Namun jika dilihat lebih dalam, terdapat sebuah kecenderungan pada generasi lebih muda yang mulai kehilangan romantisasi pada ritual tahunan ini.
Khususnya pada generasi millenial (kelahiran 1982 – 1994) dan generasi Z (kelahiran 1995 – 2010).
Mereka sesungguhnya mengantisipasi libur mudik dengan positif karena dapat beristirahat dari rutinitas sehari-hari, tetapi memiliki antipati atas beberapa interaksi interpersonal yang kemungkinan besar akan mereka alami pada saat kembali ke kampung halaman.
Anggota keluarga besar akan berkumpul pada saat mudik. Hal tersebut berarti mereka akan kembali menghadapi perbincangan yang bersifat intrusif atas keputusan personal.
Misalnya pertanyaan ‘Kapan menikah?’ bagi mereka yang lajang. Atau ‘Kapan punya anak?’ bagi mereka yang baru saja menikah.
‘Kapan hamil anak kedua?’ bagi mereka yang sudah punya anak satu. ‘Mengapa tidak bekerja di institusi tertentu?’ bagi mereka yang sudah bekerja.
Pertanyaan-pertanyaan ini sekilas dianggap wajar bagi penanyanya, tetapi bagi mereka yang menerima pertanyaan, dianggap sebagai sebuah intrusi.
Dari sudut pandang antropologi, mudik adalah sebuah instrumen untuk menjaga keterikatan seseorang dengan masa lalunya, seperti asal daerah, budaya dan nilai-nilainya (Yulianto, 2011).
Saat berkumpul bersama dengan keluarga besar di daerah asal sesungguhnya merupakan momentum untuk memperkuat identitas budaya seseorang.
Mudik juga merupakan ruang terjadinya komunikasi interpersonal lintas generasi. Mereka yang sehari-harinya terpisah lingkaran sosial masing-masing seperti komunitas, tempat tinggal, kantor dan lain-lain, dipertemukan lewat ritual mudik secara fisik selama beberapa hari.
Anggota keluarga yang tadinya hanya berinteraksi ringan lewat media sosial dan aplikasi perpesanan, mengalami perubahan pola komunikasi secara drastis menjadi tatap muka dan intens.
Sebagai masyarakat timur yang meninggikan kolektifitas, adanya ruang dan kesempatan untuk berkumpul bersama dianggap sebagai hal yang baik untuk solidaritas dan kekeluargaan.
Akan tetapi, perlu disadari bahwa masing-masing generasi memiliki karakter dan preferensi khusus dalam melakukan komunikasi interpersonal.
Ketika generasi yang lebih tua bertanya terkait keputusan pribadi dalam kehidupan seseorang, hal tersebut merupakan manifestasi nilai orientasi kolektivitas yang diyakininya.
Masyarakat yang berorientasi kolektif memiliki kepentingan untuk menjaga harmoni kelompoknya – adanya perbedaan pemahaman atas hal-hal seperti pernikahan, karir, status sosial akan cenderung dianggap mengganggu harmoni kolektif.