JAKARTA, KOMPAS.com - Indonesia Corruption Watch (ICW) menilai, lembaga kehakiman tidak lagi bisa diandalkan untuk memperjuangkan rasa keadilan.
Hal itu, menyusul vonis 5 tahun penjara terhadap mantan Menteri Kelautan dan Perikanan Edhy Prabowo yang dijatuhkan oleh majelis hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta pada Kamis (15/7/2021).
"Putusan mantan Menteri Kelautan dan Perikanan Edhy Prabowo yang baru saja dibacakan menggambarkan kepada publik betapa lembaga kekuasaan kehakiman dan penegak hukum benar-benar tidak lagi bisa diandalkan untuk memperjuangkan keadilan," kata Peneliti ICW Kurnia Ramadhana kepada Kompas.com, Kamis.
Baca juga: Eks Menteri KP Edhy Prabowo Divonis 5 Tahun Penjara
"Sebab, baik KPK maupun majelis hakim, sama-sama memiliki keinginan untuk memperingan hukuman koruptor," ucap dia.
Kurnia menyebut, hukuman 5 tahun penjara tersebut serupa dengan tuntutan jaksa penuntut umum Komisi Pemberantasan Korupsi.
Padahal, saat melakukan praktik korupsi Edhy sedang mengemban status sebagai pejabat publik, sehingga berdasarkan Pasal 52 KUHP seharusnya dikenakan pemberatan hukuman.
Apalagi, kejahatan tersebut juga dilakukan di tengah masyarakat yang sedang berjuang menghadapi pandemi Covid-19.
"Jadi, bagi ICW, Edhy sangat pantas untuk diganjar vonis maksimal, setidaknya 20 tahun penjara," ucap Kurnia.
Selain itu, ICW menilai, pencabutan hak politik terhadap Edhy terasa amat ringan. Mestinya, pidana tambahan itu dapat diperberat hingga 5 tahun lamanya.
Logika putusan itu, menurut Kurnia jelas keliru, sebab, hakim membenarkan penerimaan sebesar Rp 24,6 miliar ditambah USD 77 ribu, namun nyatanya vonis yang dibacakan justru sangat ringan.
Pasal 12 huruf a Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi menyebutkan jerat pidana penjara minimal kepada koruptor adalah 4 tahun penjara.
Baca juga: KPK Pikir-pikir atas Putusan 5 Tahun Penjara Edhy Prabowo
"Maka dari itu, vonis Edhy hanya satu tahun di atas minimal hukuman berdasarkan ketentuan tersebut," tutur Kurnia.
Ia berpendapat, putusan itu dapat dianggap benar jika Edhy hanya menerima puluhan juta rupiah dari para pemberi suap dan menyandang status sebagai justice collaborator.
Namun kenyataannya berbeda, Edhy diduga korupsi mencapai puluhan miliar rupiah dan hingga kini tidak kunjung mengakui perbuatannya.
Ganjaran hukuman 5 tahun penjara itu, kata dia, kian menambah suram lembaga peradilan dalam menyidangkan perkara korupsi.