDI-P Tak Lakukan Pertemuan Politik Usai Pemilu Dinilai Tepat

Langkah PDI-P Tak Lakukan Pertemuan Politik Usai Pemilu Dinilai Tepat

Nasional
PSI Buka Pendaftaran Bakal Calon Kepala Daerah Pilkada 2024

PSI Buka Pendaftaran Bakal Calon Kepala Daerah Pilkada 2024

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke