Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Ari Junaedi
Akademisi dan konsultan komunikasi

Doktor komunikasi politik & Direktur Lembaga Kajian Politik Nusakom Pratama.

Hoaks tentang Megawati dan Kelompok Gagal "Move On"

Kompas.com - 15/09/2021, 06:11 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

JUDUL lagu ciptaan Kukuh Prasetya Kudamai "Mendung Tanpo Udan" yang dinyanyikan Ndarboy Genk dalam beberapa pekan terakhir ini menjadi lagu yang viral di aplikasi Tik Tok. 

Begitu juga di Youtube dan Spotify. Lagu ini populer mengungguli lagu-lagu yang lain. Walaupun liriknya berbahasa Jawa namun semua kalangan menyukainya. Apalagi lagu yang di-cover banyak penyanyi ini juga rancak saat dipakai untuk berjoget. 

Ibarat "Mendung Tanpo Udan" atau mendung tanpa hujan, tiba-tiba isu mengenai kondisi kesehatan Presiden ke-5 RI Megawati Soekarnoputeri yang tengah kritis dan koma menyeruak di semua lini masa media sosial sejak kemarin. Bahkan ada pula flyer ucapan dukacita. 

Baca juga: Kronologi Hoaks Megawati Sakit, Beredar di Medsos hingga Hadir di Acara PDI-P

1.000 persen Megawati koma

Ibarat mendung tanpo udan, semua kalangan terperangah dengan kabar tersebut. Yang lebih memalukan lagi, seorang mantan wartawan senior yang kini pindah haluan sebagai konsultan media serta politik turut menyebarkan info.

Ia mengaku mendapat informasi dari seorang tenaga kesehatan bahwa 1.000 persen Ketua Umum PDI Perjuangan itu koma dan dirawat di ICU Rumah Sakit Pertamina Pusat atau RSPP Jakarta.

Kemunculan terakhir Megawati di depan publik terjadi di sekitar akhir Agustus 2021 saat Presiden Joko Widodo mengumpulkan sejumlah ketua umum dan sekretaris jenderal partai-partai pengusungnya di Istana Merdeka, Jakarta.

Seperti melupakan prinsip-prinsip jurnalistik yang pernah digelutinya selama puluhan tahun, mantan pekerja media ini malah mengunggah video soal informasi sesat itu di kanal Youtube miliknya. Informasi yang tidak akurat ini hampir dipercaya oleh banyak orang.

Seiring dengan merebaknya informasi tersebut, sejak Kamis pagi saya medapat pertanyaan mengenai kondisi kesehatan putri Bung Karno itu dari berbagai wartawan dan sahabat.

Jawaban saya tentu berdasarkan informasi akurat yang saya peroleh dari ajudan ADC yang melekat kepada Megawati, dokter pribadi, sekretaris pribadi dan elite-elite PDI Perjuangan. Mereka mengatakan, kondisi Megawati sangat prima, tidak menderita sakit apapun.

Sebagai mantan pekerja media, saya selalu membiasakan untuk check, crosscheck dan triplecheck untuk mengonfirmasi kebenaran suatu berita.

Bukan kali ini saja Megawati diterpa dengan berita “plintiran” mengenai kondisi kesehatannya. Pada 2019 lalu juga sempat ramai di media sosial kabar soal Megawati terserang stroke.

Kementerian Komunikasi dan Informasi turun tangan dan melabeli informasi itu sebagai hoaks. Kabar sesat ini terkait dengan kontestasi Joko Widodo yang disokong PDI Perjuangan di pemilihan presiden (Pilpres) 2019.

Tidak itu saja. Megawati juga pernah dikaitkan dengan kabar bohong mengenai pengambilalihan Taman Mini Indonesia Indah (TMII) yang dilego Megawati kepada China (11/4/2021).

Ada pula informasi sesat lain yang mengatakan bahwa Megawati mau mengganti Pancasila (19/08/2020). Sebelumnya, ia dikabarkan mau mundur dari kursi Ketua Umum PDI Perjuangan (9/7/2020).

Pada Pilpres 2019, saat proses penghitungan suara masih berlangsung, Megawati diwartakan sudah mengakui kemenangan Prabowo Subianto sebagai Presiden (17/5/2019).

Isu kritisnya kesehatan Megawati semakin menjadi bola liar. Ada oknum yang menggunakan nama Palang Merah Indonesia (PMI) DKI Jakarta menyebarkan flyer ucapan dukacita dengan foto mirip Megawati.  

PMI DKI Jakarta membantah menyebarkan flyer itu dan mengancam akan mengajukan tuntutan hukum terhadap oknum pencatut nama PMI DKI Jakarta (Kompas.com, 9 September 2021).

Baca juga: PMI DKI Bantah Sebarkan Unggahan Dukacita untuk Megawati Soekarnoputri

RSPP Jakarta juga membantah kabar Megawati dan pejabat parpol lain dirawat di rumah sakit tersebut. Baca juga: RSPP Bantah Rawat Megawati atau Petinggi Parpol Lain

Demi menghentikan bolar liar isu, Sekretaris Jenderal PDI Perjuangan Hasto Kristiyanto turut mengeluarkan bantahan. Baca juga: Isu Megawati Dirawat, Sekjen PDI-P: Kami Doakan Mereka yang Fitnah Bertobat

Kemunculan Megawati saat membuka kegiatan Sekolah Partai Pendidikan untuk Kader Madya PDI Perjuangan melalui pertemuan daring dari kediamannya di Kawasan Menteng, Jakarta, Jumat kemarin (10 September 2021) menegaskan bahwa kabar dirinya sakit adalah tidak benar.

Megawati mengingatkan kepada penyebar hoaks untuk ingat kekuasaan Sang Pencipta yang tidak ada batasnya. Penyebaran informasi seperti ini dianggapnya berlebihan dan tidak berkontribusi bagi politik dengan energi yang positif.

Baca juga: Diisukan Sakit dan Dirawat, Megawati: Alhamdulillah Saya Sehat Walafiat

Kelompok gagal move on

Jika dirunut ke belakang, fenomena pemlintiran fakta dan masifnya penyebaran berita hoaks melalui media sosial mulai marak terjadi saat Pilpres 2014. Ada pertarungan antara kutub pendukung Joko Widodo dan pendukung Prabowo.

Pelibatan buzzer yang semula dipakai sebagai sarana marketing bisnis, mulai diadopsi untuk kampanye politik di Pilpres 2014.

Buzzer yang semula berfungsi pelengkap atau komplementer, saat itu bermetamorfosa menjadi lini utama kekuatan politik.

Tentu kita masih ingat kasus operasi plastik Ratna Sarumpaet bisa dipermak menjadi kasus pemukulan dan intimidasi yang dikesankan beraroma politik. Demi kepentingan politik, kebohongan bisa dipelintir menjadi seolah-olah kebenaran.

Tekad Ketua Umum Partai Amanat Nasional (PAN) Zulkifli Hasan yang ingin menjadi jembatan antara pemerintah dan kelompok-kelompok yang berbeda pandangan dengan pemerintah, sebetulnya menarik untuk dicermati (Kompas.com, 10 September 2021).

Baca: Gabung Pemerintah, PAN Ingin Rangkul Kelompok Beda Pandangan Dampak Pilpres

Zulkifli tentu paham, segregasi bangsa yang terbelah akibat polarisasi antar pendukung capres-cawapres di dua kali pesta demokrasi bernama Pilpres begitu menghabiskan energi bangsa. Kutub cebong dan kutub kampret masih terbawa-bawa hingga sekarang.

Dengan bergabung dalam kabinet Jokowi-Amin, PAN sebagai "penumpang baru" seolah ingin memberikan kontribusi positif.

Publik mafhum, serangan kepada Jokowi banyak berasal dari lawan politik sisa-sisa Pilpres 2014 dan 2019. Kaum gagal move on. Pada dua Pilpres tersebut PAN berada di kubu lawan Jokowi.

Sebelum memerankan diri sebagai jembatan dua kubu, yang harus dilakukan Zulkifli Hasan adalah memastikan anasir-anasir di dalam PAN memulai langkah positif dan terpuji. Sebelum mengajak dan merangkul pihak luar, akan lebih elegan jika PAN melihat ke dalam dulu.

Sebenarnya mudah saja merunut siapa produsen hoaks soal Megawati yang katanya 1000 persen dirawat di ICU RSPP Jakarta.

Di mana posisi penyebar hoaks tersebut saat di Pilpres 2014 dan 2019 lalu? Bagaimana sikap dan pandangan dia soal hasil Pilpres selama ini?

Sebagai aktor tentu ada skenario yang ingin dimainkan.  Tentu pula ada sutradara yang men-direct alur permainan aktingnya.

Maaf dengan materai Rp 10.000

Mudahnya orang percaya hoaks tanpa melakukan verifikasi sungguh memprihatinkan. Media sosial menjad sarana ampuh untuk menyebarkan informasi sesat. Media mainstream pun acap mengikuti gendang para pembuat hoaks. Publik pun terpedaya.

Sejauh ini, penyelesaian kasus-kasus hoaks cenderung sederhana: minta maaf di selembar kertas bermeterai. 

Sementara, efek yang ditimbulkan tidak sederhana. Meski permintaan maaf sudah disampaikan dan jalan damai telah disepakati, namun sebaran informasi bohong tersebut tak bisa dihentikan, bahkan terus didaur ulang.

Kabar sesat soal serbuan tenaga kerja asing dari China di Morowali, Sulawesi Tengah, terus kembali muncul dengan edisi yang berbeda-beda. Presiden Jokowi boneka Megawati juga terus berulang muncul. 

Reproduksi dan recycle konten-konten sesat menjadi problem untuk bangsa ini. Kementerian Komunikasi dan Informasi seperti mengerjakan pekerjaan rumah yang tidak selesai-selesai.

Kita pun seolah merendahkan aspek legal dan sosial dari sebuah materai. Nilai Rp 10 ribu materai menjadi kehilangan makna. Segala sesuatu bisa diselesaikan dengan ceban,  meminjam bahasa Mandarin dialek Hokkian untuk uang sebesar Rp 10.000.

Bung Karno pernah berujar, "Perjuanganku lebih mudah karena melawan penjajah, namun perjuangan kalian akan lebih sulit karena melawan bangsa sendiri.”

Persoalan yang dihadapi bangsa ini tidak rampung ketika kita merdeka dan berhasil mengenyahkan penjajah. Persoalan politik, ekonomi, sosial, keadilan dan lain-lain yang dihadapi dewasa ini begitu menguji rasa persatuan dan kesatuan bangsa.

Walau penyebar hoaks soal 1.000 persen Ibu Megawati sakit kritis dan koma belum meminta maaf sampai sekarang, saya yang merasa malu kiranya ikut beruluk salam maaf.

Orang tua dan leluhur telah mengajarkan, “Sak bejo-bejone wong kang lali isi bejo wong kang eling lan waspodo.

Manusia yang memahami asal muasal dan tujuan penciptaan, akan selalu mengingat Tuhan (eling), menjauhi larangan, melaksanakan perintahNya dan berikhtiar di jalan kebenaran (waspada).

Saya atas nama anak bangsa yang begitu merendahkan nilai-nilai keluhuran hidup, termasuk penyebar hoaks 1.000 persen Ibu sakit kritis dan koma, memohon maaf kepada Ibu Megawati.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Status Perkawinan Prabowo-Titiek Tertulis 'Pernah', Apa Maknanya?

Status Perkawinan Prabowo-Titiek Tertulis "Pernah", Apa Maknanya?

Nasional
Wamenhan Terima Kunjungan Panglima AU Singapura, Bahas Area Latihan Militer

Wamenhan Terima Kunjungan Panglima AU Singapura, Bahas Area Latihan Militer

Nasional
Pengamat: Anies Ditinggal Semua Partai Pengusungnya, Terancam Tak Punya Jabatan Apapun

Pengamat: Anies Ditinggal Semua Partai Pengusungnya, Terancam Tak Punya Jabatan Apapun

Nasional
Pilkada 2024: Usia Calon Gubernur Minimum 30 Tahun, Bupati/Wali Kota 25 Tahun

Pilkada 2024: Usia Calon Gubernur Minimum 30 Tahun, Bupati/Wali Kota 25 Tahun

Nasional
Menlu Sebut Judi Online Jadi Kejahatan Transnasional, Mengatasinya Perlu Kerja Sama Antarnegara

Menlu Sebut Judi Online Jadi Kejahatan Transnasional, Mengatasinya Perlu Kerja Sama Antarnegara

Nasional
PDI-P Percaya Diri Hadapi Pilkada 2024, Klaim Tak Terdampak Jokowi 'Effect'

PDI-P Percaya Diri Hadapi Pilkada 2024, Klaim Tak Terdampak Jokowi "Effect"

Nasional
Harap Kemelut Nurul Ghufron dan Dewas Segera Selesai, Nawawi: KPK Bisa Fokus pada Kerja Berkualitas

Harap Kemelut Nurul Ghufron dan Dewas Segera Selesai, Nawawi: KPK Bisa Fokus pada Kerja Berkualitas

Nasional
Hasto Ungkap Jokowi Susun Skenario 3 Periode sejak Menang Pilpres 2019

Hasto Ungkap Jokowi Susun Skenario 3 Periode sejak Menang Pilpres 2019

Nasional
Ikut Kabinet atau Oposisi?

Ikut Kabinet atau Oposisi?

Nasional
Gugat KPU ke PTUN, Tim Hukum PDI-P: Uji Kesalahan Prosedur Pemilu

Gugat KPU ke PTUN, Tim Hukum PDI-P: Uji Kesalahan Prosedur Pemilu

Nasional
Said Abdullah Paparkan 2 Agenda PDI-P untuk Tingkatkan Kualitas Demokrasi Elektoral

Said Abdullah Paparkan 2 Agenda PDI-P untuk Tingkatkan Kualitas Demokrasi Elektoral

Nasional
Halalbihalal dan Pembubaran Timnas Anies-Muhaimin Ditunda Pekan Depan

Halalbihalal dan Pembubaran Timnas Anies-Muhaimin Ditunda Pekan Depan

Nasional
Hadiri KTT OKI, Menlu Retno Akan Suarakan Dukungan Palestina Jadi Anggota Penuh PBB

Hadiri KTT OKI, Menlu Retno Akan Suarakan Dukungan Palestina Jadi Anggota Penuh PBB

Nasional
PM Singapura Bakal Kunjungi RI untuk Terakhir Kali Sebelum Lengser

PM Singapura Bakal Kunjungi RI untuk Terakhir Kali Sebelum Lengser

Nasional
Pengamat: Prabowo-Gibran Butuh Minimal 60 Persen Kekuatan Parlemen agar Pemerintah Stabil

Pengamat: Prabowo-Gibran Butuh Minimal 60 Persen Kekuatan Parlemen agar Pemerintah Stabil

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com