JAKARTA, KOMPAS.com - Jumat, 5 Maret 1976 menjadi hari terakhir bagi Letjen Ibnu Sutowo menjabat sebagai Direktur Utama Pertamina.
Belasan wartawan tulis dan foto sudah menunggu sejak pagi di gedung Kementerian Pertambangan. Mereka hadir guna meliput acara serah terima jabatan dari Ibnu Sutowo kepada Mayjen Piet Haryono.
Upacara serah terima jabatan itu dijadwalkan digelar pukul 06.55 sampai 09.30 dan dipimpin oleh Menteri Pertambangan Prof. Sadli. Ruang upacara dijaga ketat oleh dua anggota satuan pengamanan Pertamina.
Pintu ruang upacara baru terbuka lebar pukul 09.30. Di antara para pejabat yang hadir, Ibnu Sutowo nampak keluar dari ruangan dengan sebatang rokok yang menyala di tangan kanannya. Dia tak banyak bicara saat itu.
Baca juga: Saat Ibnu Sutowo Menjadi Tahanan Rumah...
Awak media memberondong Ibnu dengan sejumlah pertanyaan. Namun, dia tetap tidak menjawab sepatah kata pun hingga masuk ke mobilnya.
Ibnu saat itu hanya mau meladeni permintaan para wartawan untuk diambil gambarnya, seperti dikutip dari arsip surat kabar Kompas edisi 6 Maret 1976.
Sepak terjang Ibnu Sutowo sebagai bos perusahaan minyak negara memang terhenti karena dugaan korupsi dan membengkaknya utang Pertamina saat itu. Ketika itu Ibnu berambisi meluaskan lini bisnis Pertamina ke berbagai sektor, yakni program pembukaan sawah (rice estate) di Sumatera Selatan, perjanjian sewa beli kapal tanker Samudera, Pertamina Cottages di Irian Jaya (kini Papua), hingga restoran Ramayana di New York, Amerika Serikat.
Akibat persoalan di dalam Pertamina, Presiden Soerhato membentuk Komisi 4 tahun 1974. Komisi 4 yang dibentuk untuk menyelidiki dugaan korupsi di Pertamina diketuai Ketua Dewan Pertimbangan Agung (DPA) Wilopo SH dibantu Prof Johannes, IJ Kasimo, dan H Anwar Tjokroaminoto.
Mantan Wakil Presiden Dr Moh Hatta ditunjuk sebagai penasihat. Komisi 4 sempat memberikan saran agar manajemen Pertamina ditertibkan.
Baca juga: Profil Ibnu Sutowo, Direktur Pertama Pertamina, Kakek Mertua Dian Sastro
Akibat keputusan Ibnu itu, pada pertengahan 1975 Pertamina mulai limbung karena terlilit utang jangka pendek sebesar 10,5 miliar dolar Amerika Serikat.
Setelah itu, Ibnu kemudian diperintahkan oleh Jaksa Agung Ali Said untuk tetap berada di rumah terkait dengan proses pemeriksaan dugaan korupsi. Tim pemeriksa saat itu terdiri dari dari Benny Murdani, Ismail Saleh dan Ali.
Setelah memeriksa Ibnu dan sejumlah mantan direktur Pertamina, Ali menyatakan tidak menemukan unsur pidana untuk menyeret Ibnu ke meja hijau.
Berselang beberapa tahun kemudian usai tersandung perkara, Ibnu terus mengembangkan sejumlah bisnisnya. Dalam cuplikan wawancara pada surat kabar Kompas edisi 9 September 1984, Dia baru saja meresmikan perluasan kamar Hotel Hilton miliknya.
Baca juga: Saat Ibnu Sutowo Menjadi Tahanan Rumah...
Seluruh saham hotel itu ternyata dipunyai oleh Ibnu melalui perusahaan Indobuildco, salah satu cabang usaha dari induk perusahaannya, Nugra Santana.
"Modalnya memang saya punya. Tapi itu uang pinjaman dari American Bank. Siapa sih yang punya uang cash segini banyak," kata Ibnu yang saat itu sudah mempunyai 17 cucu.