Sekitar pukul 18.30 WIB, Probosutedjo kembali mendatangi Cendana untuk menemui Soeharto. Malam itu Cendana amat sunyi. Probosutedjo tetap memberanikan diri untuk masuk.
Ia menjumpai sang kakak duduk di ruang tamu bersama putrinya, Siti Hardijanti Rukmana atau Tutut.
"Suasana hening dan nampak redup," kata Probosutedjo.
Probosutedjo duduk bergabung dan berusaha memberikan semangat untuk kakaknya. Namun, kala itu Tutut memintanya untuk tidak lagi berupaya meluruskan keadaan.
Tutut lantas menyodorkan surat pengunduran diri 14 menteri Soeharto ke hadapannya.
Saat itu, Tutut mengatakan bahwa ayahnya sudah bulat untuk mundur.
Berdasarkan penuturan Tutut kepada Probosutedjo, Soeharto begitu terkejut menerima surat pengunduran diri 14 menterinya.
"Ia sangat kecewa, itu jelas. Ditinggalkan para menterinya adalah pukulan hebat bagi presiden mana pun," kata dia.
Baca juga: 21 Mei 1998, Saat Soeharto Dijatuhkan Gerakan Reformasi...
Kekecewaan Soeharto tak sebatas itu. Pada malam yang sama Soeharto menerima kabar bahwa Wakil Presiden BJ Habibie menyatakan bersedia menggantikannya sebagai presiden.
Soeharto mengeluhkan sikap Habibie. Ia tak habis pikir Habibie berubah dalam tempo singkat.
Sebelumnya, berdasar penuturan Probosutedjo, Habibie menyatakan tak sanggup menjadi presiden.
"Ini membuat kakak saya sangat kecewa. Hari itu juga dia memutuskan untuk tidak mau menegur atau bicara dengan Habibie," ujarnya.
Malam itu Habibie sempat menelepon Soeharto. Namun, pemimpin Orde Baru tersebut enggan bicara.
Cerita Habibie menelepon Soeharto pada 20 Mei 1998 malam dikonfirmasi oleh mantan Ketua Mahkamah Konsitusi (MK) Jimly Asshiddiqie.
Jimly menjadi saksi momen tersebut lantaran malam itu ia tengah berada di kediaman Habibie.