Bahkan tahun 2015, MA kembali meneguhkan pandangannya dalam Putusan Nomor 63 P/HUM/2015 yang menyatakan substansi pengaturan PP 99/2012 tidak bertentangan dengan UU 12/1995 karena ketentuan teknis mengenai syarat-syarat dan tata cara pelaksanaan hak-hak Narapidana (narkotika dan korupsi) merupakan kewenangan sepenuhnya Pemerintah (Presiden RI), yaitu demi alasan keamanan, ketertiban umum, dan rasa keadilan.
Sementara itu, judicial review atas Pasal 14 ayat (2) UU 12/1995, MK dalam sub paragraf [3.8.4] Putusan Nomor 54/PUU-XV/2017 diulangi di Putusan Nomor 82/PUU-XV/2017 menyatakan bahwa “…berdasarkan Pasal 14 ayat (2) UU 12/1995, pemerintah diberi wewenang untuk mengatur syarat dan tata-cara pelaksanaan remisi. Kewenangan delegasi tersebut merujuk pada Penjelasan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (selanjutnya disebut UU 12/2011), yaitu bahwa peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi dapat mendelegasikan kewenangan mengatur lebih lanjut kepada Peraturan Perundang-undangan yang lebih rendah. Karena diberi landasan yuridis oleh Undang-Undang, Pemerintah berwenang menentukan syarat dan tata cara pemberian remisi.”
Itu artinya, hak remisi yang diatur dalam PP sekalipun bukan masalah.
Kedua, Pasal 14 ayat (2) UU 12/1995 dianggap bertentangan dengan konstitusi dan remisi bukan hak konstitusional.
Pasal ini dianggap bertentangan dengan konstitusi karena mendelegasikan pengaturan lebih lanjut hak remisi ke PP.
Penguji biasanya menganggap bahwa tidak perlu diatur dalam PP karena hak remisi merupakan hak konstitusional narapidana.
MK menjawab itu dalam Putusan Nomor 54/PUU- XV/2017 yang dimohonkan Suryadharma Ali, dkk juncto Putusan Nomor 82/PUU-XV/2017 yang dimohonkan Kamaluddin Harahap.
MK menyatakan bahwa remisi adalah hak hukum (legal rights) yang diberikan oleh negara kepada narapidana sepanjang telah memenuhi syarat-syarat tertentu.
Artinya, remisi bukanlah hak yang tergolong ke dalam kategori hak asasi manusia (human rights) dan juga bukan tergolong hak konstitusional (constitutional rights) sehingga dapat dilakukan pembatasan terhadapnya sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
Inilah letak perbedaan legal rights dengan human rights. Bahwa legal rights bisa diatur dengan PP, sedangkan human rights harus diatur dalam UU. Menurut MK, Pasal 14 ayat (2) tidak bertentangan dengan UUD 1945.
Ketiga, pengetatan syarat remisi bagi narapidana korupsi bukan diskriminasi. Isu ini sering dijadikan alasan pengujian norma.
Pengertian diskriminasi menurut Pasal 1 ayat 3 UU 39/1999, yaitu “Diskriminasi adalah setiap pembatasan, pelecehan, atau pengucilan yang langsung ataupun tak langsung didasarkan pada pembedaan manusia atas dasar agama, suku, ras, etnik, kelompok, golongan, status sosial, status ekonomi, jenis kelamin, bahasa, keyakinan politik, yang berakibat pengurangan, penyimpangan, atau penghapusan pengakuan, pelaksanaan, atau penggunaan hak asasi manusia dan kebebasan dasar dalam kehidupan baik individual maupun kolektif dalam bidang politik, ekonomi, hukum, sosial, budaya dan aspek kehidupan lainnya.”
Merujuk pada Pasal 12 ayat (1) UU 12/1995 bahwa “Dalam rangka pembinaan terhadap Narapidana di LAPAS dilakukan penggolongan atas dasar : a. umur; b. jenis kelamin; c. lama pidana yang dijatuhkan; d. jenis kejahatan; dan e. kriteria lainnya sesuai dengan kebutuhan atau perkembangan pembinaan. (2) Pembinaan Narapidana Wanita di LAPAS dilaksanakan di LAPAS Wanita.”
UU mengamanatkan dilakukan penggolongan dalam pembinaan. Pembinaan dengan mengetatkan syarat-syarat pemberian remisi tidak berakibat pengurangan, penyimpangan, atau penghapusan pengakuan, pelaksanaan, atau penggunaan hak asasi manusia sebagai dampak adanya sebuah diskriminasi.
Putusan MK Nomor 54/PUU-XV/2017 tegas menyatakan dalam sub paragraph [3.8.7] “Bahwa rumusan Pasal 14 ayat (1) UU 12/1995, secara khusus Pasal 14 ayat (1) huruf i, telah sangat jelas sebab isinya hanya memuat rincian tentang hak- hak narapidana sehingga tidak mungkin ditafsirkan lain atau diberi pemaknaan berbeda selain apa yang tersurat dalam rumusan norma a quo, lebih-lebih untuk ditafsirkan atau didalilkan diskriminatif.”
Dengan demikian sebenarnya, dalam konteks pengetatan remisi koruptor, tidak terjadi diskriminasi itu. Bahkan tidak diberikannya remisi tidak melanggar konstitusi dan hak asasi narapidana.
Keempat, dianggap tidak sejalan dengan filosofi pemasyarakatan dan tujuan pemidanaan.
Penentuan remisi kepada koruptor tidak ujug-ujug tetapi harus didasarkan pada output pembinaan dan pembimbingan narapidana oleh Lapas, yakni intelektualitas, religiusitas, kesehatan jasmani rohani, latihan kerja, dan produksi.
Bukan karena faktor kedekatan personal, motif politik, komoditas, atau suka tidak suka.
Ketika menyoal filosofi pemasyarakatan dan tujuan pemidanaan, prinsipnya remisi merupakan insentif kepada narapidana.
Dengan kata lain, remisi bisa dilihat sebagai penghargaan kepada narapidana atas kesuksesan mengikuti program-program pembinaan.
Bahwa berbicara terkait filosofi pemasyarakatan dan filosofi pemidanaan, remisi hanya bagian kecil dari sistem pemasyarakatan kita yang telah menjamin hak-hak narapidana.
Selain remisi, masih ada hak-hak narapidana lain yang menunjukan bahwa pemasyarakatan sedang berjalan.