Kasus-kasus oknum polisi seperti di atas adalah persoalah klasik yang selalu terulang di berbagai era Kapolri.
Program Promoter di era Kapolri Tito Karnavian telah berganti menjadi program Presisi di masa Kapolri Listyo Sigit Prabowo. Program berubah tapi mindset belum berubah.
Polri masih terjebak dalam proses transisi dari pola militer ke sipil yang belum tuntas. Padahal polisi memiliki dukungan anggaran dan politik yang tidak sedikit di era Presiden Joko Widodo. Reformasi internal Polri belum tuntas karena perubahan kultural belum berjalan maksimal.
Perubahan perilaku anggota Polri masih belum mengedepankan jatidiri sebagai polisi sipil.
Padahal, polisi sipil adalah polisi yang mengedepankan penghargaan terhadap hak-hak sipil, bersahabat, dan membela kepentingan rakyat daripada kepentingan penguasa.
Yang paling utama tentu saja menjunjung tinggi nilai-nilai hak asasi manusia.
Sebagai paradigma, polisi sipil juga merupakan tujuan dari reformasi kepolisian. Pada dasarnya proses reformasi tidak bisa dijalankan secara parsial atau setengah-tengah, tetapi berproses secara berkesinambungan.
Harapannya, terjadi akselarasi dalam mewujudkan polisi sipil yang transparansi, akuntabel, dan konsisten terhadap supremasi hukum. Jika ditarik lebih dalam, inilah “core” dari program Presisi yang digagas Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo.
Namun harus diakui, kultur polisi belum banyak berubah meski sudah ada reformasi di tubuh Polri.
Belum berubahnya kultur polisi terlihat dalam kasus Brigadir NP yang membanting mahasiswa pengunjuk rasa di Tigaraksa, Kabupaten Tangerang, Banten (Kompas.com, 15/10/2021).
Tindakan Brigadir NP membanting Muhamad Faris Amrullah, mahasiswa UIN Maulana Hasanuddin, sangat berbahaya karena bisa melumpuhkan syaraf korban.
Aksi kekerasan ini membuktikan bahwa pendidikan Polri masih gagal mewujudkan Polri yang ber-mindset mengayomi semua golongan.
Polri tidak boleh kebal dengan kritik terutama soal kurikulum pendidikan untuk calon personelnya.
Polri masih harus memperbanyak materi penguatan pembelajaran tentang hak asasi manusia meskipun sudah ada Peraturan Kapolri Nomor 8 Tahun 2009 tentang Implementasi Prinsip dan Standar Hak Asasi Manusia Dalam Penyelenggaraan Tugas Kepolisian Negara Republik Indonesia
Polri juga harus mereformasi pola pikir dasar bahwa polisi bukan penghukum. Tugas kepolisian adalah memelihara keamanan dan ketertiban, menegakkan hukum, mengayomi, melindungi, dan melayani masyarakat.
Tidak dibenarkan membubarkan aksi unjuk rasa dengan cara-cara “mematikan” seperti yang dipertontonkan personel Polres Kota Tangerang terhadap para pengujukrasa yang tidak berskala rusuh.
Penghukuman apalagi dengan cara-cara kekerasan kepada masyarakat sipil hanya melahirkan ketidakapercayaan kepada korps Bhayangkara.