JAKARTA, KOMPAS.com - Kurikulum Merdeka yang baru saja diluncurkan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Ristet dan Teknologi Nadiem Makarim sudah dilaksanakan di 2.500 sekolah dalam waktu satu tahun terakhir di jenjang TK, SD, SMP, hingga SMA.
Namun Kemendikbud Ristek sebelumnya memberi nama Kurikulum Merdeka ini dengan sebutan Kurikulum Prototipe yang merupakan bagian dari Sekolah Penggerak.
Pengurus Besar Persatuan Guru Republik Indonesia (PB PGRI) memberikan catatan terkait pelaksanaan Kurikulum Merdeka yang telah dilakukan di 2.500 sekolah tersebut.
"Pada prinsipnya kami di PGRI menghargai niat baik pemerintah (Kemendikbud Ristek) untuk memulihkan pendidikan melalui kebijakan Kurikulum Merdeka," kata Ketua Departemen Penelitian dan Pengabdian Masyarakat PB PGRI, Sumardiansyah Perdana Kusuma saat dihubungi Kompas.com, Sabtu (12/2/2022).
Baca juga: Kurikulum Merdeka Dilengkapi Proyek Pelajar Pancasila, Tak Ada Penambahan Jam Pelajaran
Hanya saja, guru-guru di sekolah yang telah menerapkan Kurikulum Merdeka banyak yang mengeluhkan kurikulum baru ini akan berdampak pada hak tunjangan mereka.
"Keluhan dari guru yang beralih dari Kurikulum 2013 ke Kurikulum Merdeka merasa khawatir kehilangan hak mereka dalam Tunjangan Profesi Guru (TPG) disebabkan adanya perubahan struktur kurikulum yang berimbas pada pemenuhan beban mengajar guru," jelas Sumardiansyah.
Ia lalu menyoroti soal beban mengajar bagi para guru, sebagai salah satu kriteria penerimaan tunjangan profesi. Sumardiansyah mengatakan, PGRI menyarankan agar ketentuan beban mengajar sebagai syarat tunjangan profesi disesuaikan dengan metode pembelajaran pada Kurikulum Merdeka.
"Kreasi dan inovasi guru dalam mengajar tetap tidak akan tumbuh optimal karena masih berkutat dengan kewajiban beban mengajar 24-40 jam, artinya guru masih belum benar-benar merdeka mengajar," jelasnya.
Baca juga: Ini Beda Kurikulum Merdeka dengan Kurikulum Sebelumnya Bagi Anak SMA
"Karena itu kami mendorong agar beban mengajar minimal sebagai syarat TPG bisa dikurangi menjadi 18 jam dan juga berbagai ekuivalensi lain yang mendukungnya," imbuh Sumardiansyah.
PGRI pun menilai, Kurikulum Merdeka juga harus ditopang oleh program penguatan Pembelajaran Jarak Jauh (PJJ) dengan meningkatkan kapasitas orang tua (keluarga), guru, dan siswa.
Dengan begitu, implementasi Kurikulum Merdeka bukan hanya diukur dalam kondisi normal tatap muka, melainkan juga bisa terbukti efektif dan optimal dijalankan dalam kondisi tidak normal. Misalnya dalam pembelajaran daring atau jarak jauh.
Tak hanya itu, Sumardiansyah pun menganggap pola pelatihan yang diadakan oleh Kemendikbud Ristek dengan moda daring dirasa belum efektif.
"Keberadaan instruktur dan pelatih ahli dalam implementasi awal bisa dikatakan masih belum mampu mendampingi secara optimal dikarenakan proses rekruitmen yang terlalu tergesa-gesa ditengah penyusunan kurikulum yang belum matang," jelasnya.