JAKARTA, KOMPAS.com - Presiden Joko Widodo memerintahkan menterinya untuk merevisi Peraturan Menteri Ketenagakerjaan (Permenaker) Nomor 2 Tahun 2022.
Instruksi itu hanya berselang 20 hari sejak permenaker tersebut diteken Menteri Ketenagakerjaan (Menaker) Ida Fauziyah pada 2 Februari 2022.
Opsi revisi dibuka setelah terjadi gelombang kritik terhadap substansi Permenaker Nomor 2 Tahun 2022 yang mengatur bahwa dana Jaminan Hari Tua (JHT) baru bisa dicairkan ketika peserta BPJS Ketenagakerjaan (BP Jamsostek) memasuki masa pensiun, yakni usia 56 tahun.
Baca juga: Tuntutan Buruh, Dalih Kemenaker, dan Instruksi Jokowi soal Revisi Aturan Pencairan JHT Usia 56 Tahun
Terkait hal ini, Direktur Jenderal Pembinaan Hubungan Industrial dan Jaminan Sosial Tenaga Kerja (PHI dan Jamsos) Kemenaker Indah Anggoro Putri sempat mengatakan, Presiden Jokowi telah menyetujui terbitnya Permenaker Nomor 2 Tahun 2022.
Oleh karenanya, Kemenaker menepis tudingan yang menyebut bahwa terbitnya Permenaker tersebut tanpa seizin kepala negara dan dianggap bertentangan.
"Kalau Permenaker Nomor 2 Tahun 2022 dianggap bertentangan dan melawan Pak Jokowi, pasti Kantor Setkab dan Kantor Kemenkumham tidak menyetujui terbitnya ini," kata dia memberikan keterangan pers di Jakarta, Rabu (16/2/2022).
Lantas, bagaimana sebenarnya proses penyusunan peraturan menteri? Haruskah mendapat persetujuan presiden sebelum disahkan?
Terdapat ketentuan yang menyebutkan bahwa peraturan menteri/kepala lembaga harus mendapat persetujuan presiden sebelum ditetapkan.
Baca juga: Menaker Bakal Revisi Aturan soal Pencairan JHT, Tindak Lanjuti Arahan Jokowi
Ketentuan itu dituangkan dalam Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 68 Tahun 2021 tentang Pemberian Persetujuan Presiden terhadap Rancangan Peraturan Menteri/Kepala Lembaga. Beleid tersebut diteken Jokowi pada 2 Agustus 2021.
"Setiap Rancangan Peraturan Menteri/Kepala Lembaga yang akan ditetapkan oleh menteri/kepala lembaga wajib mendapatkan Persetujuan Presiden," demikian bunyi Pasal 3 Ayat (1) Perpres Nomor 68 Tahun 2021.
Sebagaimana bunyi Pasal 1 Ayat (1) perpres, yang dimaksud persetujuan presiden adalah petunjuk atau arahan presiden, baik yang diberikan secara lisan atau tertulis maupun pemberian keputusan dalam sidang kabinet atau rapat terbatas.
Sementara, rancangan peraturan menteri/kepala lembaga adalah rencana kebijakan kementerian/lembaga dalam bentuk peraturan menteri/kepala lembaga.
Setidaknya, ada 3 kriteria rancangan peraturan menteri/kepala lembaga yang wajib mendapatkan persetujuan presiden sebelum ditetapkan. Pertama, berdampak luas bagi kehidupan masyarakat.
Baca juga: Pencairan JHT Disebut Sudah Bermasalah sejak Lama karena Minim Keterbukaan
Kedua, bersifat strategis, yaitu yang berpengaruh pada program prioritas presiden, target pemerintah yang ditetapkan dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) dan Rencana Kerja Pemerintah (RKP), pertahanan dan keamanan, serta keuangan negara.
Ketiga, rancangan peraturan lintas sektor atau lintas kementerian/lembaga.
Sebelum dimintakan persetujuan presiden, rancangan peraturan menteri harus telah melalui pengharmonisasian, pembulatan, dan pemantapan konsepsi yang dikoordinasikan oleh Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (Menkumham).
Tahap selanjutnya, pemrakarsa peraturan menyampaikan permohonan kepada presiden.
Dari permohonan tersebut, Sekretariat Kabinet (Seskab) menyampaikan memo ke presiden untuk mendapatkan persetujuan dari usulan pemrakarsa tersebut.
Jika presiden telah memberikan persetujuan, Seskab selanjutnya akan menyampaikan secara tertulis ke kementerian/lembaga.
"Apabila belum mendapatkan persetujuan atau tidak mendapatkan persetujuan oleh presiden, tentunya proses itu kita kaji, kita dalami kembali, kita evaluasi apa yang belum atau tidak mendapatkan persetujuan dari Bapak Presiden," kata Sekretaris Kabinet Pramono Anung melalui keterangan tertulis, Selasa (24/8/2021).
Baca juga: Jokowi Minta Permenaker JHT Direvisi, Pemerintah Diminta Pertimbangkan Aturan dengan Matang
Rancangan peraturan menteri/kepala lembaga yang mendapat persetujuan presiden selanjutnya dapat ditetapkan oleh menteri/kepala lembaga pemrakarsa dan diundangkan dalam Berita Negara Republik Indonesia di Kementerian Hukum dan HAM (Kemenkumham).
Merujuk pada Perpres, dapat dikatakan bahwa Jokowi mengetahui substansi Permenaker Nomor 2 Tahun 2022, sekaligus terlibat dalam memberikan persetujuan aturan itu.
Merespons polemik Permenaker Nomor 2 Tahun 2022, Guru Besar Hukum Ketenagakerjaan Universitas Indonesia (UI) Aloysius Uwiyono menilai, seharusnya presiden sudah mengetahui isi dari Permenaker tersebut sebelum ditetapkan oleh Menaker.
Sebab, sebagaimana Perpres Nomor 68 Tahun 2021, rancangan peraturan menteri harus mendapat persetujuan dari presiden sebelum ditetapkan.
"Seharusnya Permenaker sudah dibaca Pak Jokowi sebelum ditetapkan oleh Menaker.
Kemudian setelah ribut-ribut, Pak Jokowi menginstruksikan merevisi Permenaker 2/2022. Saya nggak tahu kesalahan pada siapa," kata Aloysius kepada Kompas.com, Selasa (22/2/2022).
Baca juga: Ombudsman Soroti Minimnya Partisipasi Buruh dalam Permenaker soal JHT
Yang jelas, Aloysius menekankan, terjadi ketidaksinkronan antara Permenaker Nomor 2 Tahun 2022 dengan UU Nomor 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional (UU SJSN).
Permenaker Nomor 2 Tahun 2022 mengatur bahwa pencairan dana JHT baru bisa dilakukan setelah pekerja berusia 56 tahun.
Padahal, Pasal 37 Ayat (3) UU SJSN mengatakan, pengambilan JHT dapat dilakukan setelah dana JHT mengendap di BPJS setidaknya selama 10 tahun.
Oleh karenanya, ke depan, alih-alih merevisi, Aloysius mendorong supaya proses penyusunan aturan dapat disinkronisasi oleh presiden, para menteri, dan pemangku kepentingan lainnya, sebelum akhirnya diterbitkan.
"Harus dicek lebih dahulu, kalau perlu 3 lapis sebelum disetujui presiden," kata dia.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.