Lantas komponen biaya penempatan juga ditanggung oleh Pemberi Kerja, serta dibentuknya forum Joint Task Force (JTF) dan Joint Working Group (JWG). Terkait JWG, kata Ida, akan bertemu setiap 3 bulan atau sewaktu-waktu diperlukan guna membahas isu-isu yang muncul terkait pekerja migran Indonesia di Malaysia.
Ida mengatakan, pelaksanaan monitoring dan evaluasi terhadap implementasi penempatan PMI dengan skema OCS dengan menggunakan Key Performance Indikator. Proses penempatan PMI pada sektor domestik ke Malaysia di bawah skema One Channel System akan dimonitor dan dievaluasi secara berkala oleh kedua pemerintah, tetapi jangka waktunya tidak disampaikan secara rinci oleh Ida.
Direktur Eksekutif Migrant Care Wahyu Susilo mengatakan sebagian inti dari poin-poin nota kesepahaman itu memang berdasarkan usulan lembaga yang dipimpinnya kepada pemerintah. Namun, dia memaparkan sejumlah celah yang dinilai bisa memicu persoalan di kemudian hari.
Persoalan yang pertama, kata Wahyu, adalah tentang larangan penempatan pekerja migran dari Indonesia secara langsung (direct hiring). Di dalam nota kesepahaman itu ditekankan proses perekrutan pekerja migran harus melalui agensi yang mengantongi izin dari pemerintah Indonesia dan Malaysia.
Menurut Wahyu jika hal itu tidak dijelaskan secara tegas dan rinci, maka berpotensi menimbulkan monopoli.
"Ini juga menjadi jebakan, ada kecenderungan nanti yang melakukan monopoli adalah agen penyalur tenaga kerja yang ditunjuk kedua negara," kata Wahyu kepada Kompas.com, Senin (4/4/2022).
Baca juga: Cerita Aris, PMI yang 40 Tahun Bekerja di Malaysia, Kagumi Soekarno
"Itu kan punya potensi monopoli kalau prosesnya tidak transparan," lanjut Wahyu.
Wahyu mengatakan, mereka sudah pernah melakukan diskusi dengan Kemenaker dan Kementerian Luar Negeri (Kemenlu) pada Februari 2022 terkait penuntasan nota kesepahaman itu. Sebab, pembahasan nota kesepahaman itu sangat alot di antara kedua negara sejak 2016.
Selain itu, Wahyu mengatakan, sebenarnya Migrant Care berharap nota kesepahaman antara Indonesia dan Malaysia itu merujuk kepada Konsensus Perlindungan Hak-hak Pekerja Migran yang sudah disepakati oleh Perhimpunan Negara-negara Asia Tenggara (ASEAN).
"Rujukan dari MoU ini sebenarna kami berharap mengacu kepada konsensus perlindungan pekerja migran di ASEAN. Karena standar minimum ada di konsensus ASEAN itu," ucap Wahyu.
Hal lain yang luput dari nota kesepahaman, kata Wahyu, adalah usulan hak berorganisasi bagi pekerja migran Indonesia di wilayah tempat mereka bekerja.
Persoalan lain yang menjadi sorotan Migrant Care adalah tentang mekanisme Sistem Penempatan Satu Kanal. Sebab menurut Wahyu sampai saat ini hal itu belum dijelaskan secara rinci oleh Kemenaker.
Baca juga: Polda Bali Ambil Alih Kasus Dugaan Penipuan Pengiriman PMI ke Turki
"Kemenaker haris memberi penjelasan jelas tentang one channel system, itu yang belum dibuka. Sejak MoU ditandatangai kan yang disodorkan ke media-media kan soal One Channel System itu, tapi kita sendiri belum tahu bagaimana bentuknya," ujar Wahyu.
Terkait mekanisme evaluasi pelaksanaan MoU, Wahyu berharap pemerintah terbuka dan melibatkan sejumlah lembaga independen seperti Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM). Dia juga berharap proses evaluasi dilakukan secara berkala seperti di masa sebelumnya yakni 6 bulan sekali.
"Kami berharap hasil evaluasinya mengikat, dan komposisinya inklusif seperti ada unsur non pemerintah dan masyarakat sipil. Kalau bisa melibatkan perwakilan lembaga independen seperti Komnas HAM," lanjut Wahyu.