”Walau demikian, korupsi itu di baliknya selalu ada niat. Jadi, sebaik apa pun sistem, kalau niatnya memang korupsi, sistem itu akan dilabrak," kata Feri.
Terlebih lagi, jejak korupsi oleh penguasa di Indonesia—dalam masing-masing jenjang kekuasaan—tak hanya ada semenjak para kepala daerah dan pimpinan negara dipiilh langsung oleh rakyat.
Peter Carey dan Suhardiyoto Haryadi dalam buku Korupsi: Dalam Silang Sejarah Indonesia - Dari Daendels (1808-1811) sampai Era Reformasi, menguliti aneka rupa cara penguasa menjarah dan memperkaya diri.
Di buku itu diungkap, hanya pada kurun Januari 1946-Mei 1949 saja korupsi tampaknya hengkang sejenak dari Bumi Pertiwi. Itu pun karena pada periode itu negara baru bernama Indonesia nyaris bangkrut dalam arti harfiah.
Pada saat yang sama, Indonesia yang sampai harus memindahkan sementara Ibu Kota ke Yogyakarta pada saat itu, masih menghadapi ancaman militer Belanda. Carey dan Haryadi pun menyebut pada kurun itulah tidak ada ruang untuk kesenangan pribadi atau pemborosan uang negara.
Upaya membasmi korupsi di tanah Indonesia pun sejatinya sudah dilakukan berjilid-jilid, bahkan sejak Herman Willem Daendels menjadi Gubernur Jenderal di Jawa. Itu pun, pada akhir keberadaannya, dia juga tergoda memperkaya diri.
Tentu, idealnya, korupsi angkat kaki dari Bumi Pertiwi. Carey dan Haryadi mencantumkan sejumlah contoh upaya pemberantasan korupsi yang memberi hasil. Salah satunya mengambil contoh kasus di Inggris.
Jangan dulu terpukau. Dalam contoh tersebut, Inggris butuh waktu hampir 200 tahun untuk mengenyahkan korupsi struktural yang menggerogoti pada saat itu. Tepatnya, upaya tersebut dimulai pada 1660 dan baru dianggap menghadirkan titik balik pada 1830.
Bukan berarti juga saat ini tak ada kasus korupsi sama sekali di Inggris. Namun, kejadiannya tak sejamak di Indonesia yang sudah nyaris jadi hal biasa saja dalam keseharian.
Pertanyaan yang perlu dirawat dan mendapatkan jawab, apakah kita masih harus berjibaku 200 tahun lagi untuk mengenyahkan korupsi?
Hanya Anda, saya, dan kita semua yang bisa menjawab dan membuktikannya bersama, baik iya maupun tidak untuk pertanyaan ini.
Selama kita masih merasa perlu menyuap untuk memuluskan apa pun urusan kita, korupsi akan langgeng.
Demikian pula ketika kita membiarkan saja para penguasa yang menyalahgunakan kekuasaannya, baik langsung maupun lewat kolega dan kroninya, menguasai tampuk kekuasaan, situasinya tak akan berbeda juga.
Perubahan selalu susah dan berat. Mungkin.
Namun, semua pada akhirnya kembali dan dimulai oleh dan dari masing-masing diri, yang kemudian berkerumun bersama dengan sesama diri yang memulai perubahan, hingga kelak akhirnya menghadirkan dan mewujudkan perubahan itu. Terus-menerus, sambung bersambung. Sampai perubahan terjadi.
Itu saja.
Naskah: KOMPAS.com/PALUPI ANNISA AULIANI
Catatan:
Semua artikel harian Kompas yang dikutip dalam tulisan ini dapat diakses publik melalui layanan Kompas Data.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.