Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Fortunatus Hamsah Manah
Komisioner Bawaslu Manggarai

Koordinator Divisi Hukum, Penindakan Pelanggaran dan Penyelesaian Sengketa Bawaslu Kabupaten Manggarai, Provinsi NTT

Mengurai Benang Kusut Penanganan Tindak Pidana Pemilu

Kompas.com - 25/04/2022, 11:37 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

PENEGAKAN hukum tindak pidana pemilu dihadapkan pada berbagai persoalan pelik yang belum terselesaikan. Jelang Pemilu Serentak 2024 yang tahapannya akan dimulai pada 14 Juni 2022, penulis memandang perlu mengurai benang kusut penanganan tindak pidana pemilu, baik dari sisi konten aturannya yang tidak terlalu mendukung maupun karena faktor penegakan dan budaya hukum.

Secara umum, istilah tindak pidana pemilu merupakan terminologi yang sama atau menjadi bagian dari tindak pidana dalam rezim hukum pidana. Istilah lain untuk tindak pidana adalah perbuatan pidana atau delik yang dalam bahasa Belanda disebut dengan strafbaar feit. Jika dikaitkan dengan pemilu, maka dapat diistilahkan dengan delik pemilu atau tindak pidana pemilu. Dalam arti, istilah tindak pidana pemilu diperuntukkan bagi tindak pidana yang terjadi dalam pelaksanaan tahapan-tahapan pemilu.

Perbuatan kriminal tertentu sebagai tindak pidana pemilu dibagi menjadi dua kelompok, yaitu pelanggaran dan kejahatan. Hanya saja, Undang-Undang Pemilu tidak mendefinisikan secara spesifik apa yang dimaksud dengan tindak pidana dalam bentuk pelanggaran dan apa pula definisi tindak pidana kejahatan.

Undang-Undang itu hanya mengatur bentuk-bentuk perbuatan yang dikategorikan sebagai pelanggaran dan kejahatan yang satu sama lain sulit untuk dibedakan secara pasti (Fahmi, 2016).

Baca juga: 5 Komisioner KPU Puncak Jadi Tersangka Tindak Pidana Pemilu

Sebagai bagian dari rezim hukum pidana, mekanisme peradilan pidana pemilu juga mengikuti sistem peradilan pidana secara umum. Dalam sistem peradilan pidana, terjalin sebuah kerangka jaringan sistem peradilan yang mendayagunakan hukum pidana baik pidana material, formal, dan hukum pelaksanaan pidana secara terintegrasi.

Dalam kerangka itu, semua unsur sub sistem penegakan hukum yang terdiri dari kepolisian, kejaksaan, pengadilan, dan lembaga pemasyarakatan terlibat dalam satu jejaring kerja yang saling berkaitan.

Karakter khusus hukum pidana pemilu

Dalam hukum pidana pemilu, sistem kerja demikian juga berlaku. Hanya saja, terdapat sejumlah karakter khusus yang terdapat dalam hukum pidana pemilu.

Pertama, dari segi hukum material yang digunakan, tindak pidana pemilu diatur secara khusus dalam UU Pemilu dan UU Pilkada. Konsekuensinya, tindak pidana tersebut hanya dapat dituntut jika dilakukan dalam konteks pemilu. Artinya, berbagai perbuatan yang ditetapkan sebagai tindak pidana pemilu hanya dapat dituntut sesuai UU Pemilu, bukan ketentuan pidana umum. Hal ini sesuai dengan penerapan asas lex specialis derogat legi gerali.

Kedua, dari aspek hukum formal, hukum pidana pemilu juga tunduk pada ketentuan yang berlaku dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Di mana, pengadilan negeri dalam memeriksa, mengadili, dan memutus perkara tindak pidana pemilu menggunakan KUHAP, kecuali ditentukan lain dalam UU Pemilu.

Baca juga: Undang-undang Pemilu Paling Banyak Digugat di MK Sepanjang 2018

Frasa "kecuali ditentukan lain" yang ada dalam Pasal 477 UU Nomor 7 Tahun 2017 Tentang Pemilu merupakan klausul yang memberi kekhususan tertentu bagi proses pemeriksaan dugaan tindak pidana pemilu.

“Penyelidikan, penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan tindak pidana Pemilu dilakukan berdasarkan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana, kecuali ditentukan lain dalam Undang-Undang ini”, demikian bunyi pasal itu.

Salah satu kekhususannya adalah sangat terbatasnya waktu penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan oleh pengadilan. Pembatasan waktu dalam memeriksa dan mengadili tindak pidana pemilu sesungguhnya ditujukan agar penanganan tindak pidana pemilu dapat memberikan kepastian hukum bagi tahapan penyelenggaraan pemilu.

Kekhususan tindak pidana pemilu juga terlihat pada keterbatasan upaya hukum bagi orang yang dinyatakan terbukti melakukan tindak pidana pemilu. Terhadap putusan pengadilan hanya dapat dilakukan banding dan putusan pengadilan banding (Pengadilan Tinggi) memiliki sifat final dan mengikat serta tidak dapat dilakukan upaya hukum lain. Dengan demikian, upaya kasasi sebagai upaya hukum biasa tidak tersedia dalam pemeriksaan tindak pidana pemilu.

Ketiga, penegakan hukum pidana pemilu tidak saja melibatkan aparatur penegak hukum dalam sistem peradilan pidana biasa, tetapi juga melibatkan institusi penyelenggara pemilu (Setiawan, 2020), dalam hal ini Bawaslu dan jajarannya. Penyidikan dugaan tindak pidana pemilu terlebih dahulu harus dengan adanya laporan atau rekomendasi dari Bawaslu Propinsi dan Bawaslu Kabupaten/Kota. Dalam mekanisme tersebut, dugaan pelanggaran pemilu terlebih dahulu harus melalui kajian Bawaslu beserta jajaran.

Apabila hasil kajian pengawas pemilu berkesimpulan adanya dugaan tindak pidana pemilu, maka hasil kajian beserta rekomendasi pengawas pemilu diteruskan kepada penyidik kepolisian.

Karena melibatkan sejumlah institusi dalam penanganannya, maka demi menyamakan pemahaman dan pola penanganan tindak pidana pemilu, dibentuklah Sentra Gakkumdu (Penegakkan Hukum Terpadu) yang terdiri dari Bawaslu, Kepolisian dan Kejaksaan. Institusi ini berkedudukan sebagai tempat untuk menyamakan pandangan antar institusi yang terlibat dalam menangani tindak pidana pemilu (Yeni, 2020).

Hanya saja, dalam pengaturan teknis dan praktiknya, Gakkumdu justru ditempatkan sebagai institusi yang bertugas menyelenggarakan penanganan tindak pidana pemilu secara terpadu. Pada saat yang sama, juga memberi penilaian apakah bukti-bukti dugaan tindak pidana yang diserahkan Bawaslu beserta jajaran telah terpenuhi atau tidak.

Dalam konteks itu, dalam keadaan tertentu, penyidik kepolisian justru hanya memosisikan diri sebagai pihak yang menerima bersih laporan tanpa melakukan penyidikan lagi. Padahal, sesuai UU Pemilu, penyidik kepolisian yang semestinya melakukan penyidikan atas telah terjadinya dugaan tindak pidana pemilu.

Keempat, pemeriksaan perkara tindak pidana ditangani oleh majelis khusus yang dibentuk pada pengadilan negeri maupun pengadilan tinggi. Hakim khusus perkara pidana pemilu mesti memiliki syarat dan kualifikasi tertentu yang pengangkatannya ditetapkan berdasarkan Keputusan Ketua Mahkamah Agung Republik Indonesia.

Setidaknya empat hal itulah yang menunjukan kekhususan sistem peradilan pidana pemilu yang diatur dalam UU Nomor 7 Tahun 2017.

Selanjutnya akan digambarkan sistem peradilan pidana pemilu sebagaimana diatur dalam UU tersebut. Hanya saja, karena sistem peradilan pidana pemilu juga melibatkan Bawaslu dan jajaran, terlebih dahulu akan digambarkan proses penanganan pelanggaran pemilu oleh pengawas pemilu. Sebab, penanganan perkara pelanggaran pemilu (termasuk pidana) oleh Bawaslu dan jajaran merupakan pintu awal untuk seluruh proses penegakan hukum pemilu yang lainnya.

Alur penanganan tindak pidana pemilu

Alur penanganan tindak pidana dalam sistem peradilan pidana pemilu membentuk mata rantai pola penanganan yang panjang dan menunjukkan birokrasi penanganan yang tidak sederhana. Sistem penanganan tindak pidana pemilu jauh lebih rumit dibandingkan tindak pidana biasa yang hanya melibatkan polisi, jaksa, dan pengadilan.

Penanganan tindak pidana pemilu melibatkan pengawas pemilu. Kondisi ini dinilai sebagai salah satu alasan kenapa penanganan tindak pidana pemilu menjadi tidak efektif (Sulistyoningsih, 2015).

Dengan waktu penanganan tindak pidana pemilu yang amat singkat, birokrasi penanganannya pun harus didesain lebih sederhana di mana keterlibatan polisi dan jaksa tidak boleh ditempatkan secara terpisah dari proses pengawasan pemilu yang dilakukan Bawaslu. Dalam konteks ini, polisi dan jaksa harus didesain berada dalam satu kesatuan lembaga pengawas pemilu dalam menegakkan hukum pidana pemilu.

Dalam konteks ini, mengubah desain kelembagaan pengawas pemilu dengan memasukkan unsur polisi dan jaksa secara ex officio merupakan salah satu cara untuk memotong panjangnya rangkaian birokrasi penangan perkara tindak pidana pemilu.

Dengan cara itu, semua tindakan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan tindak pidana pemilu akan berada di bawah satu komando, sehingga penegakan hukum pidana pemilu dalam waktu yang sangat singkat tentunya akan berjalan lebih baik.

Dari sisi pembuktian tindak pidana pemilu, Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tidak mengatur secara khusus ikhwal pembuktian. Tidak terdapat ketentuan yang memberikan karakter tersendiri dalam pembuktian tindak pidana pemilu. Ketiadaan pengaturan pembuktian tindak pidana pemilu berkonsekuensi terhadap tunduknya rezim pembuktian tindak pidana pemilu pada sistem pembuktian dalam KUHAP.

Hal itu didasarkan pada ketentuan Pasal 481 ayat (1) yang menyatakan, pengadilan negeri dalam memeriksa, mengadili, dan memutus perkara tindak pidana pemilu menggunakan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana, kecuali ditentukan lain dalam UU ini. Ketentuan tersebut mengisyaratkan bahwa pembuktian tindak pidana pemilu sepenuhnya mengikuti apa yang diatur dalam KUHAP.

Tiga persoalan penegakan hukum pidana pemilu

Dengan karakter khusus yang dimiliki tindak pidana pemilu, seperti singkatnya waktu penanganan, sesungguhnya membutuhkan adanya ketentuan terkait pembuktian yang lebih spesifik selain yang diatur dalam KUHAP. Jika hanya mengacu pada KUHAP, penanganan tindak pidana pemilu akan jauh dari efektif. Apalagi untuk tujuan mengawal integritas pemilu yang jujur dan adil.

Jika dibandingkan dengan penanganan tindak pidana korupsi, salah satu faktor yang mendukung efektifitas penanganan tindak pidana korupsi adalah tersedianya ruang pembuktikan lebih luas dibanding apa yang termuat dalam KUHAP. Jika hal yang sama diterapkan dalam penanganan tindak pidana pemilu, tentunya pembuktian tindak pidana pemilu akan jauh lebih mudah. Sebab, penyidik memiliki sumber bukti yang lebih luas dari sekedar ketentuan KUHAP yang dapat dikatakan sangat terbatas.

Problem penegakan hukum pidana pemilu juga setidaknya dapat dilihat dari masing-masing komponen dalam sistem hukum yang secara langsung berpengaruh terhadap penegakan hukum.

Baca juga: Kode Inisiatif: Ada 48,26 Persen Pelanggaran dan Pidana Pemilu di Pilkada 2020

 

Lawrence M Friedman menilai, berhasil atau tidaknya hukum ditegakkan tergantung pada tiga komponen sistem hukum. Pertama, substansi hukum (legal substance). Substansi hukum adalah aturan, norma, dan pola prilaku nyata manusia yang berada dalam sistem itu.

Kedua, struktur hukum (legal structure) atau struktur sistem hukum. Friedman menyebutnya sebagai kerangka atau rangka atau bagian yang tetap bertahan atau bagian yang memberi semacam bentuk dan batasan terhadap keseluruhan. Keberadaan struktur hukum sangat penting, karena betapapun bagusnya norma hukum, namun jika tidak ditopang aparat penegak hukum yang baik, penegakan hukum dan keadilan hanya sia-sia.

Ketiga, budaya hukum (legal culture). Kultur hukum adalah opini-opini, keyakinan-keyakinan, kebiasaan-kebisaaan, cara berfikir, dan cara bertindak, baik dari para penegak hukum maupun dari warga masyarakat tentang hukum dan berbagai fenomena yang berkaitan dengan hukum (Ali, 2009).

Berangkat dari tiga komponen tersebut, belum efektifnya penegakan hukum pidana pemilu juga tidak dapat dilepaskan dari masalah yang terdapat dalam peraturan perundang-undangan pemilu, khususnya terkait tindak pidana pemilu; masalah profesionalisme aparat penegakan hukum yang terdiri dari pengawas pemilu, kepolisian, kejaksanaan dan hakim pada pengadilan negeri dan pengadilan tinggi; dan budaya hukum penyelenggaraan pemilu juga jadi soal tersendiri.

Pada taraf norma, peraturan perundang-undangan sebagaimana diulas di atas belum cukup jelas dan lengkap mengatur hukum material maupun hukum formal. Bahkan hukum formal yang ada tidak cukup memadai untuk menegakkan hukum pidana pemilu secara efektif. Sementara pada level struktur, penegak hukum dihadapkan pada persoalan masih belum memadainya pemahaman aparatur terhadap jenis tindak pidana pemilu yang berujung pada kebuntuan dalam menangani perkara pidana pemilu.

Sedangkan pada ranah budaya hukum, pihak-pihak berkepentingan, terutama peserta pemilu masih berkecenderungan untuk mengakali aturan yang ada sehingga dapat berkelit dari tuntutan hukum. Masyarakat politik bukannya membangun kesadaran akan perlunya mengikuti pemilu sesuai aturan-aturan yang ada, tetapi justru membangun sikap culas atas aturan yang ada (Santoso, 2017).

Tiga persoalan penegakan hukum pidana pemilu tersebut bercokol sedemikian rupa sehingga penegakan hukum pemilu masih menyisakan soal. Akibatnya, perkara-perkara dugaan tindak pidana pemilu pun tidak tertangani dengan baik.

Jelang Pemilu Serentak 2024, sistem penanganan tindak pidana pemilu masih membutuhkan pembenahan agar dapat diterapkan dengan baik dan efektif untuk menjadi salah satu instrumen mewujudkan pemilu yang jujur dan adil. Perbaikan sistem penanganan meliputi perbaikan regulasi lewat revisi UU Pemilu; penguatan kapasitas dan profesionalisme penegak hukum pemilu; dan peningkatan kesadaran hukum seluruh pemangku kepentingan pemilu wajib dilakukan. Tanpa melakukan itu, sistem penanganan tindak pidana pemilu tidak akan berhasil untuk mewujudkan pemilu yang jujur dan adil.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Kubu Prabowo Ungkap Dirangkul Tak Berarti Masuk Kabinet

Kubu Prabowo Ungkap Dirangkul Tak Berarti Masuk Kabinet

Nasional
Pusat Penerbangan TNI AL Akan Pindahkan 6 Pesawat ke Tanjung Pinang, Termasuk Heli Anti-kapal Selam

Pusat Penerbangan TNI AL Akan Pindahkan 6 Pesawat ke Tanjung Pinang, Termasuk Heli Anti-kapal Selam

Nasional
Duet Khofifah-Emil Dardak di Pilkada Jatim Baru Disetujui Demokrat, Gerindra-Golkar-PAN Belum

Duet Khofifah-Emil Dardak di Pilkada Jatim Baru Disetujui Demokrat, Gerindra-Golkar-PAN Belum

Nasional
Panglima TNI Kunjungi Markas Pasukan Khusus AD Australia di Perth

Panglima TNI Kunjungi Markas Pasukan Khusus AD Australia di Perth

Nasional
Spesifikasi Rudal Exocet MM40 dan C-802 yang Ditembakkan TNI AL saat Latihan di Bali

Spesifikasi Rudal Exocet MM40 dan C-802 yang Ditembakkan TNI AL saat Latihan di Bali

Nasional
Dubes Palestina Yakin Dukungan Indonesia Tak Berubah Saat Prabowo Dilantik Jadi Presiden

Dubes Palestina Yakin Dukungan Indonesia Tak Berubah Saat Prabowo Dilantik Jadi Presiden

Nasional
Gambarkan Kondisi Terkini Gaza, Dubes Palestina: Hancur Lebur karena Israel

Gambarkan Kondisi Terkini Gaza, Dubes Palestina: Hancur Lebur karena Israel

Nasional
Ada Isu Kemensos Digabung KemenPPPA, Khofifah Menolak: Urusan Perempuan-Anak Tidak Sederhana

Ada Isu Kemensos Digabung KemenPPPA, Khofifah Menolak: Urusan Perempuan-Anak Tidak Sederhana

Nasional
DPR Disebut Dapat KIP Kuliah, Anggota Komisi X: Itu Hanya Metode Distribusi

DPR Disebut Dapat KIP Kuliah, Anggota Komisi X: Itu Hanya Metode Distribusi

Nasional
Komisi II DPR Sebut Penambahan Kementerian Perlu Revisi UU Kementerian Negara

Komisi II DPR Sebut Penambahan Kementerian Perlu Revisi UU Kementerian Negara

Nasional
Pengamat Dorong Skema Audit BPK Dievaluasi, Cegah Jual Beli Status WTP

Pengamat Dorong Skema Audit BPK Dievaluasi, Cegah Jual Beli Status WTP

Nasional
Maju Nonpartai, Berapa KTP yang Harus Dihimpun Calon Wali Kota dan Bupati Independen?

Maju Nonpartai, Berapa KTP yang Harus Dihimpun Calon Wali Kota dan Bupati Independen?

Nasional
Pengamat: Status WTP Diperjualbelikan karena BPK Minim Pengawasan

Pengamat: Status WTP Diperjualbelikan karena BPK Minim Pengawasan

Nasional
DKPP Terima 233 Aduan Pelanggaran Etik Penyelenggara Pemilu hingga Mei

DKPP Terima 233 Aduan Pelanggaran Etik Penyelenggara Pemilu hingga Mei

Nasional
DKPP Keluhkan Anggaran Minim, Aduan Melonjak Jelang Pilkada 2024

DKPP Keluhkan Anggaran Minim, Aduan Melonjak Jelang Pilkada 2024

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com