JAKARTA, KOMPAS.com - Kedatangan Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU), Yahya Cholil Staquf, ke Pondok Pesantren Al Hikam, Malang, Jawa Timur, Minggu (27/3/2022), dalam peringatan hari lahir Partai Persatuan Pembangunan (PPP) sekaligus haul ke-5 KH Hasyim Muzadi, kembali menghangatkan ingatan pada relasi Nahdlatul Ulama (NU) dan PPP.
Puluhan tahun silam, NU yang pernah menjadi kekuatan politik di Indonesia dalam bentuk partai politik, dilebur oleh rezim Soeharto ke dalam PPP sebagai fusi partai-partai Islam. Sejak fusi ke PPP pada 1973, unsur NU cukup punya kedudukan berarti dalam tubuh partai tersebut.
Namun, pada 1984, Muktamar ke-27 di Situbondo memutuskan bahwa ormas tersebut kembali ke khittah, kembali ke cita-cita awal sebagai ormas, menarik diri dari panggung politik praktis.
Baca juga: Gus Yahya Hadiri Harlah PPP, Arsul: Sejak Ada PKB, di Lingkungan NU seperti Ada Eksklusivitas
Walaupun demikian, magnet NU tetap terlalu menarik bagi partai-partai politik dan kepentingan elektoralnya.
Oleh karenanya, sejak terpilih sebagai Ketua Umum PBNU dalam Muktamar Ke-34 NU di Lampung, Desember 2021, Yahya Cholil Staquf atau Gus Yahya menegaskan dirinya ingin PBNU menjaga jarak dengan semua partai politik dan kepentingan politik di Tanah Air.
Dan itu berarti, PBNU juga menjaga jarak dengan Partai Kebangkitan Bangsa (PKB).
PKB lahir dari rahim NU ketika Soeharto runtuh dan Era Reformasi dimulai. Kala itu, terdapat keinginan besar warga nahdliyyin untuk kembali memiliki wadah menyalurkan aspirasi politik.
PBNU harus berhati-hati karena NU tidak boleh lagi terkait langsung dengan politik praktis, termasuk partai politik, sesuai hasil Muktamar ke-27 di Situbondo.
Pada akhirnya, sejumlah tokoh NU di antaranya Abdurrahman Wahid atau Gus Dur, Mustofa Bisri, mendeklarasikan pendirian PKB untuk wadah aspirasi tersebut.
Namun, PKB bukan sebagai partai politik resmi NU secara kelembagaan.
Dalam perkembangannya, terjadi dualisme dalam internal PKB yang berujung didepaknya Gus Dur oleh Muhaimin Iskandar, keponakannya.
PKB versi Cak Imin kemudian diakui negara sebagai PKB yang “sah”.
Lahir dari rahim NU, wajar jika PKB memiliki basis konstituen yang sama: warga nahdliyyin dan pesantren. NU, beserta basis nahdliyyin dan pesantren, merupakan modal berharga PKB di tahun-tahun politik.
Seiring berjalannya waktu, terbangun citra bahwa NU lekat dengan PKB, dan sebaliknya.
"Diakui atau tidak, memang tidak bisa dipungkiri bahwa sejak adanya PKB, maka di lingkungan struktural NU seperti tercipta 'eksklusivitas politik', yakni struktural NU, meski tidak semuanya, meletakan kecondongan yang sangat berat sebelah kepada PKB," kata Wakil Ketua Umum Partai Persatuan Pembangunan (PPP), Arsul Sani, saat dihubungi Kompas.com, Senin (4/4/2022).