Pakar Hukum Tata Negara, Prof Asep Warlan Yusuf mengatakan, memang ada tafsir yang tidak sama antara maksud MK dengan Pemerintah dan DPR terkait amar putusan uji materi UU Cipta Kerja.
Mengenai poin 7 amar putusan MK, Prof Asep menilai yang dimaksud MK bukanlah soal kegiatannya melainkan pembentukan kebijakannya. Hal ini sejalan dengan perkara gugatan UU Cipta Kerja yang sebagian dikabulkan oleh MK.
"Kan yang dipersoalkan bukan isinya, bukan substansinya yang bertentangan dengan UUD 1945 tapi pembentukannya yang tidak sesuai dengan undang-undang dasar," ungkap Prof Asep saat dihubungi Kompas.com, Rabu (9/2/2022).
Oleh karena itu, jika ada kebijakan-kebijakan lain terkait dengan UU Cipta Kerja, maka yang harus dijadikan rujukan adalah bagaimana pembentukan dari kebijakan tersebut serta pelaksanaannya.
Baca juga: Kata Warga Wadas soal Senjata Tajam yang Disita Polisi: Kami Bekerja di Ladang Memakai Alat Itu
"Jadi inline, konsisten. Bahwa kebijakan yang akan datang menurut putusan MK pun sepanjang kebijakannya aspiratif, transparan, partisipatif, ya itu boleh saja. Penafsirannya seperti itu," tuturnya.
Sebab jika yang dipersoalkan adalah produk dari kebijakannya, menurut Prof Asep, maka hal tersebut akan sangat mengganggu pembangunan nasional. Apalagi jika itu merupakan proyek-proyek strategis yang menyangkut kepentingan umum.
"Bayangkan kalau dalam 2 tahun kita berhenti dalam pembentukan kebijakan strategis, apalagi kalau itu berhubungan dengan internasional, dunia investasi, 2 tahun berhenti dan Pemerintah dianggap lalai, itu akan terjadi kesulitan dalam pembangunan dan investasi," papar Prof Asep.
Baca juga: PBNU Minta Pemerintah Hormati Hak Masyarakat Wadas atas Tanahnya
Namun sekali lagi, Guru Besar Universitas Parahyangan (Unpar) ini mengingatkan, pembentukan dari kebijakan strategis tidak boleh bertentangan dengn UUD 1945. Hal ini yang menurut Prof Asep harus menjadi pegangan untuk menafsirkan amar putusan MK terkait uji materi UU Cipta Kerja.
"Harus sesuai dengan aturan perundang-undangan. Itu yang dipersoalkan oleh MK, termasuk kebijakan yang baru, yang akan datang pun seperti itu pembentukannya harus transparan, partisipatif dan jelas tujuannya apa," jelasnya.
"Apapun, yang sifatnya strategis dan menimbulkan dampak luas, kebijakannya harus partisipatif, transparan. Ini pegangan dari butir 3 nya, yang mengatakan (UU Cipta Kerja) dibatalkan (jika dalam 2 tahun tak diperbaiki) karena tidak partisipatif dan transparan," imbuh Prof Asep.
Untuk itu, Prof Asep meminta semua pihak memahami makna dari putusan MK secara jelas. Bahwa yang dimaksud dari penangguhan segala tindakan/kebijakan yang bersifat strategis dan berdampak luas harus dilihat dari sisi pembentukannya.