JAKARTA, KOMPAS.com - Nasib 57 pegawai Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang tak lolos Tes Wawasan Kebangsaan (TWK) dalam proses alih status kepegawaian menjadi Aparatur Sipil Negara (ASN) bak dipingpong.
Usai dikenai status merah serta tak bisa dibina oleh Ketua KPK Firli Bahuri yang juga polisi berpangkat Komjen, sebanyak 57 pegawai itu justru ditawari untuk menjadi ASN di Korps Bhayangkara oleh sang pimpinan tertinggi yakni Kapolri Jenderal (Pol) Listyo Sigit Prabowo.
Penawaran posisi ASN di Polri yang disampaikan Kapolri seolah bertentangan dengan keputusan Firli yang justru memecat 57 pegawai yang tak lolos TWK tersebut.
Baca juga: Serahkan ke Kapolri, Menpan RB Enggan Jawab soal Status Merah dan Tak Bisa Dibina 57 Pegawai KPK
Hal ini juga menunjukkan seolah antara KPK dan Polri selaku dua institusi penegak hukum memiliki standar wawasan kebangsaan yang berbeda.
Dengan menawarkan posisi ASN di Polri kepada 57 pegawai KPK yang telah berstatus merah dan tak bisa dibina, Kapolri secara tak langsung menganggap para pegawai KPK itu tak bermasalah secara wawasan kebangsaan.
Padahal KPK telah menilai 57 pegawai tersebut bermasalah secara wawasan kebangsaan hingga akhirnya harus memberhentikan mereka.
Menyikapi penawaran Kapolri itu, juru bicara 57 pegawai KPK yang dipecat yakni Rasamala Aritonang menilai sedianya ia dan rekan-rekannya lolos TWK karena justru ditawari untuk bekerja sebagai ASN di Polri.
“Artinya, sebenarnya kami lolos TWK. Ketidaklolosan kami semakin nyata merupakan praktik penyingkiran dari KPK,” ujar Juru Bicara 56 Pegawai KPK Rasamala Aritonang.
Hal senada disampaikan Peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW) Kurnia Ramadhana. Kurnia menilai, sikap Listyo yang berencana mengangkat 56 pegawai KPK menjadi ASN Polri bertolak belakang dengan sikap Firli yang memberhentikan pegawai tersebut karena disebut tak lolos TWK.
Baca juga: ICW Minta Kapolri Beri Sanksi ke Firli Bahuri, Pemecatan Dirasa Pantas
Dari dua sikap yang bertolak belakang ini, Kurnia menduga Listyo menyadari ada tindakan keliru yang dilakukan Firli.
“Tidak salah dan mungkin sesuai ekspektasi masyarakat agar Kapolri memberikan sanksi kepada Firli. Sebab sekali pun Firli saat ini menjadi Ketua KPK, ia masih berstatus sebagai anggota Polri,” imbuh dia.
Oleh karena itu, Kurnia meminta Kapolri memberikan sanski pada Firli. Kurnia menilai, sanksi itu perlu diberikan karena melihat sikap yang berbeda antara Listyo dan Firli terkait 56 pegawai KPK yang tak lolos TWK.
“Rasanya pantas jika Firli segera diberhentikan dari keanggotaan Korps Bhayangkara,” kata Kurnia pada Kompas.com, Kamis (30/9/2021).
“Dengan tindakannya dalam penyelenggaraan TWK yang malaadministrasi dan melanggar HAM, secara langsung ia telah mencoreng lembaga kepolisian,” kata dia.
Baca juga: Tawaran Kapolri yang Belum Direspons Pegawai KPK dan Anggapan TWK Tak Bermakna
Karena itu, penawaran posisi ASN di POlri kepada 57 pegawai KPK yang disampaikan Kapolri turut menunjukkan jika TWK yang digunakan sebagai alat penilaian tidak valid.
TWK seolah digunakan hanya untuk menyingkirkan 57 pegawai KPK yang memiliki sepak terjang dan integritas yang baik dalam memberantas korupsi.
Selain itu, pernyataan Kapolri yang mengatakan bahwa penawaran posisi ASN di Polri kepada 57 pegawai KPK atas izin Presiden Joko Widodo, secara tak langsung menunjukkan bahwa usul tersebut merupakan sikap Kepala Negara dalam menyikapi polemik ini.
Padahal Presiden Jokowi sedianya sejak awal bisa mengambil sikap untuk mengangkat atau memberhentikan 57 pegawai KPK tersebut tanpa harus menyetujui usulan Kapolri untuk menyelamatkan mereka usai dipecat.
Berdasarkan Undang-undang (UU) No. 5 Tahun 2014 tentang ASN, dalam Pasal 25 dinyatakan bahwa presiden selaku pemegang kekuasaan pemerintahan merupakan pemegang kekuasaan tertinggi dalam kebijakan, pembinaan profesi, dan Manajemen ASN.
Baca juga: Mahfud Sebut Pemerintah Tawarkan 56 Pegawai KPK Jadi ASN lewat Kapolri
Hal itu semakin dikuatkan dengan UU KPK hasil revisi yang mendudukkan KPK sebagai lembaga eksekutif di bawah kuasa presiden.
Menyikapi polemik TWK KPK, Juru Bicara Presiden, Fadjroel Rachman kembali menyampaikan sikap Presiden Joko Widodo.
Fadjroel menegaskan bahwa Jokowi mengutamakan kesopanan dalam ketatanegaraan dengan menghormati putusan Mahkamah Konstitusi (MK) dan Mahkamah Agung (MA) terkait hal ini.
"Jadi Presiden, beliau mengatakan, saya menghormati kesopanan dalam ketatanegaraan. Jadi beliau menghormati putusan yang diambil oleh MK maupun oleh MA," kata Fadjroel di Istana, Selasa (28/9/2021).
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.