Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Edhy Prabowo Divonis 5 Tahun, Lembaga Kehakiman Dinilai Tak Lagi Bisa Diandalkan

Kompas.com - 15/07/2021, 21:34 WIB
Irfan Kamil,
Krisiandi

Tim Redaksi

JAKARTA, KOMPAS.com - Indonesia Corruption Watch (ICW) menilai, lembaga kehakiman  tidak lagi bisa diandalkan untuk memperjuangkan rasa keadilan.

Hal itu, menyusul vonis 5 tahun penjara terhadap mantan Menteri Kelautan dan Perikanan Edhy Prabowo yang dijatuhkan oleh majelis hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta pada Kamis (15/7/2021).

"Putusan mantan Menteri Kelautan dan Perikanan Edhy Prabowo yang baru saja dibacakan menggambarkan kepada publik betapa lembaga kekuasaan kehakiman dan penegak hukum benar-benar tidak lagi bisa diandalkan untuk memperjuangkan keadilan," kata Peneliti ICW Kurnia Ramadhana kepada Kompas.com, Kamis.

Baca juga: Eks Menteri KP Edhy Prabowo Divonis 5 Tahun Penjara

"Sebab, baik KPK maupun majelis hakim, sama-sama memiliki keinginan untuk memperingan hukuman koruptor," ucap dia.

Kurnia menyebut, hukuman 5 tahun penjara tersebut serupa dengan tuntutan jaksa penuntut umum Komisi Pemberantasan Korupsi.

Padahal, saat melakukan praktik korupsi Edhy sedang mengemban status sebagai pejabat publik, sehingga berdasarkan Pasal 52 KUHP seharusnya dikenakan pemberatan hukuman.

Apalagi, kejahatan tersebut juga dilakukan di tengah masyarakat yang sedang berjuang menghadapi pandemi Covid-19.

"Jadi, bagi ICW, Edhy sangat pantas untuk diganjar vonis maksimal, setidaknya 20 tahun penjara," ucap Kurnia.

Selain itu, ICW menilai, pencabutan hak politik terhadap Edhy terasa amat ringan. Mestinya, pidana tambahan itu dapat diperberat hingga 5 tahun lamanya.

Logika putusan itu, menurut Kurnia jelas keliru, sebab, hakim membenarkan penerimaan sebesar Rp 24,6 miliar ditambah USD 77 ribu, namun nyatanya vonis yang dibacakan justru sangat ringan.

Pasal 12 huruf a Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi menyebutkan jerat pidana penjara minimal kepada koruptor adalah 4 tahun penjara.

Baca juga: KPK Pikir-pikir atas Putusan 5 Tahun Penjara Edhy Prabowo

"Maka dari itu, vonis Edhy hanya satu tahun di atas minimal hukuman berdasarkan ketentuan tersebut," tutur Kurnia.

Ia berpendapat, putusan itu dapat dianggap benar jika Edhy hanya menerima puluhan juta rupiah dari para pemberi suap dan menyandang status sebagai justice collaborator.

Namun kenyataannya berbeda, Edhy diduga korupsi mencapai puluhan miliar rupiah dan hingga kini tidak kunjung mengakui perbuatannya.

Ganjaran hukuman 5 tahun penjara itu, kata dia, kian menambah suram lembaga peradilan dalam menyidangkan perkara korupsi.

Pemantauan ICW, pada tahun 2020 sudah menggambarkan secara jelas bahwa majelis hakim kerap kali tidak menunjukkan keberpihakan pada sektor pemberantasan korupsi.

"Bayangkan, rata-rata hukuman koruptor saja hanya 3 tahun 1 bulan penjara. Lantas, apa lagi yang diharapkan dari penegakan hukum yang terlanjur carut marut ini?" ucap Kurnia.

Majelis hakim menilai Edhy Prabowo terbukti melanggar Pasal 12 huruf a Undang-Undang RI Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana diubah dalam UU RI Nomor 20 Tahun 2001.

"Menyatakan terdakwa Edhy Prabowo terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana korupsi yang dilakukan bersama-sama sebagaimana dalam dakwaan alternatif pertama," kata ketua majelis hakim Albertus Usada, dalam persidangan virtual yang ditayangkan melalui akun YouTube Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).

"Menjatuhkan pidana pada terdakwa selama lima tahun dan denda sejumlah Rp 400 juta dengan ketentuan apabila denda tidak dibayar maka diganti dengan pidana kurungan selama enam bulan," ujar hakim Albertus.

Selain itu, Edhy juga dihukum untuk membayar uang pengganti sebesar Rp 9,68 miliar dan 77.000 dollar AS subsider dua tahun penjara.

Majelis hakim juga mencabut hak politik Edhy selama tiga tahun terhitung sejak Edhy selesai menjalankan masa pidana pokok.

"Menjatuhkan pidana pencabutan hak untuk dipilih dalam jabatan publik selama tiga tahun sejak terdakwa selesai menjalankan masa pidana pokoknya," tutur hakim Albertus.

Adapun vonis ini sesuai dengan tuntutan jaksa KPK.

Baca juga: Vonis 5 Tahun untuk Edhy Prabowo Sesuai Tuntutan Jaksa

Akan tetapi, hakim memberikan pencabutan hak politik lebih ringan ketimbang tuntutan jaksa yang meminta hak politik Edhy dicabut selama empat tahun.

Dalam perkara ini, Edhy Prabowo dinilai telah menerima suap terkait pengurusan izin budi daya lobster dan ekspor benih benur lobster (BBL).

Edhy dinyatakan telah menerima suap sebesar Rp 25,7 miliar dari para eksportir BBL.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

PPATK Koordinasi ke Kejagung Terkait Aliran Dana Harvey Moeis di Kasus Korupsi Timah

PPATK Koordinasi ke Kejagung Terkait Aliran Dana Harvey Moeis di Kasus Korupsi Timah

Nasional
Prabowo-Titiek Soeharto Hadiri Acara Ulang Tahun Istri Wismoyo Arismunandar, Ada Wiranto-Hendropriyono

Prabowo-Titiek Soeharto Hadiri Acara Ulang Tahun Istri Wismoyo Arismunandar, Ada Wiranto-Hendropriyono

Nasional
Banyak Catatan, DPR Dorong Revisi UU Pemilu Awal Periode 2024-2029

Banyak Catatan, DPR Dorong Revisi UU Pemilu Awal Periode 2024-2029

Nasional
Pakar Ragu UU Lembaga Kepresidenan Terwujud jika Tak Ada Oposisi

Pakar Ragu UU Lembaga Kepresidenan Terwujud jika Tak Ada Oposisi

Nasional
Istana Sebut Pertemuan Jokowi dan Prabowo-Gibran Semalam Atas Inisiatif Prabowo

Istana Sebut Pertemuan Jokowi dan Prabowo-Gibran Semalam Atas Inisiatif Prabowo

Nasional
Presiden Jokowi Ucapkan Selamat Saat Bertemu Prabowo Semalam

Presiden Jokowi Ucapkan Selamat Saat Bertemu Prabowo Semalam

Nasional
Jokowi Siapkan Program Unggulan Prabowo-Gibran Masuk RAPBN 2025

Jokowi Siapkan Program Unggulan Prabowo-Gibran Masuk RAPBN 2025

Nasional
CSIS: Mayoritas Caleg Muda Terpilih di DPR Terindikasi Dinasti Politik

CSIS: Mayoritas Caleg Muda Terpilih di DPR Terindikasi Dinasti Politik

Nasional
Korlantas Kaji Pengamanan Lalu Lintas Jelang World Water Forum Ke-10 di Bali

Korlantas Kaji Pengamanan Lalu Lintas Jelang World Water Forum Ke-10 di Bali

Nasional
Jokowi Dukung Prabowo-Gibran Rangkul Semua Pihak Pasca-Pilpres

Jokowi Dukung Prabowo-Gibran Rangkul Semua Pihak Pasca-Pilpres

Nasional
Pakar Sebut Semua Lembaga Tinggi Negara Sudah Punya Undang-Undang, Hanya Presiden yang Belum

Pakar Sebut Semua Lembaga Tinggi Negara Sudah Punya Undang-Undang, Hanya Presiden yang Belum

Nasional
Saksi Ungkap SYL Minta Kementan Bayarkan Kartu Kreditnya Rp 215 Juta

Saksi Ungkap SYL Minta Kementan Bayarkan Kartu Kreditnya Rp 215 Juta

Nasional
Saksi Sebut Bulanan untuk Istri SYL dari Kementan Rp 25 Juta-Rp 30 Juta

Saksi Sebut Bulanan untuk Istri SYL dari Kementan Rp 25 Juta-Rp 30 Juta

Nasional
Tata Kelola Dana Pensiun Bukit Asam Terus Diperkuat

Tata Kelola Dana Pensiun Bukit Asam Terus Diperkuat

Nasional
Jelang Disidang Dewas KPK karena Masalah Etik, Nurul Ghufron Laporkan Albertina Ho

Jelang Disidang Dewas KPK karena Masalah Etik, Nurul Ghufron Laporkan Albertina Ho

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com