Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Tolak Jabat Presiden Seumur Hidup, Soeharto: Kenapa Ribut-ribut!

Kompas.com - 16/03/2022, 10:59 WIB
Aryo Putranto Saptohutomo

Editor

JAKARTA, KOMPAS.com - Perdebatan tentang masa jabatan presiden kembali muncul di tengah kondisi pandemi Covid-19. Sejumlah pihak melontarkan wacana untuk melakukan penundaan Pemilihan Umum (Pemilu) yang dijadwalkan digelar pada 2024 mendatang.

Di sisi lain, ada juga yang mengusulkan tentang untuk memperpanjang masa jabatan Presiden Joko Widodo menjadi 3 periode melalui amandemen Undang-Undang Dasar 1945.

Adalah Ketua Umum Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) Muhaimin Iskandar yang pertama kali melontarkan wacana penundaan pemilu 2024. Muhaimin mengklaim saat ini rakyat Indonesia masih membutuhkan sosok Jokowi dan mengklaim mempunyai big data tentang dukungan masyarakat terkait hal itu.

Tidak lama kemudian dua ketua umum partai politik pendukung pemerintah, yaitu Ketua Umum Partai Amanat Nasional (PAN) Zulkifli Hasan dan Ketua Umum Partai Golkar Airlangga Hartarto, turut melontarkan gagasan yang sama. Keduanya beralasan penundaan pemilu patut dipertimbangkan demi momentum perbaikan perekonomian di masa pandemi Covid-19 dan hanya menyampaikan aspirasi dari kelompok pengusaha.

Sedangkan Menteri Koordinator Maritim dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan mengklaim juga mempunyai big data yang memperlihatkan dukungan rakyat untuk penundaan pemilu. Namun, baik Muhaimin dan Luhut sampai saat ini tidak membuka big data yang mereka maksud terkait wacana itu.

Baca juga: Jimly Asshiddiqie Sebut Perpanjangan Masa Jabatan Merusak Demokrasi dan Jerumuskan Presiden

Partai Solidaritas Indonesia (PSI) sebagai bagian dari koalisi pemerintah menyatakan mereka menolak wacana penundaan pemilu. Namun, mereka mendukung usulan perubahan masa jabatan presiden menjadi 3 periode dengan alasan klaim bahwa rakyat masih menghendaki Presiden Joko Widodo (Jokowi) untuk memimpin.

Pembatasan masa jabatan presiden adalah salah satu agenda nasional yang disepakati bersama setelah peristiwa Reformasi dan lengsernya Presiden Soeharto dari jabatannya pada 1998 silam. Bahkan pembahasan untuk membatasi masa jabatan presiden sudah muncul sebelum Soeharto menyatakan berhenti.

Baca juga: Jimly: Jika Amendemen Konstitusi demi Atur Masa Jabatan Presiden, Ada Potensi Presiden Dimakzulkan

Isu tentang pembatasan masa jabatan presiden sudah muncul pada akhir 1980-an. Ketika itu wacana tersebut banyak dibahas di kalangan akademisi dan aktivis karena usia Soeharto sudah memasuki 70 tahun.

Menteri Koordinator Politik dan Keamanan Sudomo pada 1992 menyatakan masa jabatan presiden sebaiknya tidak dibatasi. Menurut dia yang menentukan apakah Presiden Soeharto akan kembali terpilih adalah soal kepercayaan masyarakat.

"Lihat saja, Pak Harto kan masih sehat-walafiat. Lebih sehat dari situ. Barangkali situ batuk-batuk, Pak Harto masih sehat walaupun usianya 71 tahun," kata Sudomo.

"Pak Harto itu masih sehat. Pikirannya juga jelas dan terang. Tinggal bagaimana kepercayaan masyarakat kepada Presiden. Kalau masyarakat masih menginginkan Pak Harto menjadi Presiden, silakan terus," lanjut Sudomo.

Kepemimpinan Soeharto saat itu dinilai mampu menjaga ketertiban, stabilitas, dan membawa perekonomian Indonesia ke tingkat yang lebih baik. Dia juga menggelar pembangunan yang sangat gencar di Pulau Jawa.

Baca juga: Jokowi Pernah Bantah Amien Rais Soal Isu Penambahan Masa Jabatan Presiden

Akan tetapi, dampak negatifnya adalah kekuasaannya ditopang oleh praktik korupsi yang merajalela. Selain itu, dia juga membungkam kelompok-kelompok yang menyuarakan kritik terhadap pemerintah dan demokrasi.

Wacana itu semakin kencang berembus setelah Soeharto kembali dilantik oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) sebagai presiden setelah pemilihan umum 1993. Soeharto kemudian menanggapi tentang wacana pembatasan masa jabatan presiden itu pada 1994.

Saat itu menurut Soeharto masalah suksesi kepemimpinan tidak perlu diributkan. Dia menyatakan hal itu di depan sekitar 150 anggota Komite Nasional Pemuda Indonesia di Bina Graha, pada 12 Maret 1994.

"Kapan saya berhenti jadi Presiden? Nanti, setelah saya mempertanggungjawabkan tugas saya setelah lima tahun. Jadi lima tahun lagi baru saya berhenti. Saya tidak setengah-setengah dalam melakukan tanggungjawab," kata Soeharto.

Soeharto ketika itu mengatakan mekanisme untuk mencari penggantinya sudah dipersiapkan. Sebab saat itu usianya sudah 73 tahun.

Baca juga: Mahfud: Pemerintah Tak Pernah Bahas Penundaan Pemilu dan Perpanjangan Masa Jabatan Presiden

"Mekanisme dan sistemnya sudah ada. Dan orangnya juga sudah ada, yakni satu dari 180 juta orang. Masak tidak ada satu dari 180 juta orang yang mampu jadi Presiden. Silakan berkompetisi, siapa putra terbaik dan berprestasi untuk dilihat rakyat. Baik itu dari Pemerintah, ABRI, sipil atau swasta, untuk dilihat rakyat, dipilih dan ditentukan MPR jadi Presiden. Cari dari sekian banyak orang tersebut, pasti ada. Saya tidak berambisi jadi Presiden seumur hidup, kenapa ribut-ribut," ujar Soeharto.

Soeharto ketika itu memberi sinyal akan menyudahi masa kepemimpinannya karena faktor usia.

"Nanti tahun 1998, saya berumur berapa, 77 tahun. Ini juga harus diperhitungkan. Hukum alam juga berlaku dan diperhitungkan. Di mana pun juga, hukum alam itu nggak bisa dianalisa. Ini harus diperhitungkan, dan ini sudah saya perhitungkan. Harus ada," ujar Soeharto.

Saat itu Soeharto juga mengatakan supaya masyarakat tidak perlu khawatir menghadapi suksesi kepemimpinan dan beredarnya wacana pembatasan masa jabatan.

"Ini tidak perlu, ada konstitusi, buat apa ribut-ribut. Sedangkan kalau ada keributan, bangsa kita akan hancur, ini setback, sedangkan yang kita hasilkan belum semuanya," ujar Soeharto.

Siswono Yudohusodo yang saat itu menjabat Menteri Transmigrasi dan Permukiman Perambah Huta di masa pemerintahan Soeharto juga sempat menyinggung soal wacana pembatasan masa jabatan presiden. Dia mengatakan setelah Soeharto menyelesaikan program Rencana Pembangunan Lima Tahun pada 1998, maka masa jabatan penggantinya bakal dibatasi selama dua periode.

Baca juga: Pusako: Jokowi Harus Tegas Hentikan Isu Perpanjangan Masa Jabatan Presiden

Siswono juga mengusulkan supaya pemilihan presiden dilakukan dengan pemungutan suara di MPR.

"Menurut hemat saya, kepemimpinan nasional setelah Presiden Soeharto yang Insya Allah setelah tahun 2003, presiden-presiden berikutnya tidak akan memimpin dalam periode yang sangat lama, tetapi cukup satu-dua periode," kata Siswono.

Mantan Menteri Keuangan Frans Seda juga menyampaikan usulan yang serupa. Dia berharap supaya seluruh fraksi di Dewan Perwakilan Rakyat diberikan kesempatan yang sama untuk mencalonkan presiden dan wakil presiden.

"Semua harus diberi kesempatan pencalonan, dengan demikian presiden akan berwibawa," kata Frans.

Frans juga menganjurkan agar proses pemilihan presiden saat itu dikoreksi supaya presiden mempunyai legalitas konstitusional.

Baca juga: Sebut Usul Penundaan Pemilu Bagian Demokrasi, Jokowi Dinilai Tak Menolak jika Masa Jabatan Presiden Diperpanjang

Frans Seda tidak sependapat soal tuduhan para elite politik di pemerintahan saat itu terkait isu suksesi Soeharto bisa menjadi pemicu konflik di Indonesia. Menurut dia, potensi konflik di Indonesia adalah ketidakadilan, stabilitas yang terlalu mencekam dan menimbulkan rasa tidak aman, serta hukum yang mengatasnamakan keadilan tetapi berlaku tidak adil.

Akan tetapi, tanda-tanda suksesi atas kepemimpinan Soeharto tak juga muncul. Golkar sebagai pendukung utama Soeharto kembali menang pada Pemilu 1997.

Fraksi ABRI di DPR saat itu juga terus mendukung Soeharto untuk kembali memimpin. Namun, langkah Soeharto menggenapkan masa pemerintahannya dan menyelesaikan program Repelita berakhir pada Mei 1998.

Soeharto memutuskan berhenti dari jabatannya setelah gelombang demonstrasi menuntut perbaikan tata kelola pemerintahan yang dilakukan para mahasiswa. Kemudian, pada 1999 dilakukan pemilihan umum dan dilakukan perubahan pada UUD 1945 yang salah satu poin utamanya adalah membatasi masa jabatan presiden yang berlaku sampai hari ini.

Sumber:

Kompas edisi 8 Juli 1992: "Menko Polkam Sudomo: Masa Jabatan Presiden Merupakan Kepercayaan Masyarakat".

Kompas edisi 13 Maret 1994: "Presiden Soeharto: Saya tidak Berambisi Jadi Presiden Seumur Hidup, Kenapa Ribut-ribut".

Kompas edisi 28 Agustus 1997: "Pasca Pak harto, Presiden Cukup Satu-Dua Periode * "Voting", Pemilihan Presiden Sesuai UUD 45".

Kompas edisi 29 Agustus 1997: "Semua Kekuatan Sospol akan Calonkan Pak Harto".

Kompas edisi 2 September 1997: "ABRI juga dukung Pak Harto".

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com