Tahun 2015, angka kerusakan hutan mencapai 1,09 juta hektare per tahun. Lalu, 2016 angkanya turun menjadi 629,18 hektare per tahun.
Baca juga: Cerita Buya Syafii yang Tak Sungkan Mencuci Baju dan Mimpi Terakhirnya...
Angka tersebut kembali turun di tahun 2017 menjadi 480,01 hektare, lalu 439,44 hektare. Di 2019, luas hutan yang rusak kembali meningkat jadi 462,46 hektare, dan turun lagi di 2020 menjadi 115,46 hektare.
Buya menilai, kerusakan ini disebabkan oleh persekongkolan pengusaha dengan para pejabat.
"Kerusakan dahsyat ini umumnya dilakukan oleh pengusaha-pengusaha hitam yang bersekongkol dengan pejabat setempat. Kerusakan dalam skala lebih kecil juga berasal dari warga demi menyambung napas untuk hidup karena lapangan pekerjaan yang tidak tersedia," kata dia.
Pada akhirnya, manusia dihadapkan realita pahit, mengejar keperluan primer dan menanggung kerusakan lingkungan sebagai akibatnya.
Buntut dari kerusakan lingkungan ini ialah habitat hewan dalam berbagai jenis makin terdesak oleh ulah manusia.
Harimau, beruk, babi, dan binatang jenis lain mengamuk karena manusia telah menggusurnya. Keseimbangan ekosistem hancur berantakan.
Baca juga: Saat Buya Syafii Jewer Jokowi karena Terlalu Lambat Bersikap...
Jika kerusakan lingkungan, darat, laut, dan udara, berjalan seperti sekarang, bahkan mungkin semakin ganas, nasib spesies-spesies itu pada tahun-tahun mendatang menjadi tanda tanya besar.
"Masihkah kita bangga sebagai manusia beradab yang mengacu pada sila kedua Pancasila: Kemanusiaan yang Adil dan Beradab? Mohon dijawab pertanyaan ini dengan bahasa hati, tidak dengan bahasa kepentingan," ucap Buya.
Data Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) juta memperlihatkan kerusakan serupa. Di perbukitan Bandar Lampung misalnya, pada tahun itu kerusakan hutan mencapai 80 persen.
Ini disebabkan oleh warga yang berkepentingan menyambug kelangsungan hidup mereka.
Di delta Sungai Mahakam, Kalimantan Timur, dari 100.000 hektar hutan bakau, kala itu 50 persen dalam kondisi rusak.
Penyebab utamanya adalah perluasan tambak yang tak terawasi dengan baik, di samping oleh kegiatan pertambangan minyak/gas yang beroperasi di kawasan itu.
Buya mengatakan, sebenarnya tidak ada satu pulau pun yang terbebas dari kerusakan lingkungan. Di Jawa, salah satu kawasan terpadat di muka Bumi, lahan persawahan dan perkebunan sudah kian habis, berubah fungsi menjadi perumahan, perkantoran, pergudangan, dan lain-lain.
Baca juga: Kisah Buya Syafii Tolak Tawaran Jokowi Jadi Wantimpres karena Tak Lagi Muda...
Jika distribusi penduduk tak mengalami pemerataan, pada 2050 tidak mustahil Pulau Jawa akan jadi kering kerontang di tengah lautan kemiskinan golongan paria.