"Tapi kalau lihat kedaruratan, memang pandemi dimana-mana tampaknya memangnya harus didahulukan," ucap Lia.
Inisiator koalisi masyarakat sipil Lapor Covid-19, Ahmad Arif, mengatakan situasi pandemi Covid-19 di Tanah Air yang kian mengkhawatirkan salah satunya disebabkan inkonsistensi kebijakan pemerintah selama 15 bulan ini.
Menurut Arif, narasi kebijakan yang disampaikan satu kementerian dengan kementerian lainnya bisa berbeda-beda dan kerap bertolak belakang.
Baca juga: 5.000 Kuota Vaksinasi Covid-19 Disiapkan untuk Warga Kota Bogor Usia 18 Tahun ke Atas
"Situasi ini adalah cermin dari inkonsitensi kebijakan pandemi yang dilakukan pemerintah. Misal, satu kementerian mempromosikan pembatasan dan protokol kesehatan, tapi kementerian lain mendorong mobilitas," kata Arif dalam konferensi pers 'Desakan Emergency Responses: Prioritas Keselamatan Rakyat di Tengah Pandemi' yang diselenggarakan secara daring, Minggu (20/6/2021).
Selain itu, lanjut Arif, pemerintah gagal memberikan jaring pengaman sosial bagi masyarakat. Masyarakat yang tidak punya pilihan untuk bekerja dari rumah, mau tidak mau tetap bekerja di luar rumah dengan segala risiko.
Belum lagi, kata dia, sebagian masyarakat yang tidak percaya dengan Covid-19 dan tidak mau mematuhi protokol kesehatan.
Menurutnya, ini juga disebabkan kegagalan pemerintah dalam menyampaikan narasi terkait pandemi Covid-19.
"Kegagalan bangsa dalam memberikan jaring pengaman sosial membuat sebagian orang tetap bekerja di luar dengan penuh risiko. Faktor lain tentu ada, misal banyak yang tidak percaya Covid-19 dan tidak patuh prokes, tapi ini juga terkait dengan kegagalan komunikasi risiko kita," ujarnya.
Baca juga: Aturan Klaim Covid-19 Sangat Kuat, PERSI Bantah Ada RS Covid-kan Pasien
Menyikapi fenomena itu, anggota Dewan Pakar Ikatan Ahli Kesehatan Masyarakat Indonesia (IAKMI) Hermawan Saputra mendorong pemerintah agar segera mengambil kebijakan luar biasa untuk menangani pandemi Covid-19.
Dia menegaskan, pemerintah harus bisa menentukan prioritas ketika menangani wabah penyakit. Menurutnya, mustahil bisa memenangkan antara kesehatan dan ekonomi nasional sekaligus.
Hermawan menyatakan ada dua opsi yang bisa dilakukan pemerintah. Pertama, pembatasan sosial berskala besar (PSBB) nasional. Kedua, lockdown regional secara berkala di pulau-pulau besar seperti Jawa, Sumatera, dan Kalimantan.
"Usul yang paling radikal yaitu lockdown regional. Ini bentuk paling logis. Karena seluruh negara yang sudah melewati kasus, tidak ada cara lain," kata Hermawan dalam konferensi pers 'Desakan Emergency Responses: Prioritas Keselamatan Rakyat di Tengah Pandemi' yang diselenggarakan secara daring, Minggu (20/6/2021).
Menurut Hermawan, kerugian ekonomi yang timbul akibat penerapan lockdown dapat diukur oleh pemerintah. Dengan demikian, ketika kesehatan pulih, ekonomi nasional pun bisa dipulihkan. Ia menegaskan, pemerintah harus mampu menentukan prioritas.
Baca juga: Lapor Covid-19: Tak Ada Sense of Crisis Pemimpin, Kita seperti Perang Tanpa Panglima
"Dulu kita takut, ketika bahasa lockdown, takut PSBB nasional dengan asumsi butuh ratusan triliun. Kira-kira berapa duit yang sudah habis hingga 15 bulan berlalu ini? Tapi tidak mampu kita ukur," ujarnya.
"Kita harus memutuskan salah satu sebagai prioritas dan harus ada extraordinary initiative atau extraordinary policy making kalau mau memutus mata rantai Covid-19. Negara mayoritas yang sudah melewati puncak kasus, menggunakan optimum social restriction atau lockdown," tegasnya.
Sumber: KOMPAS.com (Penulis: Deti Mega Purnamasari, Tsarina Maharani | Editor: Krisiandi, Diamanty Meiliana)
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.