Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

108.000 Orang Meninggal karena Pagebluk, Siapa Bertanggung Jawab?

Kompas.com - 10/08/2021, 10:23 WIB
Ardito Ramadhan,
Krisiandi,
Fitria Chusna Farisa,
Haryanti Puspa Sari,
Dian Erika Nugraheny,
Irfan Kamil

Tim Redaksi

JAKARTA, KOMPAS.com - Presiden Joko Widodo menggelar konferensi pers pada 2 Maret 2020. Senin pagi itu, Jokowi mengumumkan kasus Covid-19 terdeteksi di Tanah Air.

Padahal, beberapa hari sebelumnya, pemerintah melalui para menteri bersikeras penyakit menular berbahaya itu tak masuk Indonesia.

Bahkan, sikap penyangkalan tersebut beberapa di antaranya disertai canda yang tak lucu.

Baca juga: Jangan Hanya Bercanda, Pemerintah Harus Gencar Sosialisasi Masyarakat Cegah Corona

Jokowi yang kala itu didampingi Menteri Kesehatan Terawan Agus Putranto menyebut ada tiga orang pasien, yakni seorang ibu dan dua anak perempuannya di Depok, Jawa Barat, yang dinyatakan terpapar virus Sars-Cov-2 penyebab Covid-19.

Dan kini, 527 hari setelah Kepala Negara mengungkap adanya pasien 01 hingga 03, tercatat 3,68 juta kasus Covid-19 di Indonesia. Jumlah itu setelah adanya lonjakan kasus. 

Kasus baru dan kematian meningkat seusai varian Delta terpantau di Tanah Air pada pertengahan Juni.

Menteri Koordinator Bidang Maritim dan Investasi (Menko Marives) Luhut Binsar Pandjaitan mengatakan, pemerintah sebelumnya tidak pernah memprediksi kasus Covid-19 kembali naik dalam jumlah tinggi.

Baca juga: Luhut: Jujur, Kita Tak Pernah Prediksi Kembali Terjadi Lonjakan Covid-19

"Jujur kita tidak pernah memprediksi setelah Juni tahun ini keadaan ini terjadi lonjakan lagi," ujar Luhut dalam konferensi pers virtual pada Kamis (1/7/2021)

Padahal, akhir Desember tahun lalu, India mengumumkan telah menemukan varian baru virus corona. Disebutkan pula varian yang belakangan disebut sebagai Delta itu, daya tularnya berkali-kali lebih besar dari virus induk.

Tsunami Covid-19 pun terjadi di negeri itu pada Maret hingga April. Banyak korban berjatuhan. Rumah sakit kolaps. Oksigen langka. Bahkan tempat kremasi jenazah pun kewalahan.

Baca juga: IAKMI: Indonesia Perlu Belajar dari India Tangani Pandemi Covid-19

Tak lama dari gelombang Covid-19 di India, Malaysia mengklaim penambahan kasus secara eksponensial. Vietnam pun demikian. Delta disebut sebagai salah satu penyebab membumbungnya kasus. 

Pemerintah RI tentu mendengar kabar itu. Namun seakan tak mau belajar dari pengalaman negara tetangga, tak ada manuver dan intervensi dari pemerintah untuk melindungi warga.

Justru, pada April ada 132 warga negara India yang mendarat di Soekarno-Hatta mengunakan pesawat charter

Pada Mei, pemerintah mulai intervensi. Kebijakan menonjol adalah melarang mudik Lebaran. Masyarakat pun diminta beribadah di rumah.

Baca juga: Ada Pengetatan Pra dan Pasca-larangan Mudik, Istana: Pemerintah Belajar dari India

Sayangnya, kerumunan tetap ada. Khususnya di tempat wisata.

Dan pada pertengahan Juni kasus baru mulai melonjak. Hingga pada pertengahan Juli mencapai lebih dari 50.000 meski beberapa hari kemudian kembali mengalami penurunan. Namun penurunan itu disertai testing yang rendah.

Baca juga: Kasus Covid-19 Harian Catatkan Rekor Baru, Bertambah 56.757 dalam Sehari

Presiden Jokowi mengakui, lonjakan kasus diakibatkan varian Delta.

Tak ingin kondisi makin parah, pada awal Juli pemerintah menerapkan Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) berbasis risiko.

Tetapi, korban kadung berjatuhan. Hingga Selasa (9/8/2021) pagi, data pemerintah menyebut 108.571 meninggal karena Covid-19. Jumlah itu mungkin masih akan terus bertambah setiap harinya. 

Baca juga: Jokowi: Begitu Varian Delta Muncul, Kasus Positif Naik Drastis

Dampak dari lonjakan kasus, hampir satu bulan, pasien tutup usia akibat Covid-19 tak pernah kurang dari 1.000 orang.

Pada Juli, Satuan Tugas (Satgas) Penanganan Covid-19 Indonesia mencatat sebanyak 30.076 orang meninggal. Terbanyak selama pegebluk.

Rekor terjadi pada 27 Juli. Saat itu 2.069 orang meninggal dalam sehari.

Baca juga: Satgas: Sepanjang Juli, Angka Kematian Covid-19 Mingguan Naik

Satgas mencatat, pada pekan terakhir Juli terjadi kematian rata-rata sebesar 1.582 orang per hari.

Di antara angka kematian itu, ada yang meninggal karena dampak dari kelangkaan oksigen. Ada juga yang sebab tak mendapat perawatan memadai karena sibuknya rumah sakit.

Sejumlah pasien meninggal di halaman rumah sakit, bahkan ada di halaman rumah sendiri. Ada pula yang menghembuskan napas terakhihrnya di kamar kos. Memilukan. 

Laporcovid-19 melaporkan lebih dari 2.000 orang meninggal saat isolasi mandiri sepanjang Juli.

Baca juga: LaporCovid-19 Sebut 2.313 Warga Meninggal Saat Isolasi Mandiri, Terbanyak di DKI

Inisiator LaporCovid-19 Ahmad Arif mengatakan, tragedi ini sebetulnya bisa dihindari jika semua pihak bisa mencegah penularan sejak dini. 

"Dan kondisi yang terjadi saat ini adalah tanggung jawab semua pihak," kata Arif, Jumat (6/8/2021).

Pemerintah, kata dia memiliki tanggung jawab dalam melaksanakan 3T yaitu pemeriksaan (testing), pelacakan (tracing) dan perawatan (treatment) serta vaksinasi. Namun itu jauh dari optimal.

Arif menuturkan, jumlah testing masih di bawah standar Organisasi Kesehatan Dunia (WHO). Sementara dari sisi treatment, banyak rumah sakit dilaporkan kekurangan oksigen.

Vaksinasi pun tak merata antardaerah.

Di sisi lain, publik juga bertanggung jawab dengan disiplin menerapkan protokol kesehatan dan mengikuti vaksinasi sesuai jadwal. Bisa jadi, Indonesia menghadapi ujung yang fatal apabila tanggung jawab itu gagal ditunaikan. 

Pemerintah harus tanggung jawab

Anggota Komisi IX DPR RI Netty Prasetiyani. DOK. DPR RI Anggota Komisi IX DPR RI Netty Prasetiyani.
Sementara itu, anggota Komisi IX DPR Netty Prasetiyani menilai, pemerintah mesti bertanggung jawab penuh atas kondisi yang menyebakan tingginya angka kasus kematian Covid-19.

Wakil Ketua Fraksi PKS itu mendorong pemerintah segera memperbanyak testing, tracing, treatment, serta vaksinasi. Dan itu harus merata di seluruh Indonesia. 

"Diakui ataupun tidak, penanganan Covid-19 kita yang berbasis risiko ini masih Jawa-Bali sentris, mulai dari testing, tracing, vaksinasi, dan lain-lain," kata dia.

Baca juga: Pandemi Covid-19 Diprediksi Berlangsung Lama, Menkes: Kita Harus Punya Roadmap

Langkah perbaikan penanganan, kata dia, adalah sebagai bentuk pertanggungjawaban. 

Ahli epidemiologi Griffith University Australia Dicky Budiman mengatakan, pemerintah dari segala tingkatan bertanggung jawab terhadap kondisi penanganan wabah.

Pemerintah, kata dia, seharusnya bisa menekan angka kematian apabila testing tinggi dan bisa menemukan banyak kasus untuk mencegah penularan.

"Yang harus bertanggung jawab ya pemerintah, terutama pemerintah daerah karena testing-nya dilakukan di daerah, di hulunya itu yang berkontribusi pada kematian, maka harus dengan 3T penemuan kasus secara dini dan cepat," ujarnya.

Sementara itu, Ketua Bidang Advokasi Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) Muhammad Isnur menilai presiden adalah pihak yang paling bertanggung jawab atas tingginya angka kematian Covid-19.

Isnur menuturkan, tanggung jawab itu diamanatkan Undang-Undang Dasar 1945.

“Di Pasal 28 i (UUD 1945) ada penegakan, pemenuhan, perlindungan, hak-hak adalah tanggung jawab negara atau pemerintah, jadi siapa yang bertanggung jawab? pemerintah, kalau sebagai simbol siapa sih pemerintah itu? Kepala pemerintahannya presiden,” ujar Isnur.

“Jadi yang bertanggung jawab atas segala hak asasi manusia termasuk hak atas kesehatan dalam hal ini penanggulangan Covid-19 adalah presiden sebagai kepala pemerintahan,” ucap dia.

Ketua Bidang Advokasi YLBHI Muhammad Isnur saat ditemui di kantor YLBHI, Menteng, Jakarta Pusat, Selasa (8/1/2019).KOMPAS.com/KRISTIAN ERDIANTO Ketua Bidang Advokasi YLBHI Muhammad Isnur saat ditemui di kantor YLBHI, Menteng, Jakarta Pusat, Selasa (8/1/2019).
Untuk menuntut tanggung jawab itu, rakyat bisa melakukan gugatan. Gugatan bertujuan agar pemerintah dapat melaksanakan tanggung jawabnya.

Gugatan itu, kata dia, bisa dalam bentuk ganti rugi atau perubahan kebijakan.

Pengamat kebijakan publik dari Universitas Trisaksi Trubus Rahardiansyah menilai pemerintah sebetulnya punya tanggung jawab melindungi warga dari wabah sesuai UU Nomor 6 Tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan.

Baca juga: Menkes: 45 Daerah di Luar Jawa-Bali Jadi Prioritas Penambahan Dosis Vaksin Covid-19

Namun, sejak awal pemerintah tak mau mengacu pada UU itu karena tidak mau melaksanakan konsekuensi yang tertuang dalam regulasi tersebut.

"Intinya pemerintah mau menghindari konsekuensi yang tercantum dalam Undang-Undang Karantina Kesehatan itu, yaitu memberikan kecukupan kebutuhan dasar masyarakat," ujar dia.

Ahli epidemiologi dari Universitas Indonesia (UI) Pandu Riono menyebut bahwa angka kematian yang tinggi disebabkan karena fasilitas kesehatan yang tidak mampu melayani dengan baik.

Di sisi lain, cakupan vaksinasi Covid-19 juga masih rendah pada kelompok rawan.

Oleh karenanya, kini pemerintah bertanggung jawab untuk terus mempercepat capaian vaksinasi di Tanah Air.

"Mereka yang kena Covid-19 berat dan meninggal adalah yang tidak divaksinasi dan atau dengan komorbid," kata Pandu. 

Terlambat ke rumah sakit

Para pasien Covid-19 di RSUD Jayapura yang harus dirawat di bagian teras rumah sakit karena kapasitas tempat tidur normal sudah penuh, Jayapura, Papua, Sabtu (17/7/2021)Dok Humas RSUD Jayapura Para pasien Covid-19 di RSUD Jayapura yang harus dirawat di bagian teras rumah sakit karena kapasitas tempat tidur normal sudah penuh, Jayapura, Papua, Sabtu (17/7/2021)
Sementara itu, Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin mengatakan, tingginya angka kematian pasien Covid-19 beberapa waktu terakhir disebabkan karena keterlambatan penanganan pasien di rumah sakit.

Menurut Budi, banyak pasien yang tutup usia tak lama setelah dirawat di RS.

"Yang wafat di rumah sakit mendadak jadi lebih cepat, biasanya rata-rata sebelumnya 8 hari, sekarang rata-rata 3 hari, 4 hari sudah wafat," kata Budi dalam konferensi pers virtual, Senin (2/8/2021).

Baca juga: Banyak Pasien Covid-19 Meninggal, Menkes: Telat Masuk RS dan Saturasi Sudah Sangat Rendah

Tak hanya itu, semula, pasien meninggal dunia paling banyak yang dirawat di ruang ICU. Tapi, belakangan, tidak sedikit pasien IGD yang juga tutup usia akibat Covid-19.

"Dulu wafatnya kebanyakan di ICU, di IGD paling cuma 1 persen, 2 persen. Sekarang di IGD hampir 20 persen kita heran, kok kenapa orang di IGD jadi banyak yang wafat," ujar Budi.

Senada Ketua Satgas Penanganan Covid-19 Ganip Warsito menyebutkan, banyak pasien mengalami pemburukan kondisi karena kurangnya pemantauan.

"Dari pengalaman penanganan di Jawa dan Bali, fatality (kematian) kerap terjadi karena pemburukan. Pasien dibawa ke rumah sakit ketika sudah kritis. Kenapa, mungkin saat isoman tidak ada monitoring,” kata Ganip melalui keterangan tertulis yang diterima Kompas.com, Kamis (5/8/2021).

Baca juga: Satgas Ingatkan Pentingnya Pengawasan Pasien Covid-19 Saat Isolasi Mandiri

Ganip mengatakan, penanganan pandemi harus dilakukan dari hulu hingga hilir. Hulu yang dimaksud yakni penanganan terhadap pasien yang terkonfirmasi positif.

Pasien positif dapat digolongkan menjadi pasien OTG atau tak bergejala, bergejala ringan, sedang, hingga berat.

Dari penggolongan tersebut, dapat diambil tindakan yang sesuai, apakah pasien cukup isolasi mandiri di rumah, isolasi terpusat di fasilitas milik pemerintah; atau harus mendapat penanganan di rumah sakit. 

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Dewas KPK Minta Keterangan SYL dalam Dugaan Pelanggaran Etik Nurul Ghufron

Dewas KPK Minta Keterangan SYL dalam Dugaan Pelanggaran Etik Nurul Ghufron

Nasional
Soal Jatah Menteri PSI, Sekjen: Kami Tahu Ukuran Baju, Tahu Kapasitas

Soal Jatah Menteri PSI, Sekjen: Kami Tahu Ukuran Baju, Tahu Kapasitas

Nasional
Cinta Bumi, PIS Sukses Tekan Emisi 25.445 Ton Setara CO2

Cinta Bumi, PIS Sukses Tekan Emisi 25.445 Ton Setara CO2

Nasional
Menpan-RB Anas Bertemu Wapres Ma’ruf Amin Bahas Penguatan Kelembagaan KNEKS

Menpan-RB Anas Bertemu Wapres Ma’ruf Amin Bahas Penguatan Kelembagaan KNEKS

Nasional
Banyak Caleg Muda Terpilih di DPR Terindikasi Dinasti Politik, Pengamat: Kaderisasi Partai Cuma Kamuflase

Banyak Caleg Muda Terpilih di DPR Terindikasi Dinasti Politik, Pengamat: Kaderisasi Partai Cuma Kamuflase

Nasional
PKB Sebut Pertemuan Cak Imin dan Prabowo Tak Bahas Bagi-bagi Kursi Menteri

PKB Sebut Pertemuan Cak Imin dan Prabowo Tak Bahas Bagi-bagi Kursi Menteri

Nasional
Fokus Pilkada, PKB Belum Pikirkan 'Nasib' Cak Imin ke Depan

Fokus Pilkada, PKB Belum Pikirkan "Nasib" Cak Imin ke Depan

Nasional
Kritik Dukungan Nasdem ke Prabowo, Pengamat: Kalau Setia pada Jargon “Perubahan” Harusnya Oposisi

Kritik Dukungan Nasdem ke Prabowo, Pengamat: Kalau Setia pada Jargon “Perubahan” Harusnya Oposisi

Nasional
Megawati Tekankan Syarat Kader PDI-P Maju Pilkada, Harus Disiplin, Jujur, dan Turun ke Rakyat

Megawati Tekankan Syarat Kader PDI-P Maju Pilkada, Harus Disiplin, Jujur, dan Turun ke Rakyat

Nasional
Langkah PDI-P Tak Lakukan Pertemuan Politik Usai Pemilu Dinilai Tepat

Langkah PDI-P Tak Lakukan Pertemuan Politik Usai Pemilu Dinilai Tepat

Nasional
PSI Buka Pendaftaran Bakal Calon Kepala Daerah Pilkada 2024

PSI Buka Pendaftaran Bakal Calon Kepala Daerah Pilkada 2024

Nasional
PKB: Semua Partai Terima Penetapan Prabowo-Gibran, kecuali yang Gugat ke PTUN

PKB: Semua Partai Terima Penetapan Prabowo-Gibran, kecuali yang Gugat ke PTUN

Nasional
Ukir Sejarah, Walkot Surabaya Terima Penghargaan Satyalancana Karya Bhakti Praja Nugraha

Ukir Sejarah, Walkot Surabaya Terima Penghargaan Satyalancana Karya Bhakti Praja Nugraha

BrandzView
Jokowi dan Gibran Disebut Bukan Bagian PDI-P, Kaesang: Saya Enggak Ikut Urusi Dapurnya

Jokowi dan Gibran Disebut Bukan Bagian PDI-P, Kaesang: Saya Enggak Ikut Urusi Dapurnya

Nasional
Helikopter Panther dan KRI Diponegoro Latihan Pengiriman Barang di Laut Mediterania

Helikopter Panther dan KRI Diponegoro Latihan Pengiriman Barang di Laut Mediterania

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com