JAKARTA, KOMPAS.com - Anggota Komisi I DPR dari Fraksi Partai NasDem Muhammad Farhan mengatakan, prospek perdamaian antara Rusia dan Ukraina masih sangat jauh.
Menurutnya, hal ini disebabkan persyaratan perdamaian yang disampaikan kedua negara saling bertentangan.
"Apakah prospek perdamaian Rusia-Ukraina ada? Masih jauh sekali. Karena Ukraina masih memiliki semacam syarat yang tidak mungkin dipenuhi. Yaitu dia hanya ingin duduk dan bernegosiasi langsung dengan Presiden Putin," ujar Farhan dalam diskusi bertajuk Menuju Perdamaian Rusia-Ukraina yang digelar secara daring pada Rabu (25/5/2022).
"Padahal, Putin memastikan bahwa dia hanya mau bertemu dengan Zelenskyy (Presiden Ukraina Volodymyr) apabila Zelenskyy menandatangani pernyataan menyerah tanpa syarat," tuturnya.
Baca juga: Ukraina Terkini: 200 Mayat Membusuk Ditemukan di Ruang Bawah Tanah Mariupol
Farhan lantas menjelaskan soal seberapa besar kemungkinan prospek mempertemukan Rusia dan Ukraina dalam agenda KTT G20 di Bali pada November mendatang.
Dia mengungkapkan, saat ini Presiden Zelenskyy tidak mungkin meninggalkan negaranya dalam keadaan perang.
Dengan kata lain, Zelenskyy bisa datang ke Bali jika perdamaian sudah resmi disepakati dengan Rusia.
"Bisa ke Bali apabila perdamaian sudah resmi disetujui. Ke Davos (Swiss) saja dia tidak bisa datang. Bagaimana mau ke Bali ?," kata Farhan.
"Karena begitu pesawatnya lepas landas masuk ke kawasan udara internasional maka sudah pasti akan terancam," tuturnya.
Di sisi lain, Presiden Putin menyatakan telah menerima undangan dari Presiden Jokowi untuk hadir di KTT G20 di Bali.
Duta Besar Rusia untuk Indonesia juga menyatakan akan memastikan kehadiran pemimpin negaranya di Bali.
"Pada kenyataannya sampai hari ini Kantor Kepresidenan Rusia belum menandatangani satu pun dokumen protokoler dan keamanan menyangkut kedatangan Presiden Putin di Indonesia," ungkap Farhan.
Artinya, kata dia, Presiden Putin dan Presiden Zelenskyy hanya bisa bertemu di Bali apabila dokumen sudah ditandatangani atau perdamaian sudah distetujui.
"Apabila RI ingin berperan dalam mendamaikan mereka maka harus sudah selesai sebelum agenda puncak G20. Dan saya cenderung dalam hal ini demi perdamaian dunia, Indonesia memang harus condong kepada salah satu pihak," papar Farhan.
"Kalau kita masih netral seperti sekarang kondisinya status quo. Apakah kita mau status quo? ya saya belum dapat jawabanya," tambahnya.