JAKARTA, KOMPAS.com - Program vaksin Covid-19 berbayar untuk individu menjadi polemik di masyarakat. Meski kebijakan itu akhirnya ditunda hingga waktu yang belum ditentukan, masalah etis penerapan kebijakan itu masih membayangi.
Vaksinasi individu berbayar itu diatur dalam Peraturan Menteri Kesehatan (Permenkes) Nomor 19 Tahun 2021 tentang Perubahan Kedua atas Permemkes Nomor 10 Tahun 2021 tentang Pelaksanaan Vaksinasi dalam Rangka Penanggulangan Pandemi Covid-19.
Dalam permenkes baru itu diatur bahwa vaksinasi gotong royong adalah pelaksanaan
vaksinasi Covid-19 kepada individu atau orang perorangan yang pendanaannya dibebankan kepada yang bersangkutan.
Baca juga: Anggota Dewan Sebut Pemerintah Tak Pernah Bicarakan Vaksin Berbayar dengan DPR
Adapun vaksin yang diberikan dalam program vaksinasi individu berbayar adalah Sinopharm. Ini bukan vaksin yang digunakan dalam vaksinasi massal gratis untuk masyarakat.
Sesuai dengan Keputusan Menteri Kesehatan (Kepmenkes) Nomor HK.01.07/Menkes/4643/2021 tentang Penetapan Besaran Harga Pembelian Vaksin Produksi Sinopharm melalui Penunjukan PT Bio Farma (Persero) dalam Pelaksanaan Pengadaan Vaksin Covid-19 dan Tarif Maksimal Pelayanan Vaksinasi Gotong Royong, pemerintah memperbolehkan vaksin Covid-19 dijual dengan harga Rp 879.140 lewat klinik Kimia Farma dan fasilitas kesehatan swasta lainnya.
Baca juga: Kimia Farma Sebut Vaksinasi Gotong Royong Individu Bukan Komersialisasi
Latar belakang vaksin berbayar
Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin mengungkap latar belakang kebijakan pemerintah menerapkan program vaksinasi gotong royong berbayar bagi individu. Hal itu bermula dari dari rapat di Kementerian Koordinator Perekonomian pada 26 Juni 2021.
Rapat itu, kata Budi, digelar atas inisiatif Komite Penanganan Covid-19 Pemulihan Ekonomi (KPC-PEN) untuk membahas program vaksinasi gotong royong yang dinilai lambat dan perlu ditingkatkan kecepatannya.
Melalui rapat tersebut, disepakati beberapa opsi untuk mempercepat pelaksanaan vaksinasi gotong royong, di antaranya membuka ke rumah sakit yang juga memiliki program vaksinasi gratis pemerintah, memberikan kepada anak dan ibu hamil atau menyusui, serta membuka kepada individu.
Baca juga: Vaksin Berbayar Ditunda, Anggota DPR: Inkonsisten, Batalkan Saja dan Beri Penjelasan
Selanjutnya, pada 27 Juni 2021, Kementerian Kesehatan menggelar rapat internal Kemenkes dan menyiapkan draf Peraturan Menkes (permenkes) tentang Perubahan Kedua Permenkes Nomor 10 Tahun 2021.
Budi mengatakan, hasil rapat tersebut pun dibawa ke dalam rapat terbatas (ratas) kabinet pada 28 Juni 2021 untuk kembali dibahas. Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto, yang sekaligus sebagai Ketua KPC-PEN, memberi masukan.
Pada 29 Juni 2021, digelar rapat harmonisasi melibatkan kementerian/lembaga terkait antara lain Kemenko Perekonomian, Kementerian Hukum dan HAM, Kementerian BUMN, KPK, BPOM, dan BPJS Kesehatan.
Baca juga: 500 Hari Pandemi, Kontroversi Vaksinasi Gotong Royong hingga Vaksin Berbayar Individu
Hasil rapat itu sepakat melakukan harmonisasi aturan lama mengenai vaksinasi gotong royong dengan menerbitkan Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 19 Tahun 2021.
Draf permenkes tersebut pun ditandatangani pada 5 Juli 2021 dan disampaikan kepada Kementerian Hukum dan HAM untuk mendapat pengundangan.
Budi menjelaskan dana vaksin gotong royong berbayar ini tidak menggunakan anggaran negara, tetapi berasal dari BUMN dan perusahaan swasta.
Baca juga: KSP: Vaksinasi Gotong Royong Lewat Kimia Farma Bisa Diakses Individu, Badan Usaha, Badan Hukum
Dinilai tak etis
Penolakan atas perubahan peraturan tersebut pun bermunculan dari berbagai pihak. Ketua Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) Tulus Abadi menilai kebijakan vaksin berbayar tersebut tidak etis, di tengah pandemi Covid-19 di Indonesia yang tengah mengganas.
Menurut Tulus, adanya kebijakan vaksinasi berbayar dan vaksinasi gratis, akan membingungkan masyarakat. Publik akan menganggap vaksin yang berbayar kualitasnya lebih baik dibandingkan dengan vaksin yang gratis.
Ia juga khawatir kebijakan tersebut malah hanya akan semakin membuat masyarakat malas untuk melakukan vaksinasi Covid-19.
Baca juga: Soal Vaksinasi Covid-19 Berbayar, YLKI: Yang Gratis Aja Masih Banyak yang Malas, apalagi Ini...
Ahli epidemiologi dari Griffith University Australia Dicky Budiman saat dihubungi Kompas.com pada 12 Juli 2021 juga mengatakan, seharusnya dalam kondisi darurat seperti saat ini, akses dan ketersediaan vaksin harus dijamin pada seluruh lapisan masyarakat.
Program vaksinasi Covid-19 berbayar, kata Dicky, bertentangan dengan amanat undang-undang dan tidak memberikan kekuatan dalam keberhasilan program vaksin itu sendiri.
Selain itu, menurut Dicky vaksin berbayar juga bisa menimbulkan masalah ketidaksetaraan dan diskriminasi pada masyarakat.
Baca juga: Sesuai Undang-undang, Epidemiolog Sebut Vaksinasi Harus Gratis
Organisasi Kesehatan Dunia atau WHO juga menyatakan setiap orang harus memiliki hak yang sama untuk bisa mengakses vaksin Covid-19.
"Pembayaran (dalam bentuk) apapun (untuk memperoleh vaksin) akan menimbulkan problem akses dan etika selama pandemi. Padahal di saat yang sama kita membutuhkan cakupan vaksinasi yang luas yang bisa menjangkau semua pihak yang rentan," kata Lindstrand dikutip dari situs resmi WHO, Kamis (15/7/2021).
Jika anggaran yang menjadi masalah, kata Lindstrand, saat ini banyak lembaga yang memberikan bantuan untuk pengadaan vaksin.
Lindstrand mengatakan kerja sama internasional seperti COVAX Facility yang berada di bawah WHO juga sudah memberikan jatah vaksin gratis kepada negara yang membutuhkan.
Baca juga: Epidemiolog Minta Pemerintah Terbuka jika Tak Mampu Sediakan Vaksin Covid-19 Gratis
Oleh karena itu, Dicky meminta pemerintah terus terang bila mengalami keterbatasan pendanaan dalam menyediakan vaksin.
"Tapi kalau misalnya pemerintah enggak punya uang. Ya bicara saja. Terus terang," ujar Dicky.
Menurut Dicky, keterbukaan dari pemerintah bisa menghadirkan solusi baru dalam menangani pandemi Covid-19 di Indonesia.
"Keterbukaan ini akan menghadirkan masukan dan solusi. Jangan sampai ini enggak jelas. Karena ini enggak ada yang mendasari secara keilmuan bahwa dalam situasi pandemi harus berbayar," katanya.
Baca juga: Vaksinasi Covid-19 Berbayar di Kimia Farma Akan Gunakan Vaksin Sinopharm
Rawan diselewengkan
Vaksinasi berbayar dalam kondisi darurat Covid-19 seperti saat ini, menurut Dicky juga bisa menimbulkan masalah baru seperti vaksin palsu.
Selain itu, dengan kondisi ekonomi yang lemah saat ini akibat pandemi, masyarakat pasti akan lebih memilih vaksin Covid-19 gratis dibandingkan dengan vaksin yang berbayar. Sehingga program vaksin berbayar akan jadi masalah juga.
"Kalau ada sebagian berbayar, yang itu akan nyari yang gratis juga gitu. Dan itu jadi mangkrak, akan jadi masalah. Beda situasinya kalau bukan darurat," katanya.
Baca juga: Saat Jokowi Serukan Kesetaraan Vaksin di Sidang Umum PBB, tetapi Pemerintah Sediakan Vaksin Berbayar
KPK juga menilai adanya potensi penyelewangan atau fraud dalam pelaksanaan vaksinasi gotong royong. Hal itu disampaikan Ketua KPK Firli Bahuri saat dihubungi Kompas.id pada Rabu (14/7/2021).
Firli mengatakan hal itu telah disampaikannya dalam rapat koordinasi yang dihadiri sejumlah menteri dan kepala lembaga.
Mereka yang hadir di antaranya Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan, Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin, dan Menteri Badan Usaha Milik Negara Erick Thohir.
Baca juga: Hingga 16 Juli, Indonesia Terima 141 Juta Dosis Vaksin Covid-19
Selain itu, ada juga Kepala Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan Muhammad Yusuf Ateh serta Jaksa Agung Sianitar Burhanuddin.
"Saya menyampaikan saran langkah-langkah strategis menyikapi potensi fraud jika vaksin mandiri dilaksanakan berbayar ke masyarakat serta vaksinasi selanjutnya. Saya tentu tidak memiliki kapasitas untuk membuat keputusan. Saya ingin tidak ada korupsi,” ujar Firli.
Firli menyampaikan, KPK sangat memahami permasalahan implementasi vaksinasi saat ini. Pihaknya pun mendukung upaya percepatan vaksinasi.
Baca juga: Soal Vaksin Berbayar, YLBHI: Dari Sudut Undang-undang Tidak Masuk Akal
Namun, menurutnya, meski penjualan vaksin gotong royong individu melalui Kimia Farma sudah dilengkapi dengan permenkes, pelaksanaannya tetap berisiko tinggi dari sisi medis dan kontrol vaksin.
Begitu vaksinasi individu berbayar dibuka, kemungkinan besar akan muncul pengecer atau reseller.
”KPK sebenarnya tidak mendukung pola vaksin gotong royong melalui Kimia Farma karena efektivitasnya rendah, sementara tata kelolanya berisiko. KPK dorong transparansi logistik dan distribusi vaksin yang lebih besar,” kata Firli.
Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kompas.com. Mari bergabung di Grup Telegram "Kompas.com News Update", caranya klik link https://t.me/kompascomupdate, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.Tulis komentarmu dengan tagar #JernihBerkomentar dan menangkan e-voucher untuk 90 pemenang!
Syarat & KetentuanPeriksa kembali dan lengkapi data dirimu.
Data dirimu akan digunakan untuk verifikasi akun ketika kamu membutuhkan bantuan atau ketika ditemukan aktivitas tidak biasa pada akunmu.
Segera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.