PEKERJA migran Indonesia, alias orang Indonesia yang bekerja di luar negeri, punya banyak sisi cerita. Salah satunya, dibutuhkan tapi tak jarang terlunta, dicari tapi tak selalu terlindungi.
Fakta tentang pekerja migran Indonesia yang dibutuhkan dan dicari ini antara lain mencuat di tengah pandemi dari negeri jiran Malaysia, lewat data pasar komoditas. Dampaknya pun terasa hingga ke seluruh dunia, termasuk di dalam negeri kita.
Kisah dari Malaysia yang ini berpusar di perkebunan sawit. Selain pekerja rumah tangga, pekerja migran Indonesia terutama di Malaysia banyak yang ditempatkan di perkebunan sawit.
Protokol kesehatan global terkait Covid-19 membatasi lalu lintas perjalanan global ternyata mempengaruhi jumlah pekerja yang tiba ke Malaysia untuk bekerja di perkebunan sawit mereka. Data hingga akhir 2021 mendapati, pekerja migran Indonesia di Malaysia anjlok selama pandemi.
Hasilnya, produksi dan ekspor minyak sawit mentah (crude palm oil atau CPO) Malaysia anjlok. Dalam aneka dokumen dan telaah industri CPO dinyatakan bahwa kondisi ini dipicu oleh kesulitan perkebunan Malaysia mendapatkan pekerja dari luar negeri.
Harga CPO global pun melejit, karenanya. Di dalam negeri, harga minyak goreng bikin ibu-ibu dan UMKM se-Indonesia angkat suara dan menghasilkan ironi tersendiri.
Baca juga: Ironi Harga Minyak Goreng yang Mendidih di Negeri Penghasil Terbesar CPO
Meski Indonesia adalah penghasil terbesar CPO, tata niaga minyak goreng tidak sinkron dengan industri kelapa sawit termasuk CPO yang adalah salah satu bahan dasar utama minyak goreng.
Harga minyak goreng yang diedarkan di Indonesia pada akhirnya merujuk pada banderol harga CPO internasional. Mahal.
Hingga tulisan ini tayang, pekerja ilegal dari Indonesia ke sejumlah negara bukanlah ilusi. Fakta terbaru datang dari tragedi kapal tenggelam di perairan Selat Malaka.
Demi janji dan harapan penghidupan yang lebih baik, jalan ilegal ditempuh. Namun, yang didapati tak jarang malah duka dan nestapa.
Baca juga: Kemenlu: 2 Kecelakaan Kapal Pengangkut WNI di Perairan Johor Terjadi Berturutan
Berkas Kompas edisi 25 Januari 2022 di Kompas TV, Deretan Masalah Pekerja Migran, mengungkap sekelumit di antara cerita mereka. Salah satunya, cerita dari Kepulauan Riau.
Dari kawasan ini, pekerja dimintai uang Rp 7-10 juta dengan iming-iming gaji tinggi di Malaysia untuk berangkat lewat jalur ilegal alias non-prosedural.
Jalur pemberangkatan yang digunakan adalah pelabuhan-pelabuhan rakyat yang banyak ada di pulau-pulau di kawasan tersebut. Sayangnya, keselamatan tidak masuk "paket" pemberangkatan.
Dari waktu ke waktu ada saja kecelakaan laut yang merenggut nyawa para pekerja migran ini. Puluhan nyawa hilang dalam dua bulan terakhir.
Baca juga: Polisi Ungkap Peran 8 Tersangka Terkait Tenggelamnya Kapal Pekerja Migran di Malaysia
Latar kisah tentang para korban diangkat juga oleh harian Kompas edisi 24 Januari 2022, dari Lombok Timur, Nusa Tenggara Barat, dan Indramayu, Jawa Barat.
Demi mimpi sejahtera, misalnya, Julia Ningsih (19 tahun) justru kehilangan nyawa dalam perjalanan laut dari Batam, Kepulauan Riau, ke Malaysia. Hal yang sama menimpa Ratna Erna Sari (20).
Kemiskinan dan harapan hidup lebih baik selalu jadi harapan para pekerja migran. Ratna, misalnya, bersikukuh berangkat karena terlilit kredit perabotan dan rentenir dengan bunga mencekik, dengan suami bekerja sebagai buruh cangkul berpenghasilan Rp 40.000 per hari.
Sayangnya, banyak tangan mengambil keuntungan dan kesempatan dari situasi semacam itu, termasuk merekrut dan memberangkatkan lewat jalan ilegal. Upaya menangkalnya timbul tenggelam dari waktu ke waktu, tak jarang barulah sesudah ada tragedi mendahului.
Upaya mengendus dan menutup jalur-jalur pemberangkatan ilegal pekerja migran ini pun dirasa bak mencincang air. Selain jumlah pelabuhan rakyat yang disebut terlalu banyak, minat orang untuk bisa bekerja di negeri jiran dengan iming-iming perbaikan kehidupan juga tak meredup.
Dalam dua bulan terakhir saja, Desember 2021 dan Januari 2022, setidaknya ada empat kecelakaan kapal berpenumpang pekerja migran ilegal terjadi di Selat Malaka.
Pertama, pada 15 Desember 2021. Perahu pengangkut 64 pekerja migran tanpa dokumen tenggelam digulung ombak di perairan Tanjung Balau, Johor. Sebanyak 22 calon pekerja migran meninggal dan 29 orang hilang.
Kedua, pada 24 Desember 2021. Perahu pengangkut 50 pekerja migran tanpa dokumen tenggelam di perairan antara Sumatera Utara dan Semenanjung Malaysia. Sebanyak 16 pekerja migran tanpa dokumen hilang.
Ketiga, pada 14 Januari 2022, perahu pengangkut 21 pekerja migran tanpa dokumen tenggelam di perairan antara Kepulauan Riau dan Malaysia. Tiga orang tewas dalam insiden tersebut.
Keempat, pada 17 Januari 2022, perahu pengangkut pekerja migran tenggelam di perairan Pontian, Malaysia, dalam perjalanan dari Pulau Jalung, Batam, Kepulauan Riau.
Berpenumpang 13 orang, termasuk pekerja migran tanpa dokumen, perahu ini terempas ombak dan menewaskan enam perempuan yang diduga calon pekerja migran.
Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Yasonna H Laoly, di Batam, meminta semua aparat yang bertugas di perbatasan agar bersinergi memberantas penyelundupan pekerja migran.
Ia juga meminta petugas imigrasi mengawasi pengajuan paspor agar keberangkatan pekerja migran nonprosedural dapat dicegah sedini mungkin.
”Kami menyesalkan kejadian ini. Namun, (persoalan) ini tidak mudah karena ini menyangkut kehidupan ekonomi,” kata Yasonna seusai memimpin Apel Nasional Gabungan Penegakan Hukum Keimigrasian di Perairan Batam, Rabu (19/1/2022), seperti dikutip harian Kompas edisi 20 Januari 2022.
Terpisah, Kepala Pusat Studi Migrasi Migrant Care, Anis Hidayah, menyebut upaya penyidikan kecelakaan kapal berpenumpang pekerja migran ilegal diduga tak pernah tuntas sampai ke akar permasalahan.
Dia juga menengarai ada keterlibatan oknum aparat di kedua negara sehingga praktik perekrutan dan pengiriman pekerja migran ilegal terus terjadi dari waktu ke waktu.
“Mestinya ini dilakukan penegakan hukum (oleh) interpol Indonesia dan juga Malaysia sehingga (oknum) aparat di sini dan di Malaysia yang terlibat sama-sama juga diusut, dikenai sanksi, dan bisa dibuktikan oleh peradilan,” ujar Anis dalam wawancara dengan tim Berkas Kompas dari Kompas TV.
Baca juga: TNI AL Dalami Dugaan Keterlibatan Prajurit Kirim Pekerja Migran Ilegal
Tak kurang dari Kepala BP2MI, Benny Ramdhani, dalam wawancara dengan tim Berkas Kompas dari Kompas TV pun menyebut jaringan perekrut dan pengirim pekerja migran ilegal ini diduga memang punya beking kuat.
“Mereka memiliki modal kapital… (juga) dibekingi oleh oknum-oknum yang memiliki atribut-atribut kekuasaan atas laporan-laporan dari hasil penggrebekan pencegahan,” kata dia, seperti dikutip Berkas Kompasdengan jadwal tayang di Kompas TV pada 25 Januari 2022 malam.
Ekonomi yang menyempit tersebab pandemi Covid-19 jadi tambahan persoalan dalam isu pekerja migran. Pemerintah Indonesia dan Malaysia memastikan belum ada pembukaan kembali jalur resmi penempatan pekerja migran Indonesia di Malaysia.
Baca juga: Perlindungan Pekerja Migran di Masa Pandemi
Yang terjadi, jalur-jalur ilegal mengisi celah. Iming-iming penghasilan besar jadi daya tarik, lebih-lebih ketika ekonomi terasa makin sulit di tengah pandemi.
Sebelumnya, Berkas Kompas di Kompas TV edisi 25 November 2021, Asa dan Derita Puan Pekerja Migran, telah mengangkat pula isu kerentanan pekerja migran Indonesia, terutama perempuan.
Meski persoalan yang membayangi pekerja migran perempuan relatif lebih pelik dan kompleks, sejumlah isu terkait perlindungan berlaku untuk semua pekerja migran, baik dari gender maupun lokasi penempatan kerja, terlebih lagi bagi mereka yang terjerat jalur non-prosedural.
Kecelakaan kapal berpenumpang pekerja migran tanpa kelengkapan dokumen pada Desember 2021 dan Januari 2022 bisa jadi hanya sekeping kecil puncak gunung es dari praktik perekrutan, pemberangkatan, dan penempatan pekerja migran Indonesia.
”Ketika jalur resmi tidak kunjung dibuka maka satu-satunya cara bagi mereka untuk berangkat ke luar negeri adalah lewat jalan pintas, seperti lewat Selat Malaka. Ini sudah terjadi sejak puluhan tahun lalu,” ujar Direktur Eksekutif Migrant Care Wahyu Susilo, Minggu (23/1/2022), seperti dikutip harian Kompas edisi 24 Januari 2022.
Di dalam negeri, peluang dan kesempatan untuk memperbaiki kehidupan sepertinya belum pula memberikan pilihan.
Bahkan, para pekerja migran yang dipulangkan atau putus kontrak karena pandemi pun rawan terjebak dalam lingkaran persoalan yang dulu membuat mereka memilih bekerja di luar negeri.
Buat catatan, setidaknya 180.000 pekerja migran Indonesia dipulangkan dari negara penempatan selama pandemi Covid-19.
Bak simalakama, di negara penempatan para pekerja migran ini terlunta selama pagebluk, mulai dari dianggap pembawa virus hingga eksploitasi dan pemutusan hubungan kerja atas nama pandemi. Saat pulang, mereka pun banyak disebut sebagai pembawa virus.
Baca juga: Kemenkes: Kasus Omicron Paling Banyak Berasal dari Arab Saudi, Terutama Pekerja Migran
Sekali lagi, fakta mendapati bahwa para pekerja migran sejatinya diperlukan di negara penempatan. Namun, mereka teramat rentan terlunta. Mereka dicari ketika tidak ada, tetapi tak selalu terlindungi juga. Mereka dipikat lewat banyak cara tetapi tak ada jaminan bahkan untuk selamat tiba ke lokasi penempatan kerja.
Mau sampai kapan?
Naskah: KOMPAS.com/PALUPI ANNISA AULIANI
Artikel harian Kompas yang dikutip dalam tulisan ini dapat diakses publik melalui layanan Kompas Data. Adapun Berkas Kompas edisi Deretan Masalah Pekerja Migran dapat disimak di Kompas TV edisi Selasa (25/1/2022) pukul 22.00 WIB.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.