Peneliti senior Marapi Consulting and Advisory Beni Sukadis menilai, jumlah pesawat tempur yang ada saat ini tidak cukup untuk menjaga wilayah pertahanan udara nasional.
Dengan pembagian tiga wilayah zonasi pertahanan, yakni barat, tengah, dan timur, idealnya Indonesia memiliki 8 hingga 10 skadron pesawat tempur atau lebih dari 100 unit pesawat tempur.
Namun demikian, ia memahami bahwa untuk mewujudkan jumlah skadron yang ideal memerlukan anggaran besar.
“Dengan keterbatasan anggaran negara memang hanya bisa diwujudkan dalam waktu jangka panjang yakni 25 tahun mendatang,” katanya.
Sementara itu, Mantan Kepala Staf Angkatan Udara (KSAU) Marsekal (Purn) Chappy Hakim menilai, pembelian 42 jet tempur pabrikan Dassault Aviation tersebut dilakukan di waktu yang tepat.
Menurutnya, pembelian jet tempur generasi 4.5 ini tepat lantaran perusahaan pesawat tempur di dunia saat ini tengah gencar melakukan cuci gudang.
"Sekarang adalah saat yang tepat untuk membeli pesawat fighter jet aircraft. Seluruh pabrik pesawat terbang tempur di permukaan bumi ini memang tengah cuci gudang alias menjual obral produknya," ujar Chappy.
Baca juga: Alasan Prabowo Borong 42 Jet Tempur Rafale, Alutsista TNI AU Sudah Terlalu Tua
Chappy menyebutkan, dalam dua dekade terakhir, para perancang atau pabrik pesawat tempur canggih saat ini dalam dua pilihan, terus mengembangkan pesawat tempur atau beralih ke wahana baru bernama drone atau pesawat tanpa awak.
Di sisi lain, Chappy mengatakan, pembelian 42 jet Rafale merupakan sebuah rekor Indonesia dalam mendatangkan pesawat tempur dari luar negeri.
"Proses pembelian sekaligus jumlah 42 jet tempur canggih dapat dikatakan memecahkan rekor jumlah pembelian pesawat terbang tempur sepanjang sejarah Indonesia pasca 1965," ungkap Chappy.
Sejalan dengan pembelian itu, Chappy menggarisbawahi bahwa keberadaan pesawat tempur merupakan salah satu subsistem dari sistem pertahanan udara yang menjadi bagian dari integral sistem pertahanan negara.
Dengan demikian, kata dia, proses pengadaan pesawat tempur pada hakikatnya sebuah upaya meningkatkan kemampuan sistem pertahanan udara nasional.
"Dalam hal ini unsur pesawat terbang tempur sekali lagi hanya merupakan salah satu saja dari sub-sub sistem pertahanan udara nasional lainnya," tegas dia.
Di sisi lain, kerja sama pengadaan alat utama sistem persenjataan (alutsista) TNI menunjukkan kawasan Indo-Pasifik mempunyai nilai strategis dalam dinamika geopolitik di masa mendatang.
Alhasil, negara blok Barat yaitu Amerika Serikat, Inggris, dan Prancis ingin terlibat dalam pusaran dinamika geopolitik kawasan.
Baca juga: Apa Urgensi Pemerintah Borong 42 Jet Rafale? Chappy Hakim Menduga 2 Hal Ini