Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Tren Vonis Ringan Koruptor pada 2021 dan KY yang Dinilai Cuma "Pajangan"

Kompas.com - 27/05/2022, 13:10 WIB
Aryo Putranto Saptohutomo

Penulis

JAKARTA, KOMPAS.com - Pakar hukum pidana dari Universitas Trisakti Abdul Fickar Hadjar menilai ada sejumlah hal yang mesti diperbaiki terkait dengan tren vonis ringan dari majelis hakim terkait kasus korupsi sepanjang 2021 yang diungkap dalam penelitian Indonesia Corruption Watch (ICW).

Abdul mengatakan ada 3 hal yang mesti dilakukan untuk mendorong hakim melakukan tugas sebaik mungkin dalam penanganan perkara korupsi, dan menjatuhkan hukuman yang setimpal bagi terdakwa.

Hal yang pertama penting untuk dilakukan menurut Abdul adalah membenahi kinerja Komisi Yudisial. Menurut dia lembaga itu mempunyai tugas utama buat mengawasi para hakim supaya tidak main-main dalam penanganan perkara korupsi dan seharusnya bukan hanya menjadi sekadar pelengkap.

"Kerja Komisi Yudisial yang memang mempunyai tugas utama mengawasi hakim, harus memaksimalkan pengawasanya agar para hakim tidak main main. Keadaan ini tak lepas menjadi tanggung jawab terbesar Komisi Yudisial yang sekarang ini terkesan hanya menjadi pajangan saja," kata Abdul saat dihubungi Kompas.com, Jumat (27/5/2022).

Baca juga: Negara Masih Bermurah Hati kepada Koruptor Selama 2021

Dalam riset ICW terungkap terdapat 1.282 perkara dan 1.404 terdakwa kasus korupsi yang ditangani oleh KPK dan Kejaksaan, baik Kejaksaan Agung, Kejaksaan Tinggi, maupun Kejaksaan Negeri sepanjang 2021.

Menurut peneliti ICW, Kurnia Ramadhana, rata-rata hukuman penjara bagi koruptor pada 2021 hanya 3 tahun 5 bulan penjara. Angka itu naik dari 2020, tetapi tidak menggambarkan pemberian efek jera bagi pelaku.

ICW menemukan, ada pergeseran pasal yang digunakan hakim dalam memvonis para koruptor selama 2021, yang membuat hukuman yang dijatuhkan kepada pelaku rasuah menciut daripada tuntutan KPK dan Kejaksaan.

Pasal 2 Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi, yang umum digunakan untuk kasus korupsi dengan kerugian negara yang tinggi, lebih banyak digunakan KPK dan Kejaksaan dalam menuntut koruptor pada 2021. Namun, majelis hakim lebih banyak memutus para koruptor bersalah melanggar Pasal 3 Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi, yang umum digunakan untuk kasus korupsi dengan kerugian negara yang tidak begitu tinggi.

Baca juga: ICW Tak Sepakat Hukuman Mati Koruptor, Sebut Tak Akan Beri Efek Jera

Pengadilan Negeri Bandung tercatat sebagai pengadilan dengan jumlah vonis ringan kasus korupsi paling banyak sepanjang 2021, yakni 75 vonis ringan.

Di bawahnya adalah PN Medan dan PN Makassar sebanyak 58 vonis ringan, kemudian PN Palembang dan PN Surabaya dengan 45 vonis ringan.

Terkait hal itu, Abdul menilai keterlibatan masyarakat untuk mengawasi hakim dan proses peradilan para koruptor harus terus ditingkatkan.

"Pengawasan masyarakat juga harus dirangsang agar para hakim punya kesadaran bahwa tanggung jawabnya tidak hanya sebagai pekerja perorangan, tetapi juga menjadi tanggung jawab citra penegakan hukum secara makro," ucap Abdul.

Baca juga: Sepanjang 2021, Rata-rata Terdakwa Kasus Korupsi Dituntut Tak sampai 4,5 Tahun Penjara oleh KPK dan Kejaksaan

Selain itu, pemerintah diminta tegas dan berkomitmen kuat dalam membuat aturan untuk menuntut dan memvonis hakim-hakim nakal yang terbukti menerima suap dalam menangani perkara korupsi.

"Demikian juga harus ada kebijakan memperberat hukuman bagi para hakim yang terbukti menerima suap, bahkan selain dipecat juga diproses pidana yang seberat-beratnya," ucap Abdul.

(Penulis : Vitorio Mantalean | Editor : Nursita Sari)

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Tanggal 29 April 2024 Memperingati Hari Apa?

Tanggal 29 April 2024 Memperingati Hari Apa?

Nasional
Kejagung: Kadis ESDM Babel Terbitkan RKAB yang Legalkan Penambangan Timah Ilegal

Kejagung: Kadis ESDM Babel Terbitkan RKAB yang Legalkan Penambangan Timah Ilegal

Nasional
Kejagung Tetapkan Kadis ESDM Babel dan 4 Orang Lainnya Tersangka Korupsi Timah

Kejagung Tetapkan Kadis ESDM Babel dan 4 Orang Lainnya Tersangka Korupsi Timah

Nasional
Masuk Bursa Gubernur DKI, Risma Mengaku Takut dan Tak Punya Uang

Masuk Bursa Gubernur DKI, Risma Mengaku Takut dan Tak Punya Uang

Nasional
Sambut PKB dalam Barisan Pendukung Prabowo-Gibran, PAN: Itu CLBK

Sambut PKB dalam Barisan Pendukung Prabowo-Gibran, PAN: Itu CLBK

Nasional
Dewas KPK Minta Keterangan SYL dalam Dugaan Pelanggaran Etik Nurul Ghufron

Dewas KPK Minta Keterangan SYL dalam Dugaan Pelanggaran Etik Nurul Ghufron

Nasional
Soal Jatah Menteri PSI, Sekjen: Kami Tahu Ukuran Baju, Tahu Kapasitas

Soal Jatah Menteri PSI, Sekjen: Kami Tahu Ukuran Baju, Tahu Kapasitas

Nasional
Cinta Bumi, PIS Sukses Tekan Emisi 25.445 Ton Setara CO2

Cinta Bumi, PIS Sukses Tekan Emisi 25.445 Ton Setara CO2

Nasional
Menpan-RB Anas Bertemu Wapres Ma’ruf Amin Bahas Penguatan Kelembagaan KNEKS

Menpan-RB Anas Bertemu Wapres Ma’ruf Amin Bahas Penguatan Kelembagaan KNEKS

Nasional
Banyak Caleg Muda Terpilih di DPR Terindikasi Dinasti Politik, Pengamat: Kaderisasi Partai Cuma Kamuflase

Banyak Caleg Muda Terpilih di DPR Terindikasi Dinasti Politik, Pengamat: Kaderisasi Partai Cuma Kamuflase

Nasional
PKB Sebut Pertemuan Cak Imin dan Prabowo Tak Bahas Bagi-bagi Kursi Menteri

PKB Sebut Pertemuan Cak Imin dan Prabowo Tak Bahas Bagi-bagi Kursi Menteri

Nasional
Fokus Pilkada, PKB Belum Pikirkan 'Nasib' Cak Imin ke Depan

Fokus Pilkada, PKB Belum Pikirkan "Nasib" Cak Imin ke Depan

Nasional
Kritik Dukungan Nasdem ke Prabowo, Pengamat: Kalau Setia pada Jargon “Perubahan” Harusnya Oposisi

Kritik Dukungan Nasdem ke Prabowo, Pengamat: Kalau Setia pada Jargon “Perubahan” Harusnya Oposisi

Nasional
Megawati Tekankan Syarat Kader PDI-P Maju Pilkada, Harus Disiplin, Jujur, dan Turun ke Rakyat

Megawati Tekankan Syarat Kader PDI-P Maju Pilkada, Harus Disiplin, Jujur, dan Turun ke Rakyat

Nasional
Langkah PDI-P Tak Lakukan Pertemuan Politik Usai Pemilu Dinilai Tepat

Langkah PDI-P Tak Lakukan Pertemuan Politik Usai Pemilu Dinilai Tepat

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com